JURNALISME POLITIK
Jumat, 08 Februari 2013
0
komentar
JURNALISME POLITIK
KEBERPIHAKAN MEDIA DALAM PILKADA
A.
Latar Belakang
Dewasa ini manusia sangat
membutuhkan yang namanya informasi, baik itu melalui media cetak maupun media
elektronik. Dengan informasi orang dapat mengetahui sesuatu yang belum mereka
ketahui, oleh karena itu tidak salah jika dikatakan bahwa siapa yang menguasai
informasi, maka ia akan menguasai dunia. Banyak media yang menyajikan bertia
dan peristiwa yang memang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Dengan banyaknya
media yang bermunculan tersebut maka masyarakat lebih selektif dalam memilih
media mana yang akan mereka konsumsi.
Media dalam kehidupan politik
di alam modern memiliki posisi dan peranan yang sangat vital. Media bukan saja
sebagai informasi politik, melainkan juga kerap menjadi faktor pendorong
terjadinya perubahan politik. Realitas demikian tampak jelas ketika terjadi
pemilihan kepala daerah. Salah satu berita yang diliput untuk diberitakan
adalah mengenai berita yang berhubungan dengan kegiatan kampanye calon Kepala
Daerah yang maju sebagai kandidat. Hal tersebut dilihat dari banyaknya
informasi yang diberitakan pada berbagai media massa (televsi, radio, internet,
dan surat kabar). Ada banyak peristiwa politik yang cukup menarik perhatian
masyarakat, dan cara untuk mengetahui peristiwa-peristiwa adalah dari media
massa itu sendiri. [1]
Media massa memiliki kekuatan
untuk membentuk budaya dan wacana politik. Sebagai salah satu pilar penting
dalam demokrasi, strategi pemberitaan media massa ikut menentukan proses
kampanye sebagai kekuatan politik untuk merebut hati rakyat.
Pada prinsipnya, sebuah media dalam
melakukan kegiatan jurnalistiknya dituntut untuk bersikap fair dan akurat.
Suatu kewajiban moral bagi para penanggung jawab media di berbagai wilayah
untuk menjadikan netralitas, sikap independen terhadap kontestan politik,
sebagai suatu keutamaan yang harus terus diperjuangkan. Pengutamaan salah satu
kandidat politik – apa pun dasarnya (kesamaan suku, agama, ras, tingkat
ekonomi, dan lain-lain)-daripada yang lain adalalah mengingkari tugas dasar
media untuk tampil sebagai pewarta informasi yang tak memihak siapapun. Dengan
kata lain, media massa harus bersifat objektif, bukan subjektif.
Sekali tugas ini dilanggar, dan media
jatuh dalam favoritisme terhadap salah satu kandidat, media itu telah mudah
dituding sebagai pengikut salah satu kandidat dan meruntuhkan kepercayaan
masyarakat atas liputan-liputannya. Dengan kata lain, pers justru ikut dalam
proses membodohi masyarakat dengan keberpihakannya tersebut. Oleh karena itu,
pada umumnya surat kabar sangat berperan dalam pelaksanaan politik, dan pada
khususnya kandidat calon-calon untuk pemilihan Kepala Daerah itu sendiri.
B.
Defenisi Media
Kata media berasal dari bahasa latin “medius-medium” (tunggal)
“media” (jamak) yang secara harfiah berarti pertengahan, perantara, penghubung,
pengantar, dan alat jalur. Dalam bahasa Arab, media adalah وسائل (perantara) atau pengantar pesan dari
pengirim kepada penerima pesan. Jadi media merupakan alat atau sarana untuk
menyampaikan pesan kepada khalayak.[2]
Di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa media
adalah sarana komunikasi bagi masyarakat bisa berupa koran, majalah, TV, radio,
internet, dan sebagainya.[3]
Media
adalah saluran komunikasi massa yang memiliki ciri-ciri khusus, yaitu mempunyai
kemampuan untuk menarik perhatian khalayak secara bersama-sama (simultaneous) dan secara seketika (instanteneous). [4]
Jadi media adalah alat jalur dari komunikasi, atau perantara dalam
proses mempublikasikan informasi, pendidikan, dan hiburan untuk menarik
perhatian khalayak secara bersama-sama dan secara seketika.
C.
Peran Media dalam
PILKADA
Salah satu fungsi sentral media di dalam ranah publik menurut Dennis
McQuail adalah fungsi kolerasi sosial (social correlation). Melalui
berita dan opini yang dimuat secara reguler, media memandu publik
mengkolerasikan berbagai realitas yang sebelumnya terpisah oleh faktor geografi
dan psikolgi, menjadi satu rangkaian yang bisa diikuti dan dipahami secara
mudah.[5]
Media juga dapat menjadi subjek yang memanipulasi pernyataan atau
peristiwa politik karena tekanan kepentingan ekonomi dan politik pemilik atau
pengelolanya. Dalam iklim politik yang bersifat transisional terdapat prilaku
feodalistik media dalam bentuk pemberian ruang ekspresi lebih pada tokoh publik
dibandingkan terhadap kalangan biasa dalam masyarakat.
Media juga sebagai pemain yang berpengaruh, menurut pemikir politik
Thomas Meyer, ada tiga dimensi relasi antara media dan politik, antara lain
sebagai berikut:[6]
1.
Media dapat menjadi ruang
publik bagi terjadinya interaksi politik, ikut mempengaruhi pembentukan sistem
komunikasi politik di kalangan publik, pembentukan karakter dan agenda politik
berlasngsung secara terbuka.
2.
Media tidak hanya menjadi
cermin dari kehidupan politik, tetapi melakukan generalisasi realitas politik,
mengkonstruksi realitas politik sebagai sesuatu yang bersifat kompleks dan
mengundang antusiasme respon publik.
3.
Konstruksi realitas media
atas dunia politik itu secara positif akan memperkuat komitmen pencapaian
tujuan politik ideal dari partai politik atau politisi dan kontrol publik yang
tajam atas proses itu.
Pakar jurnalisme dan Ketua Committee of Concerned Journalists Bill
Kovach saat peluncuran buku Sembilan Elemen Jurnalisme, mengemukakan
bahwa jurnalisme dan demokrasi tumbuh bersama-sama. Demokrasi tidak akan eksis
tanpa jurnalisme politik yang baik. Jurnalisme yang menjadi propaganda politik
akan meracuni demokrasi. Dalam pemilu, jurnalisme mesti menyajikan fakta-fakta
dan informasi independen tentang peristiwa dan isu-isu yang akan jadi referensi
bagi masyarakat dalam membuat keputusan.[7]
Kovach merekomendasikan model watchdog journalism atau anjing
penjaga yang secara sederhana menempatkan media dan jurnalis sebagai the
monitor of power bukan agent of power. Dalam konteks penerapan
jurnalisme politik pada institusi media komersial, kredibilitas media
dipengaruhi kemampuannya mengimbangi pesan-pesan periklanan politik yang
diterimanya dengan muatan jurnalisme politik yang kritis terhadap kesalahan
yang dilakukan pemasang iklan itu. Hal itu dapat dilakukan, antara lain dengan
poling rutin media untuk menyiarkan visi, misi dan program capres dan cawapres
dengan waktu yang memadai sehingga dapat membantu pemilih menseleksi informasi
politik yang dibutuhkan.[8]
Media massa baik cetak maupun
elektronik idealnya tidak hanya panen iklan politik, tetapi marak dengan
berita-berita politik yang tajam. Peran watchdog dalam media adalah
peran kritis membuat manajemen dan proses eksekusi kebijakan dari kekuasaan
berlangsung transparan, membuat publik mengetahui persis akibat yang akan
mereka terima dari kebijakan penguasa itu.
Kenyataannya bagian besar iklan
politik, sebagaimana juga berita politik, ditujukan kepada khalayak di akar
rumput. Keduanya seharusnya dibangun dan dikembangkan lebih informatif dan
etis. Hal itu penting karena segmen khalayak ini kurang memiliki akses
informasi sehingga mereka amat rentan terhadap gencarnya pesan-pesan periklanan
sesat.[9]
Menurut Russert, dua tujuan utama
jurnalisme politik adalah menempatkan kepentingan pihak yang berkuasa agar
tetap berkorelasi dan bertanggungjawab kepada kepentingan publik dan
menjelaskan kepada pemilih bagaimana mengaitkan harapan ketika menunaikan hak
sebagai warga negara dengan apa yang harus dikerjakan oleh pemerintahnya.
D.
Keberpihakan Jurnalisme
Politik
Jurnalisme politik (political journalism), dalam perspektif
ekonomi politik meminjam istilah Noam Chomsky pada awalnya dikenal sebagai
jurnalisme propaganda, yaitu praktek jurnalisme “siap saji”, mewadahi
kepentingan dominan yang pada umumnya dikontrol oleh uang dan kekuasaan pejabat
negara (controlled by the moneyed and power elite). Dalam jurnalisme
propaganda, media tidak menganut semangat memberikan pendidikan politik yang
sehat dan media membiarkan diri menjadi political public relation para
kandidat.[10]
Menurut Noam Chomsky, kecenderungan media masa menjadi propaganda
terutama di musim kompetisi pemilihan presiden, hal ini merupakan akibat dari
beragam aspek sebagai berikut:[11]
1.
Terkonsentrasinya pemilikan
media pada sekelompok elit kekuatan ekonomi, sejumlah konglomerat yang secara
keamanan bisnis masih sangat tergantung pada kekuatan politik yang sedang atau
akan berkuasa.
2.
Orientasi komersial yang
terlampau berlebihan, penggunaan iklan sebagai sumber utama pendapatan (primary
source of income) bisnis media.
3.
Tradisi jurnalistik yang
masih bersifat konvensional, menggantungkan sumber informasinya pada tiga
lingkaran elit dalam masyarakat, yaitu kalangan bisnis, pemerintah dan pakar
akademis atau peneliti.
4.
Mengedepankan norma “kalah
menang” dalam politik, sebagai bagian dari disiplin peliputan media atas
pelaksanaan pemilu.
Dalam praktek jurnalisme
politik di Negara berkembang seperti Indonesia, jarang ditemukan berita dan
opini yang mendalam atau bersifat analitis, melibatkan semua sudut pandang
dalam masyarakat. Kebanyakan realitas media lebih tampak sebagai sebuah sajian
spekulasi-spekulasi, korelasi-korelasi instrumental, bukan korelasi
substansial. Karena akses penguasaan informasi dan pengendalian jurnalis yang
hanya lebih terpusat pada lingkaran elit sumber di masyarakat, media utama
kerapkali lebih berperan sebagai alat propaganda kelompok-kelompok kepentingan
dominan dalam masyarakat seperti partai politik atau politisi yang berkuasa.
[2] Suf Kasman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di
Indonesia (Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika), Jakarta:
BALAI LITBANG DAN DIKLAT KEMENAG RI, 2010, h. 48.
[3] R. Suyoto Bakir dan Sigit Suryanto, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, Tangerang: KARISMA Publishing Group, 2009, h. 370.
[5] Masduki, “Jurnalisme Politik: Keberpihakan Media dalam
Pemilu 2004”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Vol. 8. No. 1, Juli 2004,
h. 77.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: JURNALISME POLITIK
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/02/jurnalisme-politik.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5