STUDI Al-QURAN DAN HADIS ORIENTALIS
Minggu, 07 April 2013
3
komentar
STUDI Al-QURAN
DAN HADIS ORIENTALIS
(Studi atas Pandangan
Ignaz Goldziher tentang Al-Quran dan Hadis)
Oleh
Akhmad Supriadi, S.Hi[1]
A.
Pendahuluan
Studi para pengkaji Islam dari dunia
barat tentang dunia timur (baca: Islam) yang populer dikenal dengan
orientalisme merupakan aktifitas yang telah berlangsung lama. Disinyalir
aktifitas orientalisme telah dimulai sejak abad ke-11 Masehi dimana pada saat itu banyak
orang-orang Eropa yang sekolah dan belajar di perguruan-perguruan Arab dengan
orientasi penguasaan dan penerjemahan buku-buku teks Arab.[2]
Kegiatan orientalis atau studi
ketimuran itu sendiri mengalami perjalanan dan dinamika yang berliku. Demikian
pula halnya dengan motivasi para orientalis dalam mengkaji Islam mengalami dinamika
perubahan sesuai situasi yang berkembang. Sebelum abad ke 19 misalnya, motivasi
para orientalis tidak jauh beranjak dari motivasi kolonialisme serta semangat
permusuhan terhadap Islam. Pandangan yang dihadirkan didominasi oleh sikap
polemis. Namun sejak abad ke-19 motivasi tersebut mulai mengalami pergeseran.
Kegiatan orientalisme tidak lagi semata bertujuan mencari kelemahan ajaran
Islam, namun telah mulai dimotivasi oleh tujuan ilmiah.[3]
diantara tokoh orientalis yang
dianggap paling menonjol karya dan pemikirannya dalam studi Al-Quran dan hadis
adalah Ignaz Goldziher, yang dalam perjalananya banyak memberikan inspirasi
kepada orientalis lainnya seperti Joseph Schacht dan G.H.A Juynboll.[4]
Dalam kancah dunia orientalis, Ignaz
Goldziher sendiri dianggap sebagai tokoh besar orientalis yang banyak
memberikan pengaruh terhadap studi Keislaman baik Al-Quran maupun hadis. Dengan
menggggunakan metode filologis serta kritik historis, Pemikiran dan
pandangannya tentang Al-Quran dan Hadis terekam dalam beberapa karyanya
khususnya Muslim Studies, Madzahib al-tafsir al-islamiy serta Inroduction
to Islamic Theology and Law memicu lahirnya beragam reaksi baik beruap
apresiasi maupun disapresiasi. Dalam karya-karyanya tersebut, Ignaz secara
tegas meragukan otentisitas Al-Quran dan hadis yang notabene merupakan dua
sumber utama ajaran Islam.
B.
Pandangan
Ignaz Goldziher tentangAl-Quran dan Hadis
- Ignaz Goldziher: Biografi Singkat
Ignaz Goldziher (selanjutnya hanya
disebut dengan Goldziher) dilahirkan pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di
Hungaria dari sebuah keluarga Yahudi
terpandang dan memiliki pengaruh luas. Pendidikannya dimulai dari Budapest,
kemudian dilanjutkan di Berlin pada tahun 1869. hanya satu tahun disana, ia
pindah ke Leipzig University. Di bawah asuhan Flesser, salah satu guru besar
orientalisme di universitas tersebut, Goldziher kemudian memperoleh gelar
dokotral tingkat pertama tahun 1870 dengan risalah “Penafsir Taurat yang
Berasal dari Tokoh Yahudi abad tengah”.[5]
Setelah sempat ditunjuk menjadi
asisten profesor di Universitas Budapest tahun 1872, Goldziher melanjutkan
studinya di Wina dan Lieden. Ia kemudian ditugaskan untuk mengadakan ekspedisi
ke kawasan timur dan menetap di Kairo, Suriah dan Palestina. Selama menetap di
Kairo, Ignaz sempat bertukar kajian di universitas Al-Azhar.[6]
Selanjutnya Goldziher pernah diangkat
sebagai pemimpin universitas Budapest. Di sini, ia sangat menekankan kajian
peradaban Arab, khususnya Islam. Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor
kajian bahasa Semit. Sejak saat itu dia hampir tidak pernah kembali ke
negerinya, kecuali menghadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada
seminar-seminar di universitas asing yang mengundangnya. Goldziher Meninggal
pada 13 Nopember 1921 di Budapest.[7]
Selama hidupnya, Goldziher berhasil
menghasilkan banyak karya diantaranya yang secara khusus terkait dengan studi
hadis adalah Dirasah Islamiyah (Muslim studies) (1889-1890)[8].
Disamping itu karya lainnya yang cukup monumental adalah Muhadharat fi
al-Islam (1910) dan Ittijahat Tafsir Al-quran Inda al-Muslimin
(1920) serta Introduction to Islamic Theology and Law. [9]
- Pandangan Ignaz Goldziher tentang Al-Quran
Sebagai kitab suci kalam Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad (verbum dei), Al-Quran secara turun
temurun telah diyakini oleh umat Islam sebagai kitab suci yang otentik
sekaligus orisinil. Orisinalitas dan otentisitas tersebut tidak hanya
menyangkut proses pewahyuan namun juga terkait dengan makna serta isinya (Qath’iy
al-dalalah dan qhatiy al wurud). Namun, bagaimanakah otentisitas dan
orisinalitas Al-Quran di mata orientalis?
Dalam kaitannya dengan studi Al-Quran
dan tafsir, Goldziher dapat dikatakan sebagai sosok orientalis yang pendapatnya
banyak dirujuk oleh orientalis setelahnya. Pendapat dan pandangannya tentang
Al-Quran setidaknya dapat dilacak melalui dua karyanya yakni Introduction to
Islamic Theology and Law dan Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy.
Dalam karyanya Madzahib al-Tafsir
Al-Islamiy, Goldziher sendiri, disamping digugat karena
pandangan-pandangannya yang dianggap bersifat polemis dan skeptis terhadap
Al-Quran, ia dianggap sebagai tokoh orientalis yang berjasa dalam memetakan
pemikiran para mufassir khususnya dari aspek ideologis atau kegiatan penafsiran
yang dilakukan. Dalam karyanya tersebut, Goldziher secara purposif berhasil
menyeleksi para mufassir dari berbagai aliran yang ada secara ringkas. Ia
mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir dalam Islam: Tradisionalis,
dogmatis, mistik, sektariana serta modernis. Tiga aliran pertama senada dengan
tipologi kesarjanaan muslim, yakni tafsir bi-l-riwayah; tafsir bi-l-dirayah;
tafsir bi-l-isyarah. Sementara dua aliran lainnya, sektarian dan modernis,
merupakan kategori tambahan atau elaborasi dari tipologi kesarjanaan muslim.[10]
Lahirnya karya Goldziher ini kemudian memacu
lahirnya karya lain yang membahas tentang mazhab atau aliaran tafsir
berdasarkan banyak sudut pandang, misalnya saja al-Tafsir wa Al-Mufassirun
karya Muhamah Husein al-Dzahabi (1961). [11]
Selanjutnya, ketika berbicara tentang
Al-Quran, Menurut Goldziher merupakan kitab suci yang berupaya menyerap
ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya. Unsur-unsur Kristen di dalam Al-Quran
diterima oleh Muhammad umumnya melalui jalan tradisi-tradisi apokri dan melalui
bid’ah-bid’ah yang yang bertebaran di dalam Gereja Timur. Dengan jalan demikian
tidak sedikit unsur-unsur gnostik Timur mendapatkan tempatnya di dalam
pemberitaan suci Muhammad. Ide-ide tersebut dalam pandangan Goldziher diperoleh
Muhammad melalui hubungan-hubungan lahiriah dalam urusan perdagangan ketika ia
masih belum diangkat sebagai Rasul. Untuk memperkuat argumentasinya tersebut,
Goldziher menyatakan bahwa doktrin-doktrin dan institusi Nabi bersifat
eklektis. Agama Yahudi dan Kristen menyediakan unsur-unsur pokok dan takaran
yang sama. Lima unsur pokok yang dikenal dengan Rukun Islam sudah diperkenalkan
oleh Nabi pada periode Makkah memperoleh bentuknya yang pasti pada periode
Madinah. Jadi, menurut Goldziher, unsur-unsur ajaran dalam al-Quran sebenarnya
banyak menyerap unsur atau tradisi agama sebelumnya. Misalnya, pertama,
ibadah shalat misalnya, menurut Goldziher, yang dimulai dari berdiri, takbir
dan bacaan-bacaan memiliki kemiripan dengan tradisi ibadah agama Kristen Timur
seperti sujud, bersimpuh, dan wudhu . Kedua, institusi zakat yang
semuala merupakan amal sukarela, Oleh Muhammad kemudian dilembagakan secara
formal dalam bentuk sumbangan yang dibayarkan secara tertentu untuk kelompok
dhu’afa secara komunitas. Ketiga, puasa yang semula dilakukan pada hari
kesepuluh dari bulan pertama (menyontoh Hari Pertama Penebusan pada agama
Yahudi, asyura’), kemudian dilakukan selama bulan Ramadhan, bulan
kesepuluh menurut kalender bulan; keempat, ziarah ke Ka’bah, Bait Allah,
tempat suci bangsa Arab kuno di Mekkah ditafsirkan kembali dengan gaya monoteis
dari perspektif ajaran Ibrahim. [12]
Goldziher juga menilai bahwa Al-Quran yang diturunkan pada masa Rasullullah
hidup ternyata belum mampu menjawab beragam problematika yang terjadi selepas
Nabi wafat, ini disebabkan karena cakupan kitab suci Al-Quran masih hanya
berkisar pada dasar-dasar hukum saja. Ditambah lagi dengan meluasnya ekspansi
umat Islam, ini mengindikasikan bahwa hadirnya Islam ternyata belum mampu
menjawab segala problematika yang ada karena penyempurnaan baru ada setelah
diperoleh hasil ijtihad generasi selanjutnya.[13]
Pandangan Goldziher di atas agaknya
sangat dipengaruhi oleh pendekatan historis-sosilogis yang dilakukannya dalam
mengkaji Islam, sehingga suatu ritual dan ajaran agama selalu dilihat hubungan
historis, sehingga adanya kemiripan dalam ajaran ritual agama Islam dengan
ritual agama-agama selain Islam yang terekam dalam Al-Quran dianggap sebuah
upaya plagiasi dan absorbsi terhdapa ajaran sebelumnya.
Selanjutnya, terkait dengan Al-Quran,
Goldziher juga memiliki pandangan yang tidak kalah kontroversial dan mengundang
perdebatan. Menurutya, tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang
diakui oleh kelompok keagamaan—dengan pengakuan teologis—bahwa ia adalah teks
yang diwahyukan atau diturunkan, dimana
pada amasa awal peredaran (transmition) nya teks tersebut datang dalam
bentuk yang kacau dan tidak pasti sebagaimana Yang ditemukan dalam Al-Quran.[14]
Ketidak pastian yang dimaksud oleh Ignaz Goldziher adalah adanya beragama versi
bacaan (qiraa’t). Menurutnya, perbedaan ragam bacaan dalam melafalkan Al-Quran
(qiraa’at) disebabkan oleh tidak adanya tanda titik dalam Al-Quran,
sehingga setiap pembaca memiliki otoritas untuk menentukan bacaan sesuai
keinginannya.
Dalam memperkuat anggapannya tersebut,
Goldziher menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua
kelompok:[15]
a) Perbedaan bacaan karena tidak ada
tanda titik. Menurut Goldziher, lahirnya sebagian besar perbedaan versi bacaan
tersebut dikembalikan pada karekteristik tulisan arab itu sendiri yang bentuk
huruf tertulisnya dapat menghadirkan vokal pembacaan yang berbeda, tergantung
pada perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas bentuk huruf atau dibawahnya
serta berapa jumlah titik tersebut. Misalnya:
وهوالذى يرسل الرياح نشرا dapat di baca وهوالذى يرسل الرياح بشرا
وما كنتم تستكثرون dapat dibaca وما كنتم تستكبرون
b ) Perbedaan karena tidak adanya
tanda diakritikal atau tanda baca berupa harakat atau syakal memicu perbedaan
posisi i’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat yyang menyebabkan
lahirnya perbedaan makna. Dengan demikian, Goldziher sampai pada suatu asumsi
bahwa perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) dan perbedaan harakat
yang dhasilkan, disatukan dan dibentuk dari huruf yang diam (tidak dibaca)
merupakan faktor utama lahirnya perbedaan bacaan dalam teks yang tidak memiliki
titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas.[16]
Pendapat Goldziher di atas, mendapat
bantahan dari para sarjana muslim, diantaranya adalah Muhammad Mustafa
Al-A’zami, seorang pakar Al-Quran dan hadis kelahiran India. Menurut Al-Azami,
pendapat Goldziher yang menyatakan bahwa lahirnya varian bacaan disebabkan oleh
ketiadaan titik dan diakritikal adalah tidak tepat, karena beragam qiraat dalam
Al-Quran bukan disebabkan oleh teks yang nirtanda, akan tetapi sudah ditentukan
melalui periwayatan yang masyhur yang dituturkan sendiri oleh Nabi serta
disampaikan kepada para sahabat. Lebih jauh A’zami juga menyatakan bahwa
Goldziher telah melupakan tradisi pengajaran secara lisan atau oral yang yang
menjadi tradisi penuturan Al-Quran. Dalam konteks ini, adanya mushaf Usmani
merupakan alat bantu untuk menyeleksi masuknya qira’at-qiraat yang ghairu
masyhurah atau syadz. Jadi Mushaf Usmani sendiri bukan sebuah bentuk hegemoni
atau uapaya usman untuk membakukan Al-quran dalam satu versi bacaan,
sebagaimana dituduhkan oleh Goldziher.[17]
- Pandangan Ignaz Goldziher tentang adis
Diskursus
tentang otentisitas hadis merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan
kontroversial dalam studi hadis. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an
yang telah mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya, sebagaimana firman
Allah Swt dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[18]
Maka secara normatif-teologis, hadis tidak mendapatkan “garansi” akan
keterpeliharaannya dari Allah Swt. Goldziher, sebagai orientalis yang kritis,
tak lupa menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan hadis.
Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadis
pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856)
dan Sir William Munir dengan karyanya life of Mahomet, namun dalam
beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar
eksistensi dan validitas hadis tersebut. [19]
Sebenarnya
Goldziher sendiri bukanlah orang pertama yang menggugat satus hadis dalam Islam. Alois Sprenger[20]
disinyalir sebagai orang yang pertama kali mempersoalkan status hadis,
dilanjutkan kemudian oleh William Muir[21]
yang kemudian ‘dipatenkan’ serta digaungkan secara kuat oleh Goldziher.[22]
Melalui karyanya yang monumental sekaligus dianggap sebagai “kitab suci” pertama
kaum orientalis tentang hadis, Muslim Studies (dirasat Islamiyyah),
Goldziher kemduian dianggap sebagai tokoh orientalis peletak dasar skeptisisme
tentang hadis. Dia mengatakan bahwa kaum Muslimin klasik telah beranggapan
bahwa hadis adalah ajaran lisan yang penulisannya dipandang tidak perlu, lain
halnya dengan al-Qur’an, yang menurut Goldziher, penulisannya wajib dilakukan.
Beberapa catatan atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai
berikut:
Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan
produk kreasi kaum muslimin belakangan untuk melegitimasi suatu kepentingan
dengan beragama motivasi baik politik, kegamaan, ekonomi dan lain-lain, karena
kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi.[23]
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadis yang membolehkan penulisan (proses
pengkodifikasian) sebenarnya lebih banyak dari pada pelarangan hadis yang lebih
mengandalkan pada hapalan. Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan
adanya penulisan hadis melalui periwayatan Abu Hurairah “Tidak ada seorangpun
yang hafal lebih banyak hadis selain aku, Namun Abdullah Bin ‘Ash telah
menuliskannya sedangkan aku tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan
justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin Anas pernah mengajar
murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para pendengar menghafalnya
dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannya. Di samping itu, masih
banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis oleh Goldziher untuk
menguatkan data tentang penulisan hadis ini.[24]
Pergulatan pemikiran (gazhw al-fikr) yang berkisar pada wilayah boleh
tidaknya penulisan hadis, merangsang Goldziher untuk berkomentar, bahwasanya
pelarangan itu merupakan akibat yang dibiaskan dari prasangka-prasangka yang
muncul kemudian. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id
al-Khudri bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kamu menulis dariku
kecuali al-Qur’an, dan barang siapa menuliskannya hendaknya dia menghapuskannya.”[25]
Selain itu juga karena kekhawatiran akan menyakralkan tulisan, sehingga kata
Goldziher, mereka lebih cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan,
sebagaimana yang dilakukan oleh agama-agama terdahulu (baca: Yahudi) yang
mengabaikan ungkapan Tuhan tetapi justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.[26]
Nampaknya Goldziher sengaja mengutip banyak bukti periwayatan yang melegitimasi
pelarangan ataupun pembolehan penulisan hadis. Terlepas apakah
periwayatan-periwayatan tersebut mutawatir atau tidak, namun harus diakui bahwa
orientalis, khususnya Goldziher, sangat hebat dalam menelusuri data-data yang
telah ada berikut data-data historis yang juga mendukung pelarangan penulisan
hadis, yaitu: pada abad ke-3 H. (masa Imam Bukhori dan Muslim), Abu Ali
al-Basri sangat memuji orang yang menghapal dan mengutuk orang yang menulis,
karena menulis buku tidak akan bebas dari bahaya api, bahaya tikus, bahaya air
dan bahaya pencuri yang akan mengambilnya. Hal ini sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Abu Sa’ad Abdul Rahman Bin Dost pada abad ke-4 H. Kemudian
pada abad ke-6, penulisan hadis ini direkomendasikan oleh sejarawan terkemuka
dari Damaskus, yaitu Abu al-Qosim Ibnu Asakir yang wafat pada tahun 521 H.[27]
Kedua, Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi
Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik
bukan merupakan laporan yang otentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari
perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya,
hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian
banyak materi hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang
benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.[28]
Ketiga, Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt,
beranggapan bahwa tradisi penulisan hadis sebenarnya merupakan pengadopsian
dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya ada larangan atas
penulisan aturan-aturan agama.[29]
Namun ternyata pemahaman yang keliru tersebut masih juga mendapat dukungan dari
sebagian kaum Muslimin sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang
telah ada. Menurut Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa
terlepas dari kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti
yang menunjukkan bahwa Muhammad Saw mencatat riwayat-riwayat selain Al-Quran
serta tidak ada bukti bahwa penulisan hadis itu sudah terjadi sejak awal Islam.[30]
Keempat, Goldziher menyatakan bahwa redaksi hadis yang diriwayatkan oleh
perawi-perawi hadis dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan
pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima
periwayatan hadis disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat
perawinya.[31]
Ada beberapa alasan yang menyebabkan Goldziher
meragukan kesahihan hadis Nabi: Pertama, koleksi hadis belakangan tidak
menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilah-istilah isnad yang
lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua,
adanya hadis-hadis yang kontradiktif satu sama lain. Ketiga,
perkembangan hadis secara masal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis
belakangan tidak termuat dalam koleksi hadis yang lebih awal. Keempat,
para sahabat kecil lebih banyak mengetahui Nabi, dalam arti mereka lebih banyak
meriwayatkan hadis daripada sahabat besar. Semua ini menjadi bukti bagi Goldziher
bahwa telah terjadi pemalsuan hadis dalam skala besar.[32]
Lebih jauh, Goldziher
memandang bahwa secara faktual penelitian tentang otentisitas hadis yang
dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
karena kesalahan metode yang digunakan. Hal ini karena para ulama, menurutnya,
lebih banyak menggunakan kritik dan pendekatan sanad dan kurang
menggunakan kritik matan. Oleh karena itu, Goldziher kemudian menawarkan
metode baru yakni kritik matan.[33]
Menurutnya, untuk memahami dan menetapkan kesahihan hadis, tidak hanya
disandarkan pada analisis sanad, lebih jauh untuk menggambarkan sampai sejauh
mana hubungan teks hadis dengan kondisi eksternal atau latar belakang kondisi
sosial politik saat hadis tersebut muncul.[34]
Dengan kata lain hadis menurut Goldziher merupakan alat untuk menjaga hegemoni
kepentingan kelompok, politik mapun keagamaan, bukan sebagai alat untuk
mengetahui perilaku Nabi yang sesungguhnya.[35]
Dalam hali ini, Goldziher
menyontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari, dimana menurutnya
Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan, sehingga
setelah adanya kritik matan yang dilakukan oleh Goldziher, hadis tersebut
dinyatakan palsu. Untuk menguatkan argumentasinya, Goldziher memebrikan sebuah
contoh dimana ketika Khalifah Abdul Malik b. Marwan yang karena kawatir
orang-orang Syam yang pergi haji ke Makkah akan melakuakn ba’iat setia kepada
rivalnya Abdullah b. Zubair, ia kemudian berusaha agar orang-orang tersebut
dapat melakukan haji di Qubbah al-Sakhra di Yerussalem sebagai ganti
dari dari pergi haji ke Makkah. Selanjutnya untuk tujuan politis tersebut ia
mempercayakan ahli hadis al-Zuhri untuk membuat suatu hadis yang bersambung
kepada Nabi saw dan mengedarkannya ke masyarakat. Peristiwa inilah yang menurut
Goldziher melatarbelakngi munculnya hadis Nabi yang berbunyi, “ La Tasyuddu
al-rihala ila tsalasati masajida, masjidi hadza wa al-masjid al-haram wa
al-masjid al-aqsha..”[36]
Pendapat Goldziher di
atas disanggah oleh M.M. Al-A’zami dalam karyanya Study in Early
Hadits Literature. Melalui pendekatan historis dengan merujuk kepada
kitab-kitab tarikh, Al-A’zami membantah pendapat tersebut dengan
menyatakan bahwa ahli-ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun kelahiran
al-Zuhri antara tahun 50 H sampai 58 H. Ia juga tidak pernah betemu dengan
Abdul Malik b. Marwan sebelum tahun 81 H. Disisi lain, pada tahun 67 H,
Palestina berada di luar kekuasaan Abdul malik b. Marwan, sedangkan orang-orang
bani Umayyah pada tahun 68 H berada di Makkah dalam musim H. dari data-data
tersebut, menurut A’zami, dapat disimpulkan bahwa Abdul Malik b. Marwan tidak
mungkin mempunyai pikiran utnuk membangun Qubbah al-sakhra’, sebagai
pengganti Ka’bah, kecuali sesudagh tahun 68 H. Sumber-sumber sejarah sendiri
justru menunjukkan bahwa pembangunan Qubbah al-Sakhra’ baru dimulai pada
tahun 69 H. Pada saat itu juga al-Zuhri baru berumur antara 10 samapai 18
tahun, sehingga tidak logis apabila seorang remaja sudah populer di luar
komunitasnya sendiri.[37]
Jadi, dari pandangan-pandangan yang
telah dipaparkan di atas, tampak bahwa Goldziher memiliki sikap yang sangat
skeptis terhadap otentisitas hadis Nabi dengan berbagai argumentasi yang ia
ajukan. Dengan demikian, menurut Goldziher hadis sebagai corpus yang
berisikan perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW jika dilihat dari sejarah
perkembangannya kerap berbaur dengan berbagai kepentingan terutama politik,
akan sulit diterima bahwa suatu hadis adalah otentik dan orisinil dari Nabi
SAW.
C.
PENUTUP DAN
KESIMPULAN
Berangkat dari pembahasan di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.
Ignaz
Goldziher merupakan tokoh orientalis yang memiliki pengaruh cukup besar dalam
studi Al-Quran dan hadis, dimana karya-karyanya banyak dijadikan rujukan oleh
para orientalis baik semasa maupun ses udahnya.
2.
Bagi
Goldziher, materi Al-Quran tidak lebih hanyalah hasil plagiasi, eklektik dan
sinntesis dari beragam ajaran agama-gama yang datang sebelum Islam. Dari sisi
teks, Goldziher juga menganggap Al-Quran sebagai corpus yang
membingungkan karena beragamnya variasi bacaan.
3.
Hadis Nabi SAW
sebagian besar menurut Goldziher merupakan kreasi umat Islam belakangan yang
sangat dipengaruhi oleh beragam motivasi dan tendensi, sebagimana yang
ditemukannya melalui metode kritik historis matan, sehingga
otentisitasnya diragukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyrikin, terj. Oleh Amroeni Drajat dengan judul
Ensiklopedi Orientalis (Yogyakarta: LkiS, 2003)
Ali Mustafa
yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)
Dadi
Nurhaedi “Perkembangan studi di Kalangan Orientalis” dalam Jurnal Essensia,
UIN Yogyakarta Vol. 4No. 2 tahun 2003
Edward
W Said, Orientalism, terj. Oleh Asep Hikmat (Penerbit Pustaka: Bandung,
1996)
G.H.A.
Juynboll, The Authenticity of The Traditions Literature: Discussion in Modern
Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1969)
Ignaz Goldziher, Muslim
Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971)
-------------------,
Introduction to Islamic Theology and Law,terj. Oleh Hesri Setiawan
(Jakarta: INIS, 1991)
-------------------,
Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy, terj. Oleh M. Alaika Salamullah dkk
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2006)
--------------------,
Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971)
M.M.
Al-A’zami,The History of The Quranic Text from revelation to Compilation,
terj. Oleh Anis Malik Toha dkk (Jakarta: Gema Insani, 2005)
---------------------,Study
in Early Hadits Literature, terj. Ali Mustofa Yaqub (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000)
Mircea Eliade
(ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: McMillan publishing
Company, 1993, vol. 5 dan 6)
Abdul
Mustaqim, “Studi Tentang Mazhab Tafsir” dalam http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com,
download tanggal 17 Oktober 2008
Syamsuddin
Arif, “Gugatan Oeientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya di Dunia Islam” dalam Jurnal
Al-Insan,( Jakarta ,Gema Insani Perss, No. 02 vol. I, 2005).
Taufik Adnan Amal, Rekosnstruksi
Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FkBA, 2001)
[1]
Dipresentasikan pada diskusi mata kuliah “Studi Al-Quran dan Hadis Orientalis”
yang diampu oleh Dr. Nur Kholis Setiawan, MA, Selasa, 21 Oktober 2008 M.
[2] Istilah
orientalisme sendiri agaknya dipopulerkan oleh Edward W Said, seorang penganut
Kristen Palestina yang juga aktifis PLO (Organisasi pembebasan Palestina).
Dalam bukunya yang berjudul Orientalsm ia mendefinsikan kata tersebut
sebagai “suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang
khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.Lihat Edward W Said, Orientalism,
terj. Oleh Asep Hikmat (Penerbit Pustaka: bandung, 1996) hlm. 1-3. Istilah
orientalisme sendiri mengalami pemaknaan yang ‘fluktiatif’ sesuai dengan
situasi dan kondisi. Namun para orientalisme modern sendir enggan disebut
sebagai orientalis karena maknanya yang dianggap pejoratif, mereka sendiri
lebih senang dipanggil sebagai islamolog karena dianggap lebih sopan dan
terkesan lebih akademis. Lebih jauh dan mendalam tentang hakikat dan tujuan
orientalisme, silahkan lihat Edwar W said dalam karyanya Orientalisme di
atas.
[3] Ignaz
Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London:
1971), hlm. 20.
[4] Dadi Nurhaedi
“Perkembangan studi di Kalangan Orientalis” dalam Jurnal Essensia, UIN
Yogyakarta Vol. 4No. 2 tahun 2003, hlm 176.
[5] Abdurrahman
Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyrikin, terj. Oleh Amroeni Drajat dengan judul
Ensiklopedi Orientalis (Yogyakarta: LkiS, 2003) hlm. 128-129.
[6] ibid,
hlm. 129.
[7] ibid,
hlm. 130
[8] Buku ini
aslinya berbahasa Jerman dengan judul Muhammedanische Studien, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh C.R. Barber S.M. Stern dengan judul Muslim
Studies dan diterbitkan pertama kali tahun 1971 oleh George Allen dan Unwin
LTD, London. Lihat Dadi Nurhaedi “Perkembangan…hlm. 177.
[9] ibid,
hlm. 130-133.
[10] Taufik Adnan
Amal, Rekosnstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FkBA, 2001) hlm. 354.
Lihat juga Ignaz Goldziher dalam Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy, terj.
Oleh M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006)
[11]Studi Tentang Mazhab
Tafsir
oleh Abdul Mustaqim dalam http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com,
download tanggal 17 Oktober 2008
[12] Ignaz
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law,terj. Oleh Hesri
Setiawan (Jakarta: INIS, 1991) hlm. 12. Buku ini sendiri aslinya berbahasa
Jerman dengan judul Vorlesungen uber
den Islam . Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul tersebut di
atas oleh Andras dan Ruth Hamori yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab dengan judul Al-Aqidah wa al-Syariah fi Al-Islam.
[13] ibid.
[14] Ignaz
Goldziher, Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy, terj. Oleh M. Alaika
Salamullah dkk (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006) hlm. 3-4. Buku di atas aslinya
berjudul Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung yang
diterjemahkan oleh oleh Ali Hasan Abd al-Qadir, menjadi Madzahib al-Tafsir
Al-Islamiy (1955). Dalam tradisi Ulum al-Qur’an sendiri dikenal bahwa
al-Qur’an diturunkan dengan berbagai versi bacaan, atau yang dikenal dengan sab’at
ahruf. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: “Jibril membacakan satu huruf, dan dia
membacakan lagi sebelum aku menyampaikan tambahan (bacaan), maka
dia pun menambahkan kepadaku, sampai berakhir pada tujuh
huruf”. Para ulama memang berbeda-beda dalam memakna sab’atu
ahruf. Diantara mereka ada yang mengartikan tujuh bahasa, tujuh
ilmu, tujuh arti, tujuh bacaan, tujuh bentuk. Tidakklah mengherankan jika
kemudian juga muncul berbagai versi bacaan (wujuh al-qira’at) yang cukup
populer dan dinisbatkan kepada imam tujuh, yaitu Abu Amir bin al-A’la, , Ibnu
Kasir al-Makki, Nafi’ bin Nu’aim, Ashim al-Asadi, Abdullah bin Amir ,
Hamzah bin Habib dan Ali bin Hamzah al-Kisai dimana kemudian bacaan
mereka dikenal dengan istilah qira’ah sab’ah. Di Indonesia sendiri sejak MTQN tahun 2000 di
Palu telah dimulai dilombakan Musabqah qiraa’at sab’ah sebagai uapya
mensosialisasikan beragam variasi qiraat dimaksud.
[15] ibid,
hlm. 9-16.
[16] ibid,
hlm. 7-8. Pandangan ini sendiri sebenarnya bukanlah pandangan murni Goldziher
karena dalam bukunya tersebut ia sendiri secara jelas mengutip dari Theodre
Noldeke, seorang orientalis yang dianggapnya sebagai gurunya.
[17] Lihat M.M. Al-A’zami
dalam bukunya The History of The Quranic Text from revelation to Compilation,
terj. Oleh Anis Malik Toha dkk (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 179.
[18] QS. al-Hijr
(15) : 9.
[20] Menurut
Sprenger, hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita bohong tetapi menarik).
Lihat Syamsuddin Arif, “Gugatan Oeientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya di Dunia
Islam” dalam Jurnal Al-Insan, No. 02 vol. I, 2005, hlm.10.
[21] Muir misalnya
menyatakan bahwa nama Nabi Muhammad sengaja sengaja dicatut untuk menutupi
bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Menurutnya pula, dari 4000 hadis yang
dianggap sahih oleh Bukhari, paling tidak sepruhnya harus ditolak. Lihat ibid.
[22] Syamsuddin
Arif, “Gugatan Oeientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya di Dunia Islam” dalam Jurnal
Al-Insan, No. 02 vol. I, 2005, hlm.10.
[23] M.M. Azami, Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaqub (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hlm. 3.
[24] Ignaz
Goldziher, Muslim… hlm. 183.
[25] ibid,
hlm. 183-184.
[26] ibid,
hlm. 186.
[27] ibid.
[28] ] G.H.A.
Juynboll, The Authenticity of The Traditions Literature: Discussion in
Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1969), hlm. 100.
[29] Ignaz
Goldziher, Muslim…, hlm. 186.
[30] ibid,
hlm. 182.
[31] ibid,
hlm. 187-188
[32] Ali Masrur, Teori
Common…hlm. 34.
[33] Ali Mustafa
yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) hlm.15.
[34] Lihat Mircea
Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: McMillan
publishing Company, 1993, vol. 5 dan 6)
hlm. 74. Sebenarnya dalam tradisi ulum al-hadis sendiri telah
dikenal istilah kritik matan (naqd al-mtn) dimana kriteria otentisitas
hadis dirumuskan harus memenuhi empat (4) syarat yakni pertamadiriwayatkan
dengan transmisi yang bersambung(ittishal al-sanad); kedua para musnid
itu sendiri adalah orang-orang yang kredibel dan kuat ingatannya, ketiga
materi atau matan hadis tidak kontradiktif dengan Al-Quran dan Hadis lain yang sandnya
lebih unggul kualitasnya, serta keempat tidak mengandung kecacatan.
Hanya saja kritik matan yang diusung oleh Goldziher dan versi ulama hadis
memiliki perbedaan dimana kritik Matan versi Goldziher lebih menitikberatkan
kepada aspek kritik historis, sehingga tentu saja tidak menemukan titik temu
diantara keduanya.Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik…hlm. 13.
[35] Abdurrahman
Badawi, Mawsu’ah …. hlm. 131.
[36] Ignaz Goldziher,
Muslim…, hlm. 44-45.
[37] M.M.
Al-A’zami, Study …. hlm. 609-610.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: STUDI Al-QURAN DAN HADIS ORIENTALIS
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/04/studi-al-quran-dan-hadis-orientalis.html?m=0. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5