MENGGAPAI HAJI MABRUR
Senin, 04 Februari 2013
0
komentar
Pada bulan
Dzulhijjah 1431 H ini, umat Islam sedang melangsungkan perhelatan besar, yaitu
ibadah haji. Subhanallah! Tak ketinggalan pula umat muslim yang ada di
Kalimantan Tengah turut serta dalam ibadah tahunan ini. Kita lihat bersama dari
seluruh dunia kaum muslim berbondong-bondong datang ke Tanah Suci dengan
berbagai latar belakang; ras, suku , bangsa, dan bahasa. Namun, perbedaan itu
mereka tanggalkan semuanya, yang ada hanyalah kesamaan iman dan Islam yang
mengikat mereka untuk berada dalam satu tempat bersama-sama, demi mengerjakan
segala perintah Allah SWT dengan penuh ketundukkan dan rasa keikhlasan.
Pengorbanan waktu, harta, tenaga dan pikiran mereka persembahkan hanya kepada
Allah.
Bagi bangsa Indonesia, dapat melaksanakan haji
adalah sebentuk "kemewahan", tidak sembarang orang mampu
menunaikannya. Juga di Indonesia, naik haji bukan sekadar menunaikan kewajiban
ibadah, melainkan juga menjadi semacam kebanggaan sosial. Menjadi pak haji atau
hajjah mengandung kehormatan sekaligus pengakuan status sosial. Bahkan, di
Indonesia Timur seorang anak yang ayahnya telah berhaji ikut kecipratan
berkahnya. "Haji" tidak hanya dianugerahkan kepada si pelaku, anaknya
juga. Kalau ada tambahan "Hi" pada akhir nama, artinya bapaknya telah
melakukan haji. Misalnya, Zaid Hi, alias Zaid anaknya Haji anu, meskipun Zaid
sendiri belum melakukan haji.
Dapat menunaikan ibadah haji tentu menjadi
idaman setiap muslim, karena ia adalah pondasi Islam kelima. Haji diwajibkan
bagi yang mampu. Termasuk dosa besar jika meninggalkan ibadah haji padahal ia mampu.
Suatu ketika Umar bin Khattab sampai berkata, "Sungguh, aku pernah
berkeinginan untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri untuk
melihat siapa saja yang sehat dan memiliki bekal tetapi tidak melaksanakan haji
agar diminta jizyah-nya(pajak), serta mengganggap mereka sebagai
nonmuslim." (Adz-Dzahabi, Al-Kaba'ir).
Haji sarat dengan nilai pendidikan. Pakaian
kebesaran yang mencerminkan kelas sosial atas dasar ras, pangkat, harta, suku
harus dicopot, digantikan pakaian ihram yang sederhana, tanpa membedakan antara
kaya dan miskin; juragan dan buruh; penguasa dan rakyat. Semua lebur dalam
kesamaan dan kebersamaan. "Kita" dan bukan "aku". Dari sini
terdapat pelajaran untuk meredam kesombongan, gila harta, gila pangkat, gila
hormat, bahkan gila menindas sesama. Haji juga melatih untuk meredam birahi,
amarah, dan berkata keji. "(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk menunaikan
ibadah haji, maka tidak boleh berhubungan suami istri, berbuat fasik, dan
berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji..." (Al-Baqarah: 197).
Salah satu dari amalan haji ialah sa'i:
berlari kecil tujuh kali antara Bukit Safa dan Marwa. Sa'i memiliki
nilai sejarah tinggi yang perlu dikenang dan diteladani. Kecintaan keluarga
Ibrahim a.s. terhadap Allah yang unlimited, menjadikan mereka rela
berkorban apa saja. Berhijrah ke tanah tak bertuan: Mekah. Meninggalkan kemapanan,
pekerjaan, sanak keluarga, dan handai taulan, bahkan rela berkorban dengan
nyawa: Ismail. Sayang, banyak yang "salah penerapan" memaknai arti
pengorbanan ini. Tidak sedikit, para pejabat misalnya, dalam memaknai
pengorbanan haji justru dengan mengorbankan uang rakyat untuk ongkos ke tanah
suci, dan bukan berkorban atas milik sendiri.
Haji adalah rukun Islam kelima dan tidak wajib
dilaksanakan kecuali terhadap orang yang sudah memenuhi syaratnya, yaitu
memiliki kemampuan (al-Istithaa-'ah) sebagaimana firman Allah Ta'ala: "…mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah…" . (Q.S. ali 'Imran/3: 97).
Berkaitan dengan ayat tersebut, terdapat
beberapa poin: Pertama, berdasarkan ayat tersebut, para ulama secara
ijma' sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Kedua, mereka
juga secara ijma' dan nash menyatakan bahwa haji hanya diwajibkan selama sekali
seumur hidup. Ketiga, Ayat tersebut dijadikan oleh Jumhur ulama sebagai
dalil wajibnya haji. Keempat, para ulama tidak berbeda pendapat mengenai
wajibnya haji bagi orang yang sudah mampu, namun mereka berbeda pendapat
mengenai penafsiran as-Sabiil (mengadakan perjalanan) dalam ayat
tersebut.
Mengenai makna as-Sabiil, terdapat
beberapa penafsiran, yaitu: pertama; Az-Zaad wa ar-Raahilah (bekal dan
kendaraan); riwayat dari Ibnu 'Umar, Anas, Ibnu 'Abbas. Kedua; Memiliki
uang sebesar 300 dirham; riwayat dari Ibnu 'Abbas. Ketiga; Az-Zaad wa
al-Ba'iir (bekal dan keledai); riwayat lain dari Ibnu 'Abbas. Keempat; Kesehatan
jasmani ; riwayat dari 'Ikrimah
Merujuk kepada penafsiran diatas, setidaknya
dapat disimpulkan satu kesamaan, yaitu adanya kemampuan untuk mengadakan
perjalanan dalam melaksanakannya sedangkan bagi yang tidak memiliki persyaratan
itu; maka tidak wajib baginya melakukan haji. Namun, bila melihat fenomena yang
ada di masyarakat, nampaknya mereka kurang memahami hal ini sehingga ada
sebagian dari mereka yang memaksakan diri untuk melakukan haji meskipun harus
menjual semua harta bendanya alias sepulangnya dari haji nanti dia sudah tidak
memiliki apa-apa lagi.
Sabda Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam
: "Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya selain surga". Imam
an-Nawawi berkata: "Diantara tanda-tanda diterimanya adalah bahwa
sepulangnya dari haji, orang tersebut menjadi lebih baik dari
sebelum-sebelumnya dan tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan maksiat yang
pernah dilakukannya". Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Syaikh
as-Sindy dalam syarahnya terhadap hadits ini.
Dari sini, tidak berlebihan rasanya jika kita
berharap dengan ratusan ribu atribut baru haji setiap tahun akan lahir suasana
kehidupan yang lebih baik. Kemungkaran, kesombongan, keangkuhan menjadi
berkurang. Bejibun artis sepulang haji akan berhenti mengumbar aurat di media
massa. Para pejabat berhenti korupsi dan menindas rakyat. Kaum dhuafa
tak takut kelaparan karena uluran tangan si kaya. Juragan tak lagi semena-mena
terhadap buruh, dan seterusnya.
Namun, sampai sekarang, sejauh mana ibadah haji
yang telah dilakukan membekas dalam hati si pelaku dan berpengaruh pada
perilaku kesehariannya? Inilah pertanyaan yang menggelayut di benak banyak
orang. Bertambahnya atribut "haji" setiap tahun dirasa belum memberi
pengaruh positif yang signifikan bagi perubahan masyarakat kepada yang lebih
baik, baik dalam konteks pribadi maupun komunal. Para pembaca sekalian, mari
kita doakan bersama semoga kaum muslim tahun ini dalam menjalankan hajinya tergolong
haji mabrur, yang mampu menangkap, menghayati, dan merefleksikan nilai-nilai
haji dalam keseharian, dan tidak terjebak pada atribut "H"atau”Hj”
yang bisa merusak keikhlasan. (Karya: Syaifullah)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: MENGGAPAI HAJI MABRUR
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/02/menggapai-haji-mabrur.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5