UNSUR DAN PENDEKATAN DAKWAH
Jumat, 01 Februari 2013
1
komentar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama yang
berisi dengan petunjuk-petunjuk agar manusia secara individual menjadi manusia
yang baik, beradab, dan berkualitas, selalu berbuat baik sehingga mampu
membangun suatu peradaban yang maju, sebuah tatanan kehidupan yang manusiawi dalam
arti kehidupan yang adil, maju bebass dari berbagai ancaman, penindasan, dan
berbagai kekhawatiaran. Agar mencapai yang diinginkan tersebut, diperlukan apa
yang dinamakan sebagai dakwah. Karena dengan masuknya Islam dalm sejarah umat
manusia, agama inimencoba meyakinkanumat manusia tentang kebenarannya dan
menyeru manusia agar menjadi penganutnya.
Dalam mengembangkan dakwah,
maka hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang da’i / mubaligh salah
satunya adalah dengan mengatahui unsur-unsur dakwah. Tanpa mengetahui
unsur-unsur tersebut, dakwahnya bisa dikatakan tidak sempurna. Oleh karena itu,
dibuatlah makalah sederhana ini dengan judul “UNSUR-UNSUR DAKWAH” yang akan
memberikan gambaran mengenai unsure-unsur dakwah yang kiranya sangat penting
bagi mahasiswa, khususnnya jurusan dakwah.
Pepatah Arab mengatakan, “buku
gudang ilmu, membaca adalah kunncinya”. Semoga dengan adanya makalah
sederhana ini bisa menambah khazanah keilmuan kita dalam mengembangkan dakwah
islamiyah dan bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan permasalahan yang
akan dibahas, makalah ini merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa saja unsur-unsur dakwah?
2. Bagaiman pendekatan (approach) dalam dakwah?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui unsur-unsur dakwah.
2. Untuk mengetahui pendekatan (approach) dalam dakwah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Unsur-Unsur
Dakwah
Unsur-unsur dakwah adalah
komponen-komponen yang terdapat dan selalu ada dalam kegiatan dakwah.[1]
Unsur-unsur tersebut adalah da’I (pelaku dakwah), mad’u (mitra
dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media dakwah), thariqah (metode), dan atsar (efek
dakwah). Semua ini adalah unsur pokok dakwah yang berarti harus
ada dan tidak bisa dipisahkan dalam proses dakwah sendiri, peran masing-masing
unsur amat berkaitan dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya.[2]
1.
Da’i (Pelaku Dakwah)
Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik
secara lisan maupun tulisan ataupun perbuatan dan baik secara individu,
kelompok aau berbenuk organisasi aau lembaga.[3]
Secara umum kata da’i ini sering disebut dengan
sebutan mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam), namun sebenarnya
sebutan ini konotasinya sangat sempit, karena masyarakat cenderung
mengartikannya sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan,
seperi penceramah agama, khatib
(orang yang berkhutbah), dan sebagainya.
Siapa saja yang menyatakan sebagai pengikut Nabi Muhammad hendaknya menjadi
seorang da’i, dan harus dijalankan sesuai dengan hujjah yang nyatadan
kokoh. Dengan demikian, wajib baginya untuk mengetahui kandungan dakwah baik
dari sisi akidah, syari’ah mamupun dari akhlak. Berkaitan dengan hal-hal yang
memerlukan ilmu dan keterampilan khusus, maka kewajiban dakwah dibebankan
kepada orang-orang tertentu.[4]
Nassarudin Lathief mendefinisikan bahwa da’i adalah
muslim dan muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliyah pokok bagi
tugas ulama. Ahli dakwah adalah wa’ad,
mubaligh musama’in (juru penerang) yang
menyeru, mengajak, membebri pengajaran dan pelajaran bagi umat Islam.
Sementara itu, untuk mewujudkan seorang da’i yang
professional yang mampu memecahkan kondisi madunya sesuai dengan perkembangan
dan dinamika yang dihadapi oleh objek dakwah, ada beberapa krieria. Adapun
sifat-sifat bpenting yang harus dimiliki oleh seoran da’i secara umum, yaitu:[5]
a. Mendalami al-Qur’an, Sunnah dan sejarah
kehidupan Rasul, serta khulafaurrasyidin.
b. Memahami keadaamn masyarakat yang akan
dihadapi.
c. Berani dalam mengungkapakan kebenaran
kapan pun dan dimana pun.
d. Ikhlas dalam melaksanakan tugas dakwah anpa
tergiur oleh nikmat materi yang hanya sementara.
e. Satu kata dengan perbuatan.
f. Terjauh dari hal-hal yang menjatuhkan
harga diri.
Da’i
juga harus mengetahui cara menyampaikan dakwah tentang Allah, alam semesta, dan
kehidupan, serta apa yang dihadirkan dakwah unntuk memberi solusi, terhadap
problema yang dihadapi manusia, juga metode-metode yang dihadirkannya untuk
menjadikan agar pemikiran dan prilaku manusia tidak salah dan tidak melenceng.[6]
2.
Mad’u (Mitra Dakwah atau Penerima Dakwah)
Unsur dakwah yang kedua adalah mad’u, yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah
atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok,
baik manusia yang beragama Islam maupun tidak, atau dengan kata lain manusia
secara keseluruhan.[7]
Sesuai dengan firman Allah QS. Saba’ 28:
!$tBur y7»oYù=yör& wÎ) Zp©ù!$2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #Zϱo0 #\ÉtRur £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$#
w cqßJn=ôèt ÇËÑÈ
Artinya:
Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,
tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS. Saba’: 28).
Dalam
al-Qur’an selalu digambarkan bahwa setiap Rasul menyampaikan risalah, kaum yang
dihadapinnya akan terbagi dua: mendukung dakwah dan menolak. Cuma kita tidak
menemukan metode yang mendetail di dalam al-Qur’an bagaimana berinteraksi
dengan pendukung dan bagaiman menghadapi penentang. Tetapi, isyarat bagaimana mad’u
sudah tergambar cukup signifikan dalam al-Qur’an.[8]
Mad’u
(mitra dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu,
menggolongkan mad’u sama dengan menggolongkan manusia itu sendiri,
profesi, ekonomi, dan seterusnya. Penggolongan mad’u tersebut antara
lain sebagai berikut:
a.
Dari segi sosiologis,
masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan, kota kecil, serta masyarakat di kota
besar.
b.
Dari struktur kelembagaan,
ada golongan priyayi, abangan dan santri, terutama pada masyarakat Jawa.
c.
Dari segi tingkatan usia, ada
golongan anak-anak, remaja dan golongan orang tua.
d.
Dari segi profesi, ada
golongan petani, pedagang seniman, buruh dan pegawai negeri.
e.
Dari segi tingkatan social
ekonomis, ada golongan kaya, menengah, dan miskin.
f.
Dari segi jenis kelamin, ada
golongan pria dan wanita.
g.
Dari segi khusus, ada
masyarakat tunasusila, tunawisma, tunakarya, narapidana, dan sebagainya.[9]
3. Maddah (Materi Dakwah)
Maddah
adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’I kepada mad’u.
dalam hal ini sudah jelas bahwa yang
menjadi maddah dakwah adalah ajaran Isalm itu sendiri.[10]
Oleh karena itu, membahas yang menjadi maddah dakwah adalah membahas
ajaran Islam itu sendiri, sebab semua ajaran Islam yang sangat luas itu bias
dijadikan maddah dalam dakwah Islam.[11]
Ajaran
Islam yang dijadikan maddah dakwah
itui pada garis besarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a.
Akidah, yang meliputi:
1)
Iman kepada Allah
2)
Iman kepada Malaikat-Nya
3)
Iman kepada kitab-kitabb-Nya
4)
Iman kepada Rasul-rasul-Nya
5)
Iman kepada hari Akhir
6)
Iman kepada qadha-qadhar
b.
Syari’ah, yang meliputi:
1)
Ibadah (dalam arti khas),
meliputi:
2)
Thaharah
3)
Sholat
4)
Zakat
5)
Puasa
6)
Haji
c.
Muamallah (dalam arti luas)
meliputi:
1)
Al-Qanunul Khas (hukum
Perdata)
a)
Muamalah (hukum niaga)
b)
Munakahat (hukum nikah)
c)
Waratsah (hukum waris)
d)
Dan lain sebagainya
2)
Al-Qanunul ‘am (hukum Publik)
a)
Hinayah (hukum Pidana)
b)
Khilafah (hukum Negara)
c)
Jihad (hukum perang dan damai)
d)
Dan lain-lain[12]
4. Wasilah
(Media Dakwah)
Wasilah
(media dakwah) adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi
dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u. untuk menyampaikan ajaran Islam
kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Hamzah Ya’qub
membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu:
1.
Lisan adalah media dakwah
yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan media ini
dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
2.
Tulisan adalah media dakwah
melalui tulisan, buku, majalah, surat kabar, spanduk, dan sebagainya.
3.
Lukisan adalah media dakwah
melalui gambar, karikatur, dan sebagainya.
4.
Audiovisual adalah media
dakwah yang dapat merangsang indera pendengaran, penglihatan, atau
kedua-duanya, seperti televisi.
5.
Akhlak, yaitu media dakwah
melalui perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam yang
secara langsung dapat dilihat dan didengarkan
oleh mad’u.[13]
5. Thariqah
(Metode Dakwah)
Dari
segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu "meta"
(melalui) dan "hodos" (jalan, cara). Dengan demikian kita
dapat artikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk
mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari
bahasa jerman Methodica ajaran
tentang metode. Dalam bahasa yunani metode berasal dari kata methodos
artinya jalan yang dalam bahasa Arab disebut thariq.[14] Apabila
kita artikan secara bebas metode adalah cara yang telah diatur dan melalui
Proses pemikiran untuk mencapäi suatu maksud.
Sedangkan arti dakwah menurut Pandangan bebera
papakar ilmuwan adalah sebagai berikut:
1.
Pendapat Bakhial Khauli, dakwah adalah satu
Proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat
dari satu keadaan kepada keadaan lain.
2.
Pendapat Syekh Ali Mahfudz,
dakwah adalah mengaiak manusia untuk mengeriakan kebaikan dan mengikuti
petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek
agar meteka mendapat kebahagiaan di dunia. dan akhirat. Pendapat ini fuga selaras
dengan pendapat al-Ghazali bahwa amr ma'ruf nahi munkar adalah inti gerakan
dakwah dan penggerak dalam dinamika masyakat Islam.[15]
Dari
pengertian di atas dapat diambil Pengertian bahwa,metode dakwah adalah
cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da'i (Komunikator) kepada mad’u
untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang. Hal ini mengandung
arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan human oriented
menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.[16]
Ketika
membahas metode dakwah umumnya merujukpada Surah An-Nahl ayat 125.
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# (
Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4
¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y (
uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya:
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Dari
ayat tersebut menunjukkan bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu
:
1. Bi al-Hikmah,
yaitu berdakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan
menitikberatkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan
ajaran-ajaran agama Islam selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau
keberatan.
2. Mau’izatul Hasanah, yaitu
berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat atau menyampaikan ajaran-ajaran
agama Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga nasihat dan ajaran Islam yang
disampaikan itu dapat menyenuh hati mereka.
3.
Mujadalah Billati Hiya Ahsan,
yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran dan membantah dengan
cara yang sebaik-baiknya dengan tidak memberikan tekanan-tekanan yang memberatkan
pada komunitas yang menjadi sasaran dakwah.[17]
6. Atsar (Efek Dakwah)
Atsar
berasal dari bahasa Arab yang berarti bekasan, sisa, atau tanda. Istilah ini
kemudian digunakan untuk menunjukkan suatu ucapan atau perbuatan yang berasal
dari sahabat atau tabi’in yang pada perkembangan selanjutnya diamggap sebagai
hadis, karena memiliki crri-ciri sebagai hadis.[18]
Atsar
(efek) sering disebutt dengan feed back (umpan balik) dari proses dakwah
ini serimhg kali dilupakan atau sering tidak mendapat banyak perhatian dari
para da’i. Padahal, atsar sangat besar artinya dalam penentuan
langkah-langkah dakwah berikutnya. Tanpa mengalisis atsar dakawah maka
kemungkinan kesalahan strategi yang sangat merugikan pencapaian tujuan dakwah
akan terulang kembali. Sebaliknya, dengan menganalisis atsar dakwah
secara cermat dan tepat maka kesalahan strategis dakwah akan segera diketahui
untuk segera diadakan penyempurnaan pada langkah-langkah berikutnya (corrective
action) demikian juga strategi dakwah termasuk di dalam penentuan
unsur-unsur dakwah yang dianggap baik dapat ditingkatkan.[19]
Sebagaimana
diketahui bahwa dalam upaya mencapai tujuan dakawah maka kegiatan dakwah selalu
diarahkan untuk memengaruhi tiga aspek perubahan dari objeknya, yakni perubahan
pada aspek pengetahuan (knowledge), aspek sikapnya (attitude),
dan aspek prilakunya (behavioral).
Berkenaan
dengan ketiga hal tersebut, Jalaluddin Rahmat menyatakkan bahwa efek
kognitif terjadi bila ada perubahan
pada apa yang diketahui, dipahami, dan dipersepsi khlayak. Efek ini berkaitan
dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, atau informasi. Efek
afektif timbul bila ada perubahan
pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak, yang meliputi segala
yang berhubungan dengan emosi, sikap
serta nilai. Sedangkan efek behavioral merujuk pada prilaku nyata yang dapat diamati, yang meliputi
pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berprilaku.[20]
B.
Pendekatan
(Approach) Dakwah
Setiap pelaksanaan
dakwah dengan unsurnya harus menggunakan pendekatan (approach) yang
tepat. Yang dimaksud dengan pendekatan (approach) adalah penentuan
strategi dan pola dasar dan langkah dakwah yang di dalamnya terdapata metode
dan teknik unuk mencapai tujuan dakwah.
Penentuan pendekatan dakwah
didasarkan atas kondisi sasaran dakwah dan suasana yang melingkupinya. Dalam
masyarakat yang terhimpit ekonomi, tentunya dakwah dengan pendekatan ekonomi
lebih mengenai daripada pendekatan psikologis semata. Demikian juga dengan
pendekatan ekonomi kepada mitra dakwah yang meliputi kecemasan batin akan
merupakan kesalahan jika didekati dengan ekonomi semata, sebab mereka
seharusnya, didekati secara psikologis.[21]
Pendekatan dakwah dapat
dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Pendekatan Sosial
Pendekatan
ini didasarkan atas pandangan bahwa penerima/mitra dakwah adalah manusia yang
bernaluri sosial serta memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan orang
lain. Interaksi sosial manusia ini meliputi semua aspek kehidupan yaiu
interaksi budaya, pendidikan, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan
sosial ini meliputi:
a.
Pendekatan Pendidikan
Pendidikan merupakan kebuuhan
dan sekaligus tuntutan masyarakat, baik pendidikan formal, nonformal, maupun
informal. Lembaga-lembaga pendidikan peranannya dalam pembentukan kecerdasan
yang bersangkutan, kedewasaan wawasan serta pembentuka manusia moralis yang
berakhlakul karimah sebagai objek maupun subjek pembangunan manusia seutuhnya.
b.
Pendekatan Budaya
Setiap masyarakat memiliki
budaya sebagai karya mereka sekaligus sebagai pengikat kebutuhan mereka. Para
wali songo, yang memandang bangsa Indonesia dengan budaya yang tinggi secara
tepat menggunakan budaya dalam dakwahnya, dan ternyata membawa hasil.
c.
Pendekatan Politik
Banyak hal yang tidak dapat
diselesaikan dengan pendekatan lain kecuali dengan pendekatan politik, melalui
kekuasaan. Bahkan hadis Nabi secara khusus memerintahkan amr ma’ruf nahi
munkar dengan “fal yughoyyihu biyaadihi” artinya melakukan nahi
munkar tersebut dengan kekuasaan (politik) pada penguasa.
d.
Pendekatan Ekonomi
Ekonomi termasuk kebutuhan
asasi dalam kehidupan setiap manusia. Kesejahteraan ekonomi memang tidak
menjamin suburnya kehidupan keimanan seseorang, akan tetapi sering kali
kekafiran akan membawa seseorang pada kekufuran, adalah merupakan realitas yang
banyak kita temukan. Pendekatan ekonomis dalam pelaksanaan dakwah pada
masyarakat yang minus ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup atau
disebut dengan dakwah bil hal mutlak dilakukan sebagai pendukung
stabilitas keimanan dan kontinuitas ibadah masyarakat.
2. Pendekatan Psikologis
Pendekatan
ini meliputi dua aspek:
a.
Citra pandang dakwah terhadap
manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk
lainnya. Oleh karena itu, mereka harus dihadapi dengan pendekatan persuasif,
hikmah, dan kasih sayang.
b.
Realita pandang dakwah
terhadap manusia yang disamping memiliki beberapa kelebihan, ia juga memiliki
berbagai macam kekurangan dan keterbatasan. Ia sering kali mengalami kegagalan
mengomunikasikan dirinya ditengah-tengah masyarakat sehingga terbelenggu dalam
lingkaran problem yang mengggangu jiwanya. Oleh karena itu dakwah harus
memandang setiap mitra dakwah sebagai manusia dengan segala problematikanya.
Pendekatan psikologis ini terutama bagi mereka yamg memerlukan pemecahan
masalah rohani, baik dengan bimbingan dan penyuluhan maupun dengan
metode-metode yang lain.[22]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah dijelaskan tersebut, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Unsur-unsur dakwah adalah komponen-kompone yang terdapat dan selalu
ada dalam kegiatan dakwah. Unsur-unsur tersebut adalah da’i (pelaku
dakwah), mad’u (mitra dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah
(media dakwah), thariqah (metode), dan atsar
(efek dakwah).
2. Pendekatan (approach) adalah penentuan strategi dan pola
dasar dan langkah dakwah yang di dalamnya terdapata metode dan teknik unuk
mencapai tujuan dakwah. Pendekatan dakwah dapat dibagi menjadi dua bentuk,
yaitu: Pendekatan Sosial dan pendekatan Budaya.
B.
Saran
Dalam penulisan
makalah ini, mungkin masih banyak terdapat kekeliruan atau kesalahan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari segala pihak sangatlah
diperlukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshari, Endang Saifudin, Wawasan Islam, Jakarta:
Rajawali, 1996.
Arifin, M., Psikologi Dakwah, Jakarta:
Bulan Binntang, 1997.
Aziz, Moh. Ali, Ilmu Dakwah, Cet. I,
Jakarta: Kencana, 2004.
Hasanudin, Hukum Dakwah, Cet. I,
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Munir, Metode Dakwah, Cet. I, Jakarta:
Kencana, 2003.
Munir, Muhammad dan Wahyu Ilahi, Managemen Dakwah, Cet. I,
Jakarta: Kencana, 2006.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1998.
Rahmat, Jalaluddin, Retorika Modern, Sebuah
Kerangka Teori dan Praktik Berpidato, Bandung: Akademika, 1982.
[1]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Cet. I,
Jakarta: Kencana, 2004, h. 75.
[3]Ibid.
[4]Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Managemen Dakwah, Cet. I,
Jakarta: Kencana, 2006, h. 22.
[5]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah…, h. 81.
[6]Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Managemen
Dakwah…, h.22.
[7]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah…, h. 90.
[8]Lihat al-Qur’an Surah al-Kahfi: 57, Fushilat:
5.
[9]M. Arifin, Psikologi Dakwah, Jakarta:
Bulan Binntang, 1997, h. 13-14.
[10]Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Managemen
Dakwah…, h. 24.
[11]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah…, h. 94.
[12]Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, Jakarta:
Rajawali, 1996, h. 71.
[13]Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Managemen
Dakwah…, h. 32.
[14]Hasanudin, Hukum Dakwah, Cet. I,
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, h. 35.
[15]Munir, Metode Dakwah, Cet. I, Jakarta:
Kencana, 2003, h. 6-7.
[16]Ibid., h. 7-8.
[17]Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi, Managemen
Dakwah…, h. 34.
[18]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1998, h. 363.
[19]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah…, h. 138-139.
[20]Jalaluddin Rahmat, Retorika Modern, Sebuah
Kerangka Teori dan Praktik Berpidato, Bandung: Akademika, 1982, h. 269.
[21]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah…, h. 143-144.
[22]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah…, h. 147-148.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: UNSUR DAN PENDEKATAN DAKWAH
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/02/unsur-unsur-dan-pendekatan-dakwah_1.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5