ISLAM DAN KEBUDAYAAN
Sabtu, 02 Februari 2013
0
komentar
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak
dapat dipungkiri bahwa penulisan tentang sejarah Islam di Indonesia mula-mula
didominasi oleh sarjana-sarjana Barat yang datang dengan konsep mereka yang
secara langsung maupun tidak langsung telah berusaha memojokkan dan menjatuhkan
Islam sehingga Islam tidak lagi dianggap sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Islam
dibawa dan disebarkan di Indonesia dengan pedang dan darah, Islam adalah agama import atau agama orang Arab, Islam
menjadi penghambat kemajuan bangsa dan negara, dan tudingan-tudingan negatif lainnya[1]
yang muncul sebagai dampak dari kesalahfahaman terhadap sejarah masuk dan
berkembangnya Islam, dijadikan sebagai alat bagi mereka yang tidak terima jika Islam
berjaya sebagai agama yang tegak di negara yang mayoritas berpenduduk muslim
ini.
|
Jadi,
perlu kiranya untuk menggali lebih lanjut tentang sejarah masuknya Islam ke
Indonesia dan bagaimana pengaruhnya terhadap budaya-budaya Indonesia yang
beranekaragam bentuk dan jumlahnya, sehingga dapat terhindar dari
kesalahfahaman dan Islam pun dapat diterima secara kaffah.
Dalam
makalah yang sederhana ini penulis berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan dan
menjabarkan tentang hal-hal terkait di atas. Makalah ini penulis beri judul ”ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah pada makalah ini adalah tentang:
1. Bagaimana
tahap awal penetrasi Islam di
Indonesia?
2. Bagaimana
Islam dan kebudayaan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Tahap
awal penetrasi Islam di Indonesia
2. Islam
dan kebudayaan di Indonesia
BAB
II
|
A. Tahap Awal
Penetrasi Islam di Indonesia
Pada
masa awal penetrasi atau masuknya
Islam di Indonesia, penyebarannya masih bersifat terbatas di daerah-daerah
pelabuhan. Namun dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, Islam pun mulai
meluas ke wilayah pesisir dan pedesaan. Para pedagang dan ulama-ulama memegang
peranan penting dalam penyebaran Islam pada tahap ini.[4]
Secara umum, pada tahap ini Islam
sangat diwarnai oleh ajaran mistik Islam (tasawuf) hingga akhir dari abad ke-17.
Hal ini disebabkan adanya kecocokan antara Islam tasawuf dengaan latar belakang
masyarakat lokal yang dipengaruhi oleh asketisme
atau konsep tasawuf Hindu-Budha.[5]
Pada tahap awal ini, Islam tidak
secara merata langsung diterima oleh lapisan masyarakat. Di Jawa, Islam hanya
diperaktekkan oleh sekelompok kecil kaum muslimin yang aktif dalam membawa
pesan-pesan Islam dan melaksanakan kegiatan keislaman di masyarakat. sedangkan
sebagian besar penduduk lainnya hanya menerima Islam secara global saja, karena
mereka masih menganut dan berpegang teguh pada kepercayaan nenek moyang mereka.[6]
|
Namun demikian, pada awal abad
ke-18, berbagai lembaga-lembaga keislaman mulai muncul dan mapan, seperti meunasah di Aceh, surau[8]
di Minangkabau dan Semenanjung Malaya, pesantren
di Jawa, dan lembaga-lembaga lainnya.[9]
Lembaga-lembaga inilah yang tumbuh menjadi organisasi yang bersifat universal yang menerima guru dan murid
tanpa memandang latar belakang daerah, suku dan sebagainya, sehingga mampu
membangun jaringan kepemimpinan intelektual keagamaan dalam berbagai tingkatan.[10]
Dengan terjadinya persentuhan
antara lembaga-lembaga keislaman dengan dunia luar, terdoronglah intensifikasi atau peningkatan proses islamisasi terhadap kalangan masyarakat
secara keseluruhan, sekaligus sebagai pembaruan terhadap pandangan dan praktek
keislaman bagi mereka yang telah menjadi muslim. Hal inilah yang mendorong
munculnya slogan “kembali kepada syariah” yang menyeret dunia Melayu ke arah ortodoksi, yakni kembali berpegang teguh
terhadap konsep resmi syariah, yang
ditandai dengan diterjemahkannya teks-teks sufi
ortodoks ke dalam bahasa Melayu.[11]
Di Minangkabau, Tuanku Nan Tua,
seorang tokoh terkemuka tarekat Syattariyah,
melakukan gerakan pembaruan agama yang disebut dengan gerakan Padri,[12]
dengan anggota yang tidak sedikit, yang tampil sebagai pemimpin-pemimpin utama,
seperti Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol.[13]
B. Islam dan Kebudayaan
di Indonesia
Agama dan
kebudayaan adalah dua unsur yang saling mempengaruhi, karena keduanya sama-sama
mengandung nilai dan simbol. Namun antara agama dan kebudayaan terdapat
perbedaan yang menonjol, karena agama merupakan sesuatu yang final, bersifat universal, abadi dan absolut.
Sedangkan kebudayaan bersifat partikular,
relatif dan temporer.[14]
Agama
kebudayaan sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi
kehidupan agar sesuai dengan asas ketuhanan dan kemanusiaan. Ketika kelahiran
seorang anak, misalnya, maka agama memberikan pandangan agar melaksanakan aqiqah
untuk anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabanan,
asyraqalan atau bacaan barjanji,
memberikan cara pandang lain, akan tetapi memiliki tujuan yang tidak berbeda,
yaitu sama-sama dalam rangka mendoakan kesalehan anak tersebut agar sesuai
dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Begitu juga halnya upacara tahlilan,
baik agama maupun budaya lokal, sama-sama saling memberikan cara pandang dalam
menyikapi orang yang meninggal.[15]
1.
Persentuhan Islam dengan kebudayaan
Jawa
Pada
dasarnya Indonesia pernah mengalami dualisme
kebudayaan, yaitu antara kebudayaan keraton dan kebudayaan populer yang
keduanya merupakan kebudayaan tradisional.
Kebudayaan
keraton, yang disebut juga sebagai kebudayaan istana, dikembangkan oleh para
pegawai istana (abdi-dalem), mulai
dari pujangga sampai arsitek. Simbol-simbol budaya diciptakan oleh raja guna
melestarikan kekuasaannya. Kebudayaan tersebut biasanya berupa mitos yang
dihimpun dalam babad, hikayat dan lontara, yang
kesemuanya berisi tentang kesaktian dan
kesucian sang raja. [16]
Hal ini
dilakukan dengan tujuan agar rakyat loyal terhadap kekuasaan raja. Dalam babad Jawa misalnya, digambarkan bahwa
raja dianggap sebagai pemegang wahyu dan wakil Tuhan dalam memerintah rakyatnya. Hal ini juga
didukung oleh sastra mistik yang diciptakan oleh pegawai istana guna
mempertahankan status kerajaan yang mutlak.
Di suatu saat para raja pun mengklaim bahwa dirinya adalah keturunan
para dewa atau para Nabi SAW.[17]
Terdapat
perbedaan antara kebudayaan Jawa dan Islam dalam konsep kekuasaan. Kebudayaan
Jawa lebih mengenal konsep kekeuasaan absolut,
sedangkan kebudayaan Islam lebih menekankan pada konsep keadilan. Jadi, dalam kebudayaan Jawa,
masyarakat berjalan berdasarkan asas kemutakan sang raja dalam tertib
sosialnya. Sedangkan dalam kebudayaan Islam, hukum yang adil yang ditegakkan
sebagai asas ketertiban sosial.[18]
Sedangkan
dalam kebudayaan populer, dijumpai pula mitos-mitos, seperti cerita batu bekas
sujudnya wali songo di pantai-pantai utara Jawa. Hal ini terus terbangun hingga
sekarang, sehingga masih sering terdengar adanya kiai-kiai sakti yang mampu
shalat di Mekah dan kembali dalam waktu sekejap, berkhutbah di dua tempat
secara bersamaan, dan sebagainya. Pengaruh Islam terhadap kebudayaan ini dapat
dilihat pula pada ritual-ritual kegamaan, seperti ritual perkawinan, kelahiran
dan kematian. begitu juga acara maulid, seni musik qasidah, gambus dan
sebagainya.[19]
2.
Islam dan kebudayaan di Sulawaesi
Islam mulai
masuk di sulawesi Selatan pada tahun 1603, dan tersebar secara resmi pada tahun
1605. Sebelum kedatangan Islam, kehidupan masyarakat hanya berasaskan ade’ nami napo puang atau norma adat
yang dihormati.
Namun
sebelum kedatangan Islam, pada umumnya masyarakat telah mengenal konsep tauhid
yang mereka gambarkan dengan istilah dewata
sewwae, yakni tekki inang dan tekki ammang atau tidak beranak tidak
berayah. Dalam Islam, hal ini sesuai dengan konsep surat al-Ikhlas. Hal ini
yang menyebabkan mudahnya proses penerimaan Islam oleh masyarakat setempat.[20]
Sulapa epp’e, yakni pepatah orang tua kepada
anaknya yang hendak merantau, merupakan salah satu gambaran dari pengaruh Islam
terhadap budaya di Sulawesi Selatan. Sulape
epp’a tersebut berbunyi:
Abu Bakkareng tettong riolo
Ummareng tettong di atau
Bagenda Ali tettong ri abeo
Usmang tettong ri munri
Kun fayakun
Barakka la ilaha illallah
Muhammadun Rasulullah
Abu Bakar
berdiri di depan
Umar berdiri
di sebelah kanan
Baginda Ali
berdiri di sebelah kiri
Usman
berdiri di belakang
Sealnjutnya
Halide menyebutkan, bahwa dalam sulapa
eppa’e ini terdapat suatu konsep
kepemimpinan yang sukses, yakni teknik kepemimpinan yang tergambarkan pada hal
sebagai berikut:
a.
Abu Bakar as-Shiddiq merupakan
simbol dari kejujuran, kebijaksanaan dan kesabaran;
b.
Umar bin Khattab merupakan simbol
keberanian dan keadilan;
c.
Ali bin Abi Thalib merupakan simbol
keilmuan;
d.
Usman bin Affan merupakan simbol
hartawan.[21]
Salah
satu budaya Islam yang sangat melekat pada masyarakat Sulawesi Selatan adalah pembacaan
kitab Barzanji.[22]
Kitab yang dikarang oleh Syeikh Ja’far tersebut selalu dibaca di berbagai
ritual adat, seperti upacara perkawinan, penempatan rumah baru, kelahiran anak,
khitanan, khataman al-Qur’an dan sebagainya.[23]
3. Aceh
sebagai sentra dakwah dan budaya Islam
Sejarah
telah mencatat bahwa daerah pertama yang dihadiri oleh Islam di Nusantara
adalah Aceh dan kerajaan Islam pertama di wilayah Asia tenggara adalah kerajaan
Islam Perlak, Samudera dan Pasai. Pernyataan ini didukung oleh berbagai
literatur dan merupakan hasil kesepakatan seminar sejarah masuknya Islam ke
Indonesia yang di adakan di Medan.[24]
Pada
masa awal Islam hadir, pendakwah pertama langsung menerapkan apa yang
terkandung dalam ayat yang paling pertama turun, yaitu konsep perintah untuk
membaca (iqro’) yang mengarah kepada
pendidikan. Maka diajarkanlah kepada masyarakat tentang tata-cara bercocok
tanam yang benar, cara berdagang yang sah, dan cara berumah tangga yang
tentram. Sementara kepada para penguasa ditanamkan sistem kepemimpinan yang
dapat dapat memakmurkan rakyatnya.[25]
Kemudian
setelah benih awal tertanam pada diri masyarakat, maka dijelaskanlah bahwa
semua itu merupakan sebagian kecil dari konsep ajaran Islam. Dengan metode persuasif semacam ini, para penguasa dan
segenap rakyatnya pun segera meninggalkan agama nenek moyangnya dan memeluk
Islam secara berduyun-duyun.[26]
Setelah
kerajaan Islam terbentuk dan agama terjiwai, baik dalam diri penguasa maupun
rakyatnya, lembaga-lembaga pendidikan pun mulai dibangun, sehingga dalam waktu
yang relatif singkat, sistem pendidikan pun terbentuk dan terbagi menjadi
beberapa struktur yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat.
Lembaga-lembaga
tersebut terbagi menjadi lima tingkatan, yaitu: [27]
a. Meunasah
Meunasah
merupakan tempat belajar ilmu-ilmu dasar setingkat SD yang terdiri dari
kurikulum baca tulis huruf Arab dan al-Qur’an, dasar-dasar ilmu fiqih dan
akhlak. Bahasa yang digunakan pada tingkat ini biasanya bahasa daerah dan
tulisan jawi.
b. Rangkang
Pada
tingkat ini, kurikulum meliputi ilmu-ilmu agama dan umum, seperti ilmu Fiqih,
Matematika, Sejarah dan lain-lain. pendidikan tingkat Rangkang ini setara
dengan prndidikan tingkat SLTP.
c. Dayah
Mata
pelajaran yang diajarkan pada tingkat Dayah meliputi ilmu Fiqih, Tauhid,
Akhlak, Matematika, Faraid, Sejarah, Hukum dan sebagainya. Tingkatan ini setara
dengan tingkatan SLTA.
d. Dayah
Teungku Syhik
Pendidikan
yang setara dengan akademik ini difokuskan pada bidang Tafsir, Hadis, Fiqih,
Bahasa, Sastra Arab, Logika, sejarah dan lain-lain. Buku pegangan pada tingkat
Dayah dan Dayah Teungku Syhik berupa buku-buku yang berbahasa Arab.
e. Al-Jami’ah
Pada
tingkatan ini didirikan beberapa fakultas, antara lain Fakultas Tafsir dan Hadis,
Kedokteran dan Kimia, Sosial dan Politik, Filsafat, dan sebagainya. Pendidikan ini
ditunjang oleh beberapa guru besar yang datang dari Arab, Turki, Persia, dan
India.
|
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pada masa awal penetrasi atau masuknya Islam di
Indonesia, penyebarannya masih bersifat terbatas di daerah-daerah pelabuhan.
Namun dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, Islam pun mulai meluas ke
wilayah pesisir dan pedesaan. Para pedagang dan ulama-ulama memegang peranan
penting dalam penyebaran Islam pada tahap ini. Secara umum, pada tahap ini
Islam sangat diwarnai oleh ajaran mistik Islam (tasawuf) hingga akhir dari abad
ke-17. Hal ini disebabkan adanya kecocokan antara Islam tasawuf dengaan latar
belakang masyarakat lokal yang dipengaruhi oleh asketisme atau konsep tasawuf Hindu-Budha;
2.
Agama dan kebudayaan adalah dua
unsur yang saling mempengaruhi, karena keduanya sama-sama mengandung nilai dan
simbol. Namun antara agama dan kebudayaan terdapat perbedaan yang menonjol,
karena agama merupakan sesuatu yang final, bersifat universal, abadi dan absolut. Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Hal
ini dapat dilihat pada beberapa kebudayaan di Indonesia.
B. Saran
|
|
Atang, Abdul hakim dan Jaih mubarok, Metodologo Studi Islam, Cet. XI,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Azra,
Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara:
Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Cet. I, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.
Hasyimi,
A., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Indonesia: Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh, Cet. III, PT
al-Ma’arif, 1993.
Nizar,
Samsul, Sejarah Pendikan Islam:
Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, Cet.
II, Jakarta: Kencna, 2008.
Yustiono
dkk, Islam dan Kebudayaan Indonesia:
Dulu, Kini dan Esok, Cet. I, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993.
.
[1] Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah
Wacana dan Kekuasaan, Cet. I, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, h. 5.
[2] Pernyataan ini merupakan salah
satu dari kesimpulan seminar sejarah masuknya Islam ke Indonesia, tanggal 17
s/d 20 Maret 1963 di Medan, sebagai sanggahan dari klaim sarjana-sarjana Barat
yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 13 melalui
Persia dan India, bukan langsung dari Arab. Lihat A. Hasyimi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia: Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh, Cet. III, PT al-Ma’arif,
1993, h. 38.
[3] Lihat tolakan Najib al-Athas,
Hussein Alatas dan Nikki Keddie terhadap penyataan London, Van Leur dan
Winstedt tentang pengaruh Islam di Asia Tenggara dalam Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 6.
[4] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 34.
[5] Ibid, h. 35.
[6] Ibid,.
[7] Ibid,.
[8] Istilah surau telah dikenal
sebelum datangnya Islam yang biasa dijadikan sebagai pelengkap rumah Gadang
yang digunakan sebagai tempat berkumpul, bertau, dan lain-lain. setelah
datangnya Islam, fungsi surau semakin penting, selain sebagai tempat sholat,
surau dijadikan pula sebagai tempat pendidikan Islam. Lihat Samsul Nizar, Sejarah Pendikan Islam: Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, cet. II, Jakarta:
Kencna, 2008. h. 280.
[9] Meunasah merupakan tempat belajar ilmu-ilmu dasar setingkat SD yang
terdirii dari kurikulum baca tulis huruf Arab dan al-Qur’an, dasar-dasar ilmu
fiqih dan akhlak. Bahasa yang digunakan pada tingkat ini biasanya bahasa daerah
dan tulisan jawi. Lihat Yustiono dkk, Islam
dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok, Cet. I, Jakarta: Yayasan
Festival Istiqlal, 1993, h. 268.
[10] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 36.
[11] Ibid,.
[12] Menurut Abdul Ala, gerakan padri
pada mulanya bersifat sporadis atau
sulit terkontrol dan tidak tertentu. namun setelah para pemukanya saling
melakukan hubungan satu sama lain, gerakan ini pun tumbuh dan terorganisir.
Gerakan ini bermaksud melakukan pembaruan agama Islam di daerah-daerah di
Minangkabau. Meskipun sebelumnya tidak mendapat respon positif, namun pada
selanjutnya gerakan ini tumbuh besar setelah mendapat dukungan dari beberpa tokoh
terkenal termasuk delapan tokoh yang tergabung dalam Harimau Nan Selapan. Lihat
http://bataviase.co.id/detailberita-10445438.html.
ol: 11/2010.
[13] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 36.
[15] Ibid,.
[16] Abdul hakim Atang dan Jaih
mubarok, Metodologo Studi Islam, Cet.
XI, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009. h. 45.
[17] Ibid,.
[18] Ibid, 46.
[19] Ibdi, 47.
[20] Yustiono dkk, Islam dan Kebudayaan Indonesia..., h.
259.
[21] Ibid, h. 257. Lihat juga Abdul hakim Atang dan Jaih mubarok, Metodologo Studi Islam ..., h. 52.
[22] Secara umum kitab Barzanji
memilki tiga kandungan pokok, yaitu cerita tentang perjalan hidup Nabi SAW,
syair pujian-pujian terhadap beliau, dan shalawat. Lihat http://www.abunaylas.co.cc/2010/03/koreksi-kitab-barzaji.html.
ol: 11/2010
[23] Namun terkadang hal ini terlihat
berlebihan. kecintaan mereka terhadap Nabi SAW terkadang berlebihan, hal ini
tergambar dalam nyanyian yang sering mereka ungkapkan. Lebih lengkap lihat Yustiono
dkk, Islam dan Kebudayaan Indonesia..., h.
261.
[24] Ibid, h. 265.
[25] Ibid, h. 267.
[26] Ibid, h. 268.
[27] Yustiono dkk, Islam dan Kebudayaan Indonesia..., h.
268.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: ISLAM DAN KEBUDAYAAN
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/02/islam-dan-kebudayaan_2142.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5