Komersialisasi Dakwah
Selasa, 09 April 2013
0
komentar
Oleh: Arsyad Abrar
Suatu hari, Abdullah atau ‘Amr bin Qais atau lebih
dikenal dengan nama Ummi Maktum datang menemui Nabi SAW. Ia berbeda dari para
sahabat yang lainnya, ia adalah seorang yang buta, meskipun demikian semangat
dan keteguhannya dalam mencari kebenaran sangatlah besar. Kedatangannya dalam mencari ilmu dan hikmah dari
Rasulullah SAW. Namun, hari itu ia justru mendapatkan sebaliknya. Berulang kali
ia memohon kepada Nabi. “Wahai Nabi Allah, berilah aku petunjuk, berilah aku
pelajaran, tunjukilah aku tentang suatu hal yang bermanfaat.” Namun sedikit pun
Nabi tidak menghiraukannya.
Ketika itu, Nabi SAW sedang berbincang-bincang dengan
pembesar Quraisy. Ketika ia terus mendesak, Nabi malah menampilkan raut wajah
ketidaksukaan terhadap sikap Ummi Maktum. Nabi merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan
yang diajukannya. Sebab, kala itu Nabi SAW sedang melakukan lobi terhadap
pembesar Quraisy dan mengajak mereka masuk Islam. Harapannya, bila pemimpin
Quraisy itu bergabung, maka akan lebih mudah mengajak kaumnya untuk memeluk
Islam. Namun, perilaku Nabi itu justru mendapat teguran
langsung dari Allah SWT. Sebab, perbuatan itu terlalu berlebihan, karena dengan
jelas orang buta yang datang kepadanya benar-benar tulus untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan tentang agama. Lihat QS ‘Abasa [80]: 1-10
Ada beberapa hal penting yang dapat dijadikan
pelajaran dari kisah tersebut. Pertama, jangan sekali-kali kita merendahkan
seseorang berdasarkan status dan keadaannya. Karena semua manusia adalah sama
dalam pandangan Allah, hanya tingkatan takwa yang membedakan mereka satu dengan
yang lainnya. Begitu juga sebaliknya, kita hendaknya tidak tertipu
dengan keadaan lahir seseorang. Meskipun ia orang yang berkecukupan,
bergelimang harta, jabatan, memiliki kedudukan terhormat, belum tentu orang
tersebut bersedia diajak bekerja sama demi kepentingan dan kemaslahatan orang
banyak.
Kedua, semangat dan ketulusan merupakan standar utama
untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat dari Allah. Bukan banyak atau sedikitnya
harta yang kita miliki. Ketiga, semua kita mendapatkan kesempatan untuk
mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dalam berdakwah dan mendapatkan
pengajaran agama.
Secara tidak langsung ayat dan kisah di atas
mengingatkan kepada kita semua bahwa dalam menyampaikan dakwah hendaknya tidak
tebang pilih. Karena dakwah adalah kewajiban, bukan profesi. Lebih tepatnya
lagi, setiap umat Islam tidak boleh menjadikan dakwah sebagai sarana untuk
mengais rezeki, sehingga meninggalkan dakwah kepada kaum dhuafa dan lebih
mendahulukan dakwah di kalangan para elite bangsawan, dengan harapan honor yang
lebih besar. Bila dakwah telah
disalahartikan, bagaimana dengan kualitas materi yang akan di dakwahkan? Sungguh
Islam adalah agama kebajikan, ia ditegakkan dengan dakwah, bukan dengan
komersialisasi dakwah. Wallahu a’lam.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Komersialisasi Dakwah
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/04/komersialisasi-dakwah.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5