DEMONSTRASI
Jumat, 01 Februari 2013
0
komentar
DEMONSTRASI
MENENTANG PEMERINTAH
DALAM
PANDANGAN FIQIH SIYASAT
A.
Definisi
Demonstrasi
Di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mendefinisikan
demonstrasi adalah unjuk rasa untuk menyatakan sikap atau protes secara
bersama-sama. Jadi demonstrasi itu adalah upaya untuk menyampaikan aspirasi
terhadap kepemimpinan pemerintah dalam memimpin masyarakat.
Demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara
massal, baik protes itu ditujukan kepada seseorang maupun kelompok atau
pemerintahan. Dia juga biasa disebut dengan istilah unjuk rasa. Dalam bahasa
Arabnya demonstrasi diterjemahkan dengan muzhaharat (demonstrasi) dan juga
masirah (long-march). Dua kata yang hampir mirip tetapi dalam pandangan Islam
memiliki muatan hukum yang tidak sama. Jika yang pertama sering mendekati pada
hukum haram (hurmah), yang kedua seakan sangat jelas diperbolehkan (ibahah).
Jika kembali pada Alquran, dua kata tersebut dengan arti
sebagaimana definisinya di atas tidak dapat kita temukan meskipun kata muzharat
dan masirah dengan definisi lain dapat dijumpai. Begitu juga di dalam
hadis-hadis Rasulullah SAW. Ini menunjukkan bahwa demonstrasi adalah sebuah
fenomena baru yang muncul dikarenakan kebebasan berpendapat yang sering
terbungkam, tidak terdengar, atau mungkin sengaja tidak didengarkan.
B.
Demonstrasi
Pertama Dalam Islam
Benih demonstrasi sebenarnya telah pernah muncul pada zaman
sahabat. Demonstrasi pertama dalam islam ini dilatarbelaangi oleh isu-isu
tentang kejelekan khalifah Utsman yang dilayangkan oleh Abdullah bin Saba’, seorang
yahudi yang pura-pura masuk Islam.
Abdullah bin Saba’ muncul dengan pemikiran-pemikiran pribadinya
yang bernafaskan Yahudi. Suatu ketika ia berkata: “Sesungguhnya telah ada
seribu Nabi dan setiap Nabi mempunyai wali. Sedangkan Ali walinya Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam.” Kemudian dia berkata lagi : “Muhammad adalah penutup para
Nabi sedangkan Ali adalah penutup para wali.”
Maka ketika pemikiran ini tertanam dalam jiwa para pengikutnya,
mulailah dia menerapkan tujuan pokoknya yaitu melakukan pemberontakan terhadap
kekhalifahan Utsman bin Affan ra. Ia melontarkan pernyataan pada masyarakat:
“Siapa yang lebih dhalim daripada orang yang tidak pantas mendapatkan wasiat
Rasulullah SAW, kemudian ia melampaui wali Rasulullah, yaitu Ali dan merampas urusan
umat. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian
(pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali Rasulullah ini (Ali) ada (di
kalangan kalian). Maka bangkitlah kalian dan bergeraklah. Mulailah untuk
mencerca pejabat kalian, tampakkan amar ma’ruf nahi munkar, niscaya manusia
serentak mendukung dan ajaklah mereka kepada perkara ini”.
Masalah pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta
sejarah telah membuktikan hal ini. Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah dan
Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan ra, peperangan
sesama kaum Muslimin, dan terbukanya pintu fitnah dari zaman Khalifah Utsman
sampai zaman kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib ra.
C.
Hukum
Demonstrasi Menentang Pemerintah Dalam Pandangan Fiqih Siyasat
Al-Ghazali memberikan pandangan tentang negara dengan pendapatnya:
Artinya: “Negara akan eksis
dengan agama dan agama akan jaya dengan ditopang Negara”.
Pernyataan ini muncul sebagai pengakuan agama terhadap eksistensi
negara selama ia mampu menjanjikan kemaslahatan yang nyata kepada seluruh
rakyat secara merata. Jadi, dalam hal ini fiqih siyasat berpandangan bahwa
mendirikan negara atas dasar kemaslahatan tersebut agar tercipta kehidupan bermasyarakat yang harmonis
hukumnya adalah fardu kifayah.
Agar Negara dapat berperan sebagai alat untuk mewujudkan
kemaslahatan bersama, maka hukum Islam meniadakan sistem kekuasaan tak terbatas
dari pemerintah. Dalam kaidah fiqih disebutkan:
Artinya: “Penetapan kebijakan
pemimpin itu mesti dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat.”
Atas dasar ini, maka Islam menetapkan syarat yang sangat ketat
dalam pengangkatan seorang kepala Negara. Bahkan dalam sistem pemerintahan
ditetapkan beberapa prinsip yang membatasi kewenangan pemerintah. Wahbah
az-Zuhaili menetapkan beberapa perinsip yang membatasi kekuasaan pemerintah
dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, antara lain:
1.
Pemerintah
dituntut untuk melaksanakan dan menerapkan syariat Islam dalam setiap
peraturan-peraturan. Tidak ada alasan untuk meninggalkan tugas ini. Sehingga
ketika Abu Bakar dan para khalifah lain di bai’at, beliau berpidato:
Artinya: “Taatlah kepadaku selama
aku taat kepada Allah dan Rasul, maka jika aku tidak taat kepada Allah, maka
kalian tidak wajib taat kepadaku”.
2.
Pemerintah
tidak memiliki kewenangan untuk menciptakan syariat, sebab hal itu merupakan
kewenangan Allah dan Rasulnya saja, namun pemerintah boleh melakukan ijtihad
dalam menerapkan hukum yang ada di Alquran dan Sunnah. Jadi, segala kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah haruslah mengacu pada nilai-nilai perikemanusiaan
dan keadilan seperti yang tertera dalam pesan-pesan moral yang ada pada sumber-sumber
ajaran agama.
3.
Pemerintah
harus selalu menetapkan prinsip-prinsip yang telah ditegaskan Islam, yakni
musyawarah, adil, persamaan hukum, penjaminan HAM, penjaminan kemerdekaan
rakyat dalam berakidah dan berpendapat, serta kontrol rakyat dan pertanggungjawaban
pemerintah.
Dalam hal kebebasan berpendapat Islam menekankan kepada setiap
individu agar tegas dalam menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepada siapa
pun, meskipun itu menyangkut pemerintahan. Konsep ini tergambar dalam pidato
Umar ra, ketika dinobatkan sebagai khalifah pengganti Abu Bakar:
Artinya: “Wahai rakyatku,
siapapun yang melihat ada yang bengkok pada diriku maka luruskanlah”.
Seorang
Arab Badui mengomentari pernyataan yang telah diungkapkan oleh Umar ra
tersebut, “Demi Allah wahai Amir al-Mukminin, kalau saja aku dapatkan ada yang
bengkok pada dirimu aku akan meluruskannya dengan pedangku”. Maka Umar
menanggapi: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara umat ini,
orang yang mau meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya”.
Ketika seorang pemerintah dianggap sah dalam pemerintahannya, maka
rakyat wajib mentaati dan mendukung kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya.
Namun, ketika pemerintah mulai menyimpang dari garis-garis yang telah
ditentukan, maka rakyat punyan hak untuk mengontrol dan mengoreksi, bahkan
memprotes kebijakannya.
Rasulullah Saw menegaskan dalam hadisnya yang diriwayatkan dari Abu Ruqayyah Tamin bin Aus ad-Dari r.a.:
Artinya: “Agama itu nasihat.
Rasul ditanya, Untuk siapa ya Rasulullah? Untuk Allah, Rasul-Nya, dan para
pemimpin umat Islam”.
Dalam hadis lain Nabi SAW pernah bersabda:
Artinya: “Jihad yang paling
utama adalah berkata benar dihadapan penguasa yang lalim”.
Abdul Qadir al-Audah menyatakan dalam kitabnya at-Tasyri’
al-Jina’I al-Islami bahwa rakyat boleh bersikap tegas terhadap penguasa
yang menyeleweng dan tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai
pengayom rakyat. Bahkan lebih tegas lagi, pemerintah yang telah keluar dari
garis kekhalifahannya harus mundur dan kemudian menyerahkan wewenangnya kepada
yang lebih layak dan mempu menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan prinsip
Islam. Jika ia menolak, maka rakyat berhak untuk memaksanya turun dan
menetapkan pengganti baru secara bebas.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: DEMONSTRASI
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/demonstrasi-menentang-pemerintah.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5