Menelisik Pluralisme Agama M. Quraish Shihab
Minggu, 07 April 2013
2
komentar
MENELISIK PLURALISME
AGAMA M. QURAISH SHIHAB
DALAM TAFSIR
Al-MISBÂH
Oleh
Akhmad Supriadi
Abstract
The discourse
about religion pluralism is one of the most important issue in interpretation
al-Qur’an either in clasical interpretation discourse, midle or modern and contemporer. This problem has special urgency
and signification because the problem of religion pluralism is one of the most sensitive issue in
connection between religion followers in multiculture and multirelion era.
This writing
tries to look the view of al-Misbâh exegesis, the works of Indonesian contemporer Quranic interpreter,
Muhammad Quraish Shihab, about religion pluralism issue that discuss three
important themes they are the fidelity of religion, the safety of religion
followers and the tolerance of religon followers. With using the fenomenology
method, the writer tries to “understand” and explain about Quraish Shihab view
interrrelated to religion pluralism problem.
Based on the
result of writer’s temporary study, the figure of Quraish Shihab which his
recording idea can be seen by his main works al-Misbah exegesis, has no
monolitic view to the three isues above. Connected to rightness problem
and the purity of religion, Quraish
Shihab has an exclusive view. And the
issue about the safety of religion followers (out of Islam), he is inclined
between exclusive and inclusive. Connected to the tolerance problem, Quraish
Shihab is very inclusive and tolerance figure to othe religion community in
outside of moslem cummunity.
A.
Pendahuluan
Diskursus tentang pluralisme, lebih
khusus lagi pluralisme agama, merupakan salah satu agenda keagamaan yang
tampaknya senantiasa hangat untuk dibincangkan. Setiap agama muncul dalam
lingkungan yang plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralitas
tersebut. Ketegangan kreatif yang ditimbulkan dalam konteks pluralitas sering
menjadi katalisator bagi wawasan baru dalam perkembangan agama.
Terkait dengan hal ini, sikap yang
diambil oleh para pemeluk agama dalam merespon pluralitas agama memang tidaklah
seragam sesuai dengan cara pandang terhadap realitas tersebut dan pemahaman
atas sumber-sumber dasar keyakinan yang dianutnya. Tidak jarang sikap-sikap
tersebut bertentangan. Bahkan sikap para pemeluk suatu agama tertentu juga
bervariasi, meskipun masing-masing sikap yang berbeda itu berdasar pada atau
mencari legitimasi dari sumber suci yang sama. (Mukhlis:2004, 2)
Dalam diskursus pluralitas agama,
khususnya dalam konteks Indonesia,
Quraish Shihab merupakan salah seorang pakar tafsir yang memiliki pandangan
yang tersendiri sekaligus unik. Melalui masterpiece-nya Tafsir Al-Misbâh, serta karya-karyanya yang lain, Quraish Shihab
menunjukkan pergumulannya yang serius baik sebagai pemikir (man of thought)
sekaligus pelaku aktif (man of action) pluralitas agama yang bertitik
tolak dari pemahamannya terhadap Al-Quran dan Sunnah.
B.
Definisi
dan Teori Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme berasal
dari kata dasar “plural” yang berarti “banyak”. (John M. Echols dan
Hassan Shadily:2005,435). Adapun secara terminologis, istilah
plurlisme (pluralism) memiliki dua definisi. Pertama, Keberadaan
kelompok-kelompok yang berbeda dari segi etnik, pola budaya, agama dan
lain-lain dalam suatu negara; Kedua, Kebijakan yang mendukung
perlindungan terhadap kelompok-kelompok tersebut dalam Negara atau masyarakat.(
Victoria Neufeldt: 1995, 1040).
Berikutnya, kata “pluralisme” sendiri
ketika dihubungkan dengan kata agama, maka istilah “pluralisme agama”
menekankan dan merujuk kepada sikap dan pandangan tertentu yang mendukung
realitas keragaman agama tersebut. Mukhlis:2004,16)
Disamping merujuk kepada adanya realitas yang plural, konsep pluralisme agama
juga berhubungan erat dengan teori tertentu tentang hubungan antar-tradisi
agama yang beragam dengan klaim mereka yang berbeda dan bersaing.(Mircea
Eliade: 1995, 331)
Sementara, untuk memetakan pemikiran
seseorang tentang konsep pluralitas agama, setidaknya ada tiga (3) teori yang
perlu diketahui. Raimundo Panikkar, salah seorang yang ahli tentang pluralisme,
memetakan ketiga teori tersebut, yaitu: Pertama, eksklusivisme, yakni
pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa kebenaran dan keselamatan hanya pada
agama anutannya, tidak pada agama lain. Kedua, inklusivisme, yaitu
pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa agama yang dianutnya memiliki
kebenaran dan keselamatan yang lebih sempurna dibanding dengan agama lain;
artinya agama lain masih mungkin memiliki kebenaran dan keselamatan pada
tataran tertentu asalkan memiliki sejumlah kriteria tertentu. ketiga, pluralisme,
yakni pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa terdapat banyak jalan menuju
yang Satu (kebenaran) yang menunjukkan diri-Nya dengan sangat banyak cara,
sehingga setiap orang hendaknya menuruti jalannya masing-masing sebaik mungkin
agar selamat. Atau dengan kata lain pluralisme mengklaim bahwa semua agama
mengandung kebenaran dan menuju kepada jalan yang sama. (Raimondo
Panikkar: 1994,18-24)
Beranjak dari pemetaan di atas, ketiga
sikap tersebut memiliki interrelasi dan tidak dapat dipisahkan secara tegas dan
jelas kecuali antara eksklusifisme dan pluralisme. Di sini, inklusivisme
agaknya memiliki dua potensi kecendrungan, yaitu ke arah pluralisme dan atau
eksklusivisme.
Dalam kaitannya dengan pemikiran
tentang pluralisme agama di atas, Alwi Shihab mengidentifikasi kitab tafsir
Al-Quran ke dalam tipologi tiga sikap dasar di atas. Sebagai contoh, tafsir Fi
Zhilal Al-Quran (Sayyid Quthb), tafsir Al-Munir (Wahbah Zuhailiy), Al-Asas
fi al-Tafsir (Said Hawwa), Tafsir al-Sya’rawy (Mutawalli Sya’rawy)
sebagai tafsir (sekaligus mufassir) yang bercorak eksklusif yang sangat
menekankan pandangan pda QS. Ali Imran: 85 dan 19. Sementara Mufassir seperti
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (tafsir Al-Mannar), al-Thabathaba’i
(tafsir al-Mizan) dan jawad Mugniyyah (tafsir al-Mubin) dapat disebut
sebagai kelompok mufassir yang bercorak inklusif yang lebih menekankan pada QS.
Al-Baqarah: 62 dan al-Maidah: 69. (Alwi Shihab:1997,158)
Adapun pandangan tafsir yang bercorak pluralistik dapat dilihat dari ulasan
Fazlurrahman tentang multikomunitas yang
terkandung dalam QS. Al-Maidah: 48. Lalu, dimanakah posisi Quraish Shihab
(Tafsir Al-Misbâh) di antara ketiga posisi tersebut di atas?
C.
M.
Quraish Shihab: Biografi Singkat
Quraish Sihab dilahirkan di Rappang,
Sulawesi Selatan, 16 Pebruari 1944. Pendidikan dasar diselesaikannya di
Makassar, kemudian pendidikan menengah diselesaikan di Malang sambil “mondok” di Pesantren Darul
Hadits Al-Faqihiyyah. Ayahnya, Abdurrahman syihab (1905-1986) adalah alumnus
Jami’atul Khair Jakarta. Selain seorang guru besar tafsir, ayahnya adalah salah
seorang pendiri (founding fathers) Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar sekaligus mantan rektor IAIN Alauddin . (M.Qurasih
Shihab, 1999).
Pada tahun 1958, ia berangkat ke Kairo, Mesir
atas beasiswa dari Pemerintah Sulawesi Selatan,. Setelah Sembilan tahun
mengikuti pendidikan mulai Tsanawiyah hingga tingkatan Lc (sederajat S-1), pada
tahun 1967 Qurasih Shihab berhasil memperoleh gelar Lc dalam jurusan
tafsir-hadis di Universitas Al-Azhar, Kairo. Selanjutnya ia mengambil S-2 di
jurusan yang sama. Dua tahun kemudian ia memperoleh gelar MA dalam bidang
tafsir Al-Quran dengan tesis Al-I’jaz al-Tasyri’ li Al-Quran Al-Karim. (ibid)
Setelah menyelesaikan S-2, ia pulang
ke tanah air dan dipercaya untuk mengemban beberapa jabatan di Makassar. Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke
Al-Azhar untuk mengambil S-3. Dua tahun kemudian, dengan mengajukan disertasi
berjudul Nazhm al-Durar li al-Biqa’i
tahqiq wa al-Dirasah, ia berhasil memperoleh gelar doktor dalam Ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa
Cum Laude disertai dengan penghargaan tingkat
I. Ia
sekaligus menjadi orang Asia Tenggara pertama yang memperoleh gelar doctor
dalam ilmu Al-Quran dari Al-Azhar.[1]
Setelah kembali ke Indonesia, ia ditempatkan di
fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Quraish
Shihab juga menjabat sebagai ketua MUI Pusat (sejak 1984), anggota lajnah pentashih
Al-Quran (sejak 1989), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak
1989), pengurus perhimpunan ilmu-ilmu Syari’ah, Pengurus Konsorsium Imu-Ilmu
Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan asisten ketua umum ICMI, rektor
IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN), Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII
tahun 1998, Duta Besar Indonesia untuk Mesir serta jabatan-jabatan lainnya.(ibid)
Kini, Quraish Shihab concern mengelola
Pusat Studi Al-Quran (PSQ) yang didirikannya sejak awal tahun 200-an.
Sebagai seorang cendekiawan dalam
dunia akademik, Quraish Shihab merupakan sosok yang excellent. Hal ini
dapat dilihat dari banyakknya karya tulis yang ia hasilkan baik dalam bidang
Al-Quran, Tafsir, hadis, tasawuf, Filsafat maupun hukum Islam . Sebagian karya
yang telah dihasilkannya antara lain: tafsir al-Mannar: keistimewaan dan
Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Aalauddin, 1984), Mahkota tuntutan
Ilahi (Jakarta: Untagma, 1988), Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan,
1992), Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994), Wawawan Al-Quran (Bandung, MIzan, 1996), Secercah
Cahaya Ilahi (Bandung: Mizan, 1999), serta masterpiece-nya yang
menjadi fokus kajian dalam tulisan ini yakni Tafsir Al-Misbâh: Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Quran yang dicetak sebanyak 15 jilid (Jakarta:
Lentera hati, 2000).(ibid, 182)
Hingga kini, di bawah Penerbit yayasan
Lentera Hati dan PSQ, Quraish Shihab makin menunjukkan produktivitasnya sebagai
penulis dengan menghasilkan beberapa karya terbaru antara lain: Jilbab
Pakaian Wanita Muslimah, Dia Dimana-Mana, Wawasan Al-Quran tentang Zikir dan
Doa, Menabur Pesan Ilahi, Rasionalitas Al-Quran, Sunnah-Syi’ah bergandengan
tangan: Mungkinkah?, Perempuan, Logika agama, Yang Tersembunyi, Ensiklopedi Al-Quran,
serta Pengantin Al-Quran.
D.
Tafsir
Al-Misbâh: Beberapa Tema tentang Pluralisme Agama
Hingga saat ini, paling tidak terdapat tiga
isu utama (grand discourses) yang terkait dengan wacana pluralisme agama
yakni pertama, tentang bagaimana kebenaran dan kemurnian suatu agama
dalam kacamata agama lain; kedua, tentang keselamatan suatu agama dalam
pandangan agama lain; ketiga, toleransi terhadap (pemeluk) agama lain.
1.
Kebenaran dan Kemurnian Agama
Suatu agama dipeluk oleh pemeluknya
karena dipercaya bahwa agama anutannya adalah benar dan akan memberi
keselamatan. Lebih dari itu, keyakinan tersebut melahirkan kesadaran yang
mengakar bahwa agama anutannya itu
bersifat universal. (Nurcholis Majid, 1992:178) Disinilah,
pangkal tolak pemeluk agama (muslim) mendefinisikan agama anutannya (Islam) dan
agama lain dalam kerangka kebenaran.
Terkait dengan hal tersebut,
pemahaman terhadap istilah “Islam” (al-Islam)
menduduki posisi sentral dalam pendefinisian umat Islam dalam konteks
pluralitas agama. (Farid Essack, 1998:127) Adapun ayat Al-Quran
yang berhubungan dengan tema ini dan memunculkan kontroversi di kalangan muslim
adalah QS. Ali Imran: 19 dan 85.
QS. Ali Imran: 19
¨bÎ) úïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3 $tBur y#n=tF÷z$# úïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# wÎ) .`ÏB Ï÷èt/ $tB ãNèduä!%y` Þ
Où=Ïèø9$# $Jøót/ óOßgoY÷t/ 3 `tBur öàÿõ3t ÏM»t$t«Î/ «!$# cÎ*sù ©!$# ßìÎ| É>$|¡Ïtø:$# ÇÊÒÈ
Sesungguhnya
agama (yang disyariatkan) disisi Allah adalah Islam. tiada berselisih
orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan
kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang
kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
QS. Ali Imran: 85.
`tBur Æ÷tGö;t uöxî ÄN»n=óM}$#
$YYÏ `n=sù
@t6ø)ã çm÷YÏB uqèdur Îû
ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
Barangsiapa
mencari agama selain Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima darinya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Bagaimana pemahaman Quraish Shihab
tentang ayat-ayat tersebut? Ketika membahas makna “Islam” dalam QS. Ali Imran
ayat 19 sebagaiman disebutkan di atas, Quraish Shihab memulai uraiannya dengan
menjelaskan kata din. Menurutnya din memiliki banyak makna antara
lain ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan. Din juga berarti agama,
karena dengan agama seseorang bersikap tunduk dan taat, serta akan
diperhitungkan seeluruh amalnya yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.
Lebih jauh menurut Quraish Shihab, menerjemahkan ayat dimaksud dengan
“Sesungguhnya agama yang disyariatkan di sisi Allah adalah Islam” walaupun
tidak keliru akan tetapi belum sepenuhnya jelas bahkan dapat menimbulkan
kerancuan. (M. Qurasih Shihab, 2006:40)
Untuk memahaminya secara jelas,
Quraish mengajak untuk melihat hubungan (munasabat al-ayat) dengan ayat sebelumnya yang menegaskan bahwa Tuhan adalah zat yang memiliki dan mengatur alam.
Dengan melihat hubungan tersebut, ia menjelaskan bahwa Islam memiliki substansi
sebagai penyerahan diri secara penuh kepada Allah, nilai-nilai yang juga
diajarkan oleh para Nabi sejak Nabi Adam hingga Muhammad. Lebih jauh, untuk
menguraikan maksud ayat ini, Quraish Shihab mengutip pendapat Ibnu Katsir yang
menyatakan bahwa agama Islam merupakan agama para rasul terdahulu hingga Nabi
Muhammad sebagai Rasul penutup. Dengan kehadiran Muhammad, maka semua jalan
menuju Allah telah tertutup kecuali dari
arah beliau, sehingga siapa yang menemui Allah setelah diutusnya Muhammad saw
dengan menganut satu agama selain syariat yang disampaikan Muhammad, maka tidak
akan diterima sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran ayat 85. (ibid:40-41)
Dalam konteks ini, Quraish Shihab juga ‘meminjam’ pendapat Mutawalli Sya’rawi,
seorang ulama kontemporer Mesir, yang
menyatakan bahwa kata “Islam” untuk ajaran para nabi terdahulu merupakan sifat, sedang umat Nabi
Muhammad memiliki keistimewaan dari sisi
kesinambungan sifat itu bagi umat Muhammad, sekaligus menjadi tanda dan nama
baginya (Islam), Hal ini menurut Sya’rawi karena Allah tidak lagi menurunkan
agama sesudah datangnya Nabi Muhaammad saw. Karena itu pula, lanjut Sya’rawi,
agama-agama lain tidak menggunakan nama ini sebagaimana kaum muslimin tidak
menamai ajaran agama mereka dengan Muhammadinisme.(ibid:41)
Selanjutnya, Quraish Shihab, yang
agaknya menyetujui pandangan-pandangan yang dikutipnya tersebut kemudian menyatakan:
“Dalam
Al-Quran tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama
ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad saw. Dari semua yang dijelaskan di
atas, tidak keliru jika kata Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw, karena baik dari tinjauan agama maupun sosiologis,
itulah nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, dan secara akidah Islamiyah, siapa pun yang
mendengar ayat itu dituntut untuk
menganut ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, walaupun di sisi Allah,
semua agama yang dibawa oleh para rasul
adalah Islam, sehingga siapa pun—sejak Adam hingga akhir zaman—yang tidak
menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada mereka, maka
Allah tidak menerimanya.” (ibid)
Lebih jauh, ketika berbicara tentang
QS Ali Imran ayat 85, Quraish Shihab menjelaskan bahwa barang siapa mencari
agama selain agama Islam, yakni ketaatan kepada Allah mencakup ketaatan kepada
syariat yang ditetapkan-Nya maka sekali-kali tidak akan diterima agama itu
darinya, dalam kehidupan dunia ini, dan dia---bila di dunia ini patuh kepada
selain Allah hingga kematiannya—maka kelak di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi, karena semua amalnya tidak diterima Allah swt, walaupun amal-amal itu
baik dan bermanfaat bagi umat manusia, sebagimana Firmannya dalam QS al-Furqan:
23 yang menyatakan:”kami hadapi segala amal kebaikan yang mereka kerjakan,
lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”.
Quraish Shihab kemudian menegaskan
pandangannya tersebut dengan mengutip Hadis Nabi saw yang menyatakan, “Siapa
yang mengamalkan suatu amal yang tidak berdasarkan ketetapan Allah yang
ditetapkan-Nya kepada kita, maka amalnya tertolak.” (ibid: 42)
Masih terkait dengan hal di atas,
Quraish Shihab selanjutnya juga menyatakan:
“
di atas, terbaca juga adanya dua macam sanksi, yaitu sanksi dunia dan ukhrawi.
Penyebutan sanksi ukhrawi, sekali-kali tidak akan diterima, yang merupakan
akibat pencarian agama selain Islam dan kepatuhan selalu kepada Allah, dan
pemisahanya dari sanksi ukhrawi—dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi—yang merupakan akibat patuh kepada selain Allah—bukan sekedar upaya
mencari agama lain , atau tuhan lain untuk dia patuhi—memberi isyarat bahwa
penyebab sanksi duniawi itu, masih mungkin dapat dielakkan, bila yang
bersangkutan mau berpikir dengan tenang dan sungguh-sungguh…seorang yang murtad
dan kemudian mati dalam kemurtadannya, maka semua amalnya terhapus, sedang
mereka yang murtad kemudian menginsafi kesalahannya dan kembali
memeluk Islam, maka amal-amalnya yang lalu tidak terhapus. Demikian pendapat
Imam Syafi’i.” (ibid: 143)
Berangkat dari pemaparan di atas, terlihat
bahwa makna “Islam” dalam ayat di atas
dipahami oleh Quraish Shihab secara eksklusif sebagai agama
institusional-formal yang diturunkan kepada nabi Muhammad, meskipun ia juga
mengakui makna “islam” sebagai sebuah ajaran universal para Nabi. Baginya,
Semua agama atau ajaran terdahulu dinasakh oleh agama Islam yang diusung
oleh Nabi Muhammad. Jadi, agama yang benar adalah agama Islam yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad.
Jika ditelaah, pemahaman Quraish Shihab terhadap
kebenaran agama khususnya menyangkut makna
“din al-Islam”, tidak semata bertumpu pada pemahaman semantik yang
berkutat pada makna etimologis semata, akan tetapi lebih jauh lagi ia juga
menggunakan analisis hermeneutik kesejarahan dimana konteks mikro maupun makro
saat kedua ayat tersebut diturunkan memegang posisi yang signifikan bagi
pandangan tafsirnya.
2.
Keselamatan
Setiap agama, baik samawi maupun ardhi,
memiliki ajaran eskatologi, dimana manusia kelak akan terbagi menjadi penghuni
surga atau neraka. Penghuni surga dipandang sebagai manusia yang memperoleh
keselamatan, sebaliknya penghuni neraka dipandang sebagai manusia yang celaka.(Mukhlis,2004:69)
Dalam kaitan dengan hal tersebut, tema
keselamatan bersumber pada persoalan “ selamat atau tidaknya (celakanya) pemeuk
suatu agama kelak di akhirat”. Dalam konteks pluralitas agama dan perspektif
muslim, wacana ini berkaitan dengan tiga pertanyaan, yaitu: “Apakah agama-agama
yang beragam itu masing-masing dapat membawa keselamatan bagi para pemeluknya?”;
“Ataukah hanya Islam saja yang dapat melakukan itu, dan agama lainnya tidak
sama sekali?”; dan “Ataukah hanya Islam yang menjamin keselamatan yang pasti,
sedangkan agam lainnya hanya mungkin, sejauh memenuhi beberapa ketentuan
menurut Islam?”(ibid:70)
Adapun ayat Al-Quran yang
berhubungan dengan tema di atas adalah QS. Al-Baqarah: 62, Al-Maidah: 69 dan
Al-Hajj: 17.
QS. Al-Baqarah: 62:
¨bÎ) tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur
(#rß$yd 3t»|Á¨Z9$#ur úüÏ«Î7»¢Á9$#ur
ô`tB z`tB#uä
«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã
óOÎgÎn/u
wur ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd cqçRtøts
ÇÏËÈ
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja diantara mereka yang (benar-benar) beriman kepada Allah,
hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran menimpa mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
QS. Al-Maidah: 69
¨bÎ) úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur
(#rß$yd tbqä«Î6»¢Á9$#ur
3t»|Á¨Y9$#ur ô`tB ÆtB#uä
«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ xsù ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd tbqçRtøts
ÇÏÒÈ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani,
siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, Hari kemudian dan beramal
saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.
QS. Al-Hajj: 17:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#ur (#rß$yd tûüÏ«Î7»¢Á9$#ur 3t»|Á¨Y9$#ur }¨qàfyJø9$#ur tûïÏ%©!$#ur (#þqà2uõ°r& ¨bÎ) ©!$# ã@ÅÁøÿt óOßgoY÷t/ tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin,
orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan
memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.”
Seperti apa penafsiran Qurasih Shiab
tentang ayat-ayat di atas? Tentang QS. Al-Baqarah: 62, Quraish Shihab
mengungkapkan pendapatnya:
Melalui ayat ini Allah memberi jalan
keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri. Ini
sejalan dengan kemurahan Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hambaNya
yang insaf. Karena itu ditegaskan bahwa: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
,yakni yang mengaku beriman kepada Nabi Muhammad saw, orang orang Yahudi, yang
mengaku beriman kepada Nabi Musa as, dan orang-orang Nasrani yang mengaku
beriman kepada Isa as, dan orang-orang Shabi’in, kaum musyrik atau penganut
agama dan kepercayaan lain, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah dan hari Kemudian sebagaimana dan sesuai dengan segala unsur
keimanan yang diajarkan Allah melalui para nabi serta beramal saleh, yakni yang
bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan Allah, maka untuk
mereka pahala amal-amal saleh mereka
yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di akhirat nanti di sisi
Tuhan Pemelihara dan Pembimbing mereka, serta atas kemurahan-Nya; tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka menyangkut sesuatu apapun yang akan datang, dan
tidak pula mereka bersedih hati menyangkut sesuatu yang telah terjadi. (M.
Qurasih Shihab, 2006:214)
Selanjutnya, Quraish Shihab
menjelaskan bahwa persyaratan beriman kepada Allah dan hari Kemudian, bukan berarti hanya kedua rukun tersebut yang
dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh
Al-Quran dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya. Ia
melanjutkan, adalah suatu kekeliruan
jika ada individu atau kelompok yang
menjadikan ayat ini sebagai pijakan bagi kebenaran pluralisme yang
menyatakan bahwa penganut agama-agama yang tercakup dalam ayat ini, selama
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka mereka semua akan memperoleh
keselamatan dan tidak akan diliputi oleh
rasa takut di akhirat kelak Sebab pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua
agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah
serta ibadah yang diajarkannya. Quraish kemudian berkomentar,:
Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani
dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang
ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut dan sedih, sedang yang
ini menurut itu, dan atas nama Tuhan yang disembah adalah penghuni surga dan
yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan
saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa. (ibid, 216)
Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menerangkan
bahwa walaupun surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah, akan tetapi hak
tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Walaupun
hidup rukun dan damai antar pemeluk agama merupakan suatu keniscayaan dan
kemutlakan, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran
agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk
memutuskan di Hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama
siapa yang keliru serta menyerahkan kepada-Nya penentuan akhir siapa yang
dianugerahi kedamaian dan surga serta siapa pula yang akan takut dan bersedih.(ibid,
155-157)
Selanjutnya, tentang QS. Al-Maidah
ayat 69 dan Al-Hajj: 17, agaknya tidak terdapat substansi yang berbeda dengan
penjelasannya tentang QS. Al-Baqarah ayat 62. Hal ini karena, disamping adanya
kemiripan redaksi antara kedua ayat tersebut, juga disebabkan substansi yang
dibicarakan dalam kedua ayat ini juga sama. Perbedaan yang yang terdapat dalam
kedua ayat ini menurut Quraish Shihab
hanya terletak pada penempatan secara kronologis kata “al-Nashara,
al-shabi’un dan al-ladzina Hadu”, dan hal tersebut sama sekali tidak
mempengaruhi substansi kedua ayat tersebut.[2]
Begitu pula ketika mengomentari Qs. Al-Hajj ayat 17, terjadi pengulangan
penjelasan sebagaimana yang ia jelaskan terdahulu dalam QS. Al-Baqarah: 62 dan al-Maidah:
69. Hanya saja dalam ayat ini Quraish Shihab menekankan, sebagaimana komentar
akhirnya tentang QS Al-Baqarah: 62, bahwa semua penganut agama dan kepercayaan
yang beragam tersebut akan ditentukan oleh Allah benar atau salahnya di akhirat
kelak.(ibid, 27)
Beranjak dari pemaparan di atas, tampaknya
Quraish Shihab tidak sepakat dengan paham pluralisme yang cenderung menyamakan
semua agama. Bagi Quraish sendiri, hanya Islam lah yang memiliki jalan
keselamatan yang absolut, walaupun ia mengakui bahwa agama lain pun masih
memiliki kemungkinan untuk mendapat keselamatan dari Tuhan. dalam memahami
ayat, Quraish Shihab sangat memperhatikan kronologis dan hubungan ayat (munasabat)
disamping makna semantik yang digunakan oleh Al-Quran. Dari pendapatnya di atas
Quraish sendiri dapat digolongkan ke dalam posisi inklusif yang cenderung eksklusif. Di satu
sisi, ia menganggap bahwa Islam lah jalan keselamatan yang absolut, tetapi di
sisi lain ia kemudian masih membuka ruang kesempatan bagi komunitas agama lain
dengan menyatakan “Biarlah kelak Tuhan yang memutuskan di Hari Kemudian”.
3.
Toleransi
Ketika berbicara tentang toleransi,
ayat-ayat Al-Quran yang sering disitir antara lain QS. Al-Baqarah: 120 dan 256,
Yunus: 99, Al-Kahfi: 29, Al-Kafirun:1-6, Al-Mumtahanah: 7-9.
QS. Al-Baqarah: 120
`s9ur
4ÓyÌös? y7Ytã
ßqåkuø9$#
wur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3
ö@è% cÎ) yèd
«!$# uqèd 3yçlù;$# 3
ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr&
y÷èt/ Ï%©!$#
x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#
$tB
y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB
<cÍ<ur
wur AÅÁtR
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang
benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu.”
QS.
Yunus: 99.
öqs9ur uä!$x© y7/u z`tBUy `tB Îû ÇÚöF{$# öNßg=à2 $·èÏHsd 4 |MRr'sùr& çnÌõ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3t úüÏZÏB÷sãB
“Dan Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya ?”
QS. Al-Kahfi:
29.
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
Dan
Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir"…
Selanjutnya di dalam QS. Al-Kafirun
disebutkan:
ö@è% $pkr'¯»t
crãÏÿ»x6ø9$# ÇÊÈ
Iw ßç6ôãr& $tB
tbrßç7÷ès?
ÇËÈ
Iwur óOçFRr&
tbrßÎ7»tã !$tB ßç7ôãr& ÇÌÈ
Iwur O$tRr& ÓÎ/%tæ
$¨B
÷Lnt6tã
ÇÍÈ
Iwur óOçFRr&
tbrßÎ7»tã !$tB ßç6ôãr& ÇÎÈ
ö/ä3s9 ö/ä3ãYÏ
uÍ<ur ÈûïÏ
ÇÏÈ
Katakanlah:
"Hai orang-orang kafir,; aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.;
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.Dan Aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
QS. Al-Mumtahanah:
8-9
w â/ä38yg÷Yt ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ br& óOèdry9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍkös9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ $yJ¯RÎ) ãNä39pk÷]t ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNä.qè=tG»s% Îû ÈûïÏd9$# Oà2qã_t÷zr&ur `ÏiB öNä.Ì»tÏ (#rãyg»sßur #n?tã öNä3Å_#t÷zÎ) br& öNèdöq©9uqs? 4 `tBur öNçl°;uqtFt Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÒÈ
“Allah tidak
melarang kamu terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu (tidak melarang kamu) untuk berbuat
baik bagi mereka dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang adil. Allah hanya melarang kamu menyangkut orang-orang yang
memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu dalam
mengusirmu untuk menjadikan mereka sebagai teman-teman akrab (tempat menyimpan
rahasia). dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka itulah—merekalah
orang-orang yang zalim.”
Terkait dengan ayat-ayat tentang toleransi
di atas, khususnya QS Yunus: 99 dan Al-Kahfi :29, substansi kedua ayat ini menurut Quraish Shihab menjelaskan adanya demokrasi atau kebebasan (free
will) yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia untuk beriman atau pun tidak
kepada kebenaran (agama) yang diwahyukan kepada Nabi-Nya Muhammad saw.(ibid,
29) Bukti dari kebebasan tersebut adalah bahwa tuhan tidak ‘menjadikan’ manusia
semuanya beriman, walupun Dia memiliki kekuasaan untuk mencabut ‘hak memilih’
manusia. Namun kekebasan tersebut mengandung konsekuensi adanya pertanggung
jawaban di akhirat kelak.(ibid, 164)
Berikutnya, tatkala berbicara tentang QS. Al-Mumtahanah: 8-9, Quraish Shihab
menguraikan bahwa Ayat di atas menampik ayat-ayat al-Quran sebelumnya yang
menimbulkan kesan bahwa seakan-akan semua non-muslim harus dimusuhi. Ayat-ayat
diatas menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara muslim dan
non-muslim: Selanjutnya, Quraish menjelaskan:
Allah yang
memerintahkan kamu bersikap tegas kepada orang kafir--walaupun kelurga kamu tidak melarang kamu menjalin
hubungan dan berbuat baik terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena
agama dan tidak pula mengusir kamu dari negeri kamu. Allah tidak melarang kamu
berbuat baik dalam bentuk apapun bagi mereka dan tidak juga melarang kamu
berlaku adil kepada mereka. Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka
berada di pihak yang benar, sedang salah seorang dari kamu berada di pihak yang
salah, maka kamu harus membela dan memenangkan mereka. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah tidak lain hanya melarang kamu
menyangkut orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari negeri kamu dan
membantu orang lain dalam pengusiran kamu—melarang kamu—untuk menjadikan mereka
teman-teman akrab tempat menyimpan
rahasia dan penolong-penolong yang kamu andalkan. Barang siapa yang
mengindahkan tuntuan ini, maka merekalah orang-orang yang beruntung dan barang
siapa menjadikan mereka sebagai teman-teman akrab tempat menyimpan rahasia maka
mereka itulah yang sungguh jauh kebejatannya—merekalah tidak selain
mereka—orang-orang zalim yang sungguh mantap kezalimannya. (ibid, 164)
Lebih
jauh ia menjelaskan, walaupun konteks turunnya ayat tersebut (sabab al-nuzul)
ditujukan ditujukan kepada kaum musyrik Mekkah, Namun ayat di atas berlaku umum
kapan dan dimana saja. Sebagai contoh, pada zaman Nabi sekian banyak suku-suku
musyrik yang bekerja sama dengan Nabi.(ibid, 170) Dari ayat di atas
menurutnya dapat diambil ketegasan bahwa Al-Quran tidak menjadikan perbedaan
agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerjasama, lebih-lebih
mengambil sikap tidak bersahabat. ِAdanya larangan
menjalin persahabatan seperti misalnya tercantum dalam QS Ali Imran: 118 harus
dipahami dalam konteks non-muslim yang bersikap konfrontatif alias tidak
bersahabat kepada kaum muslim. (M. Quraish Shihab, 1998:365).
Sebagai aktualisasi dari ayat
tersebut, Quraish Shihab misalnya membolehkan seorang muslim mengucapkan
selamat Natal
kepada non-muslim selama akidah dapat dijaga dan tujuan pengucapannya selaras
dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri sebagaimana dinarasikan dalam
QS. Maryam. 34.[3]
Dengan alasan yang sama, Quraish Shihab juga membolehkan seorang muslim
menghadiri upacara natal yang bersifat non-ritual.[4]
Bahkan, dalam konteks yang lain, Quraish Shihab juga membolehkan mengucapkan
salam kepada non-muslim dengan alasan historis. (M. Quraish Shihab,
1999:371).
Ketika berbicara tentang toleransi,
tentu tidak dapat tidak akan dibicarakan tentang QS. Al-Kafirun. Dalam mengulas
makna surat
ini, Quraish Shihab memahaminya sebagai sikap toleransi Al-Quran yang
memersilahkan kepada non-muslim untuk menganut apa yang mereka yakini sesuai
dengan keinginan dan kehendak bebas. Dalam konteks ini, seandainya pun mereka
mengetahui tentang ajaran agama yang benar dan mereka tetap bersikeras
menolaknya, Tuhan pun tidak
mempersoalkan hal tersebut sebagaimana statement Al-Quran sendiri:
Iw
on#tø.Î)
Îû
ÈûïÏe$!$#
(
s%
tû¨üt6¨? ßô©9$#
z`ÏB ÄcÓxöø9$#
…
“Tidak ada
paksaan dalam memeluk agama…”
Selanjutnya, Lebih jauh Quraish Shihab
juga menjelaskan bahwa surat Al-Kafirun, terutama ayat yang terakhir,
merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik. Dengan adanya statement bagi
kamu agama kamu dan bagiku agamaku, masing-masing pihak dapat melaksanakan
apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang
lain. Dalam konteks ini, absolutisitas ajaran agama menurut Quraish Shihab
adalah sikap ke dalam (internal attitude). (M. Quraish Shihab,
2006:582)
Sikap akhir Quraish Shihab tentang pluralitas
dapat dilihat dari komentar terhadap QS. Al-Kafirun ayat 6, dimana ia menyatakan:
“ Pada ayat di atas terlihat bahwa ketika
absolusitas dia ntar keluar, ke dunia nyata, Nabi saw tidak diperintahkan
menyatakan apa yang di dalam keyakinan tentang kemutlakan kebenaran ajaran
Islam, tetapi justru sebaliknya, kandungan ayat tersebut bagikan menyatakan: mungkin
kami yang benar, mungkin pula kamu; mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu,
kita serahkan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya.”(ibid, 582)
Berangkat dari pandangannya tentang
ayat-ayat bernuansa toleransi antar umat beragama tersebut, Quraish Shihab
tampaknya memiliki sikap yang sangat toleran dan inklusif dalam membangun
hubungan antar umat beragama (interreligious relationship) dengan
satu catatan tidak mengorbankan akidah. Namun demikian, bagi penulis sendiri,
posisi Quraish Shihab sendiri masih berada pada posisi yang “kabur’. Karena
disamping memutlakkan kebenaran dan keselamatan Islam, ia di pintu yang lain
masih (seakan-aakan) membuka ruang bagi keselamatan umat lain.
E.
PENUTUP
Berangkat
dari paparan di atas, dapat diambil beberapa konklusi bahwa Quraish Shihab,
melalaui karyanya tafsir Al-Misbâh, adalah tokoh yang berpandangan
eksklusif tentang kebenaran agama, dimana ia memandang Islam sebagai sebuah
agama institusional yang menjadi agama pilihan Tuhan sebagai satu-satunya jalan
kebenaran. Mengenai ajaran keselamatan, ia agaknya tidak memiliki posisi yang
sangat jelas apakah seorang inklusif atau eksklusif, sehingga terkesan
mengambil posisi ‘jalan tengah’ antara keduanya. Terkait dengan persoalan
toleransi, Quraish Shihab tampaknya merupakan sosok yang sangat toleran kepada
komunitas agama lain. Dalam memahami ayat-ayat pluralitas agama, Quraish Shihab
mencoba melakukan sintesis dengan menggabungkan pemahaman secara semantik dan
pendekatan hermeneutik-historis.
DAFTAR
PUSTAKA
Eliade, Mircea,
Encyclopedia of Religion (New York: Simon & Schuster Macmilllan,
1995)
Essack, Farid,
Quran, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity against Oppresion (Oxford: Oneworld Publications, 1998)
Gusmian, Islah,
Khazanah Tafsir Indoensia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003)
Majid, Nurcholis,
Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Paramadina, 1992)
Mukhlis, Inklusivisme
Tafsir al-Azhar, (Mataram: IAIN Mataram Press, 2004)
Neufeldt, Victoria, Webster’s New World Colllege
Dictonary (New York: Macmillan, 1995)
Panikkar, Raimundo,
Dialog Intra Religius, terj. Oleh
KSF Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 1994)
Shadily, Hasan
dan John M. Echols, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Shihab, Alwi, Islam Inklusif,
(Bandung: Mizan, 1997)
Shihab,
M. Quraish, Tafsir Al-Misbâh, volume I (Jakarta: Lentera, 2006)
-----------, Membumikan
Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:
Mizan, 1999) cet. XIX
-----------,
Tafsir Al-Misbâh, vol. 14 (jakarta:
Lentera, 2006)
-----------,
Tafsir Al-Misbâh, vol. 15 (Jakarta:
Lentera, 2006)
-----------,
Tafsir Al-Misbâh, vol. 2 (Jakarta:
Lentera, 2006)
-----------,
Tafsir Al-Misbâh, vol. 3 (Jakarta:
Lentera, 2006)
-----------,
Tafsir Al-Misbâh, vol. 6 (Jakarta:
Lentera, 2006)
-----------,
Tafsir Al-Misbâh, vol. 8 (Jakarta:
Lentera, 2006)
-----------,
Tafsir Al-Misbâh, vol. 9 (Jakarta:
Lentera, 2006)
-----------,Wawasan
Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan,
1998) cet. VIII
Sirry, Mun’im
A, (ed.), Fikih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004)
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Menelisik Pluralisme Agama M. Quraish Shihab
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/04/menelisik-pluralisme-agama-m-quraish.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5