-->

STUDI Al-QURAN DAN HADIS ORIENTALIS

Posted by Unknown Minggu, 07 April 2013 3 komentar


STUDI Al-QURAN DAN  HADIS  ORIENTALIS
(Studi atas Pandangan Ignaz Goldziher tentang Al-Quran dan Hadis)
Oleh Akhmad Supriadi, S.Hi[1]
A.   Pendahuluan
Studi para pengkaji Islam dari dunia barat tentang dunia timur (baca: Islam) yang populer dikenal dengan orientalisme merupakan aktifitas yang telah berlangsung lama. Disinyalir aktifitas orientalisme telah dimulai sejak abad  ke-11 Masehi dimana pada saat itu banyak orang-orang Eropa yang sekolah dan belajar di perguruan-perguruan Arab dengan orientasi penguasaan dan penerjemahan buku-buku teks Arab.[2]
Kegiatan orientalis atau studi ketimuran itu sendiri mengalami perjalanan dan dinamika yang berliku. Demikian pula halnya dengan motivasi para orientalis dalam mengkaji Islam mengalami dinamika perubahan sesuai situasi yang berkembang. Sebelum abad ke 19 misalnya, motivasi para orientalis tidak jauh beranjak dari motivasi kolonialisme serta semangat permusuhan terhadap Islam. Pandangan yang dihadirkan didominasi oleh sikap polemis. Namun sejak abad ke-19 motivasi tersebut mulai mengalami pergeseran. Kegiatan orientalisme tidak lagi semata bertujuan mencari kelemahan ajaran Islam, namun telah mulai dimotivasi oleh tujuan ilmiah.[3]
diantara tokoh orientalis yang dianggap paling menonjol karya dan pemikirannya dalam studi Al-Quran dan hadis adalah Ignaz Goldziher, yang dalam perjalananya banyak memberikan inspirasi kepada orientalis lainnya seperti Joseph Schacht dan G.H.A Juynboll.[4]
Dalam kancah dunia orientalis, Ignaz Goldziher sendiri dianggap sebagai tokoh besar orientalis yang banyak memberikan pengaruh terhadap studi Keislaman baik Al-Quran maupun hadis. Dengan menggggunakan metode filologis serta kritik historis, Pemikiran dan pandangannya tentang Al-Quran dan Hadis terekam dalam beberapa karyanya khususnya Muslim Studies, Madzahib al-tafsir al-islamiy serta Inroduction to Islamic Theology and Law memicu lahirnya beragam reaksi baik beruap apresiasi maupun disapresiasi. Dalam karya-karyanya tersebut, Ignaz secara tegas meragukan otentisitas Al-Quran dan hadis yang notabene merupakan dua sumber utama ajaran Islam.

B.   Pandangan Ignaz Goldziher tentangAl-Quran dan Hadis
  1. Ignaz Goldziher: Biografi Singkat
Ignaz Goldziher (selanjutnya hanya disebut dengan Goldziher) dilahirkan pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hungaria  dari sebuah keluarga Yahudi terpandang dan memiliki pengaruh luas. Pendidikannya dimulai dari Budapest, kemudian dilanjutkan di Berlin pada tahun 1869. hanya satu tahun disana, ia pindah ke Leipzig University. Di bawah asuhan Flesser, salah satu guru besar orientalisme di universitas tersebut, Goldziher kemudian memperoleh gelar dokotral tingkat pertama tahun 1870 dengan risalah “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi abad tengah”.[5]
Setelah sempat ditunjuk menjadi asisten profesor di Universitas Budapest tahun 1872, Goldziher melanjutkan studinya di Wina dan Lieden. Ia kemudian ditugaskan untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan timur dan menetap di Kairo, Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo, Ignaz sempat bertukar kajian di universitas Al-Azhar.[6]
Selanjutnya Goldziher pernah diangkat sebagai pemimpin universitas Budapest. Di sini, ia sangat menekankan kajian peradaban Arab, khususnya Islam. Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit. Sejak saat itu dia hampir tidak pernah kembali ke negerinya, kecuali menghadiri konferensi orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar di universitas asing yang mengundangnya. Goldziher Meninggal pada 13 Nopember 1921 di Budapest.[7]
Selama hidupnya, Goldziher berhasil menghasilkan banyak karya diantaranya yang secara khusus terkait dengan studi hadis adalah Dirasah Islamiyah (Muslim studies) (1889-1890)[8]. Disamping itu karya lainnya yang cukup monumental adalah Muhadharat fi al-Islam (1910) dan Ittijahat Tafsir Al-quran Inda al-Muslimin (1920) serta Introduction to Islamic Theology and Law. [9]
  1. Pandangan Ignaz Goldziher tentang Al-Quran
Sebagai kitab suci kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (verbum dei), Al-Quran secara turun temurun telah diyakini oleh umat Islam sebagai kitab suci yang otentik sekaligus orisinil. Orisinalitas dan otentisitas tersebut tidak hanya menyangkut proses pewahyuan namun juga terkait dengan makna serta isinya (Qath’iy al-dalalah dan qhatiy al wurud). Namun, bagaimanakah otentisitas dan orisinalitas Al-Quran di mata orientalis?
Dalam kaitannya dengan studi Al-Quran dan tafsir, Goldziher dapat dikatakan sebagai sosok orientalis yang pendapatnya banyak dirujuk oleh orientalis setelahnya. Pendapat dan pandangannya tentang Al-Quran setidaknya dapat dilacak melalui dua karyanya yakni Introduction to Islamic Theology and Law dan Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy.
Dalam karyanya Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy, Goldziher sendiri, disamping digugat karena pandangan-pandangannya yang dianggap bersifat polemis dan skeptis terhadap Al-Quran, ia dianggap sebagai tokoh orientalis yang berjasa dalam memetakan pemikiran para mufassir khususnya dari aspek ideologis atau kegiatan penafsiran yang dilakukan. Dalam karyanya tersebut, Goldziher secara purposif berhasil menyeleksi para mufassir dari berbagai aliran yang ada secara ringkas. Ia mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir dalam Islam: Tradisionalis, dogmatis, mistik, sektariana serta modernis. Tiga aliran pertama senada dengan tipologi kesarjanaan muslim, yakni tafsir bi-l-riwayah; tafsir bi-l-dirayah; tafsir bi-l-isyarah. Sementara dua aliran lainnya, sektarian dan modernis, merupakan kategori tambahan atau elaborasi dari tipologi kesarjanaan muslim.[10]
 Lahirnya karya Goldziher ini kemudian memacu lahirnya karya lain yang membahas tentang mazhab atau aliaran tafsir berdasarkan banyak sudut pandang, misalnya saja al-Tafsir wa Al-Mufassirun karya Muhamah Husein al-Dzahabi (1961). [11]
Selanjutnya, ketika berbicara tentang Al-Quran, Menurut Goldziher merupakan kitab suci yang berupaya menyerap ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya. Unsur-unsur Kristen di dalam Al-Quran diterima oleh Muhammad umumnya melalui jalan tradisi-tradisi apokri dan melalui bid’ah-bid’ah yang yang bertebaran di dalam Gereja Timur. Dengan jalan demikian tidak sedikit unsur-unsur gnostik Timur mendapatkan tempatnya di dalam pemberitaan suci Muhammad. Ide-ide tersebut dalam pandangan Goldziher diperoleh Muhammad melalui hubungan-hubungan lahiriah dalam urusan perdagangan ketika ia masih belum diangkat sebagai Rasul. Untuk memperkuat argumentasinya tersebut, Goldziher menyatakan bahwa doktrin-doktrin dan institusi Nabi bersifat eklektis. Agama Yahudi dan Kristen menyediakan unsur-unsur pokok dan takaran yang sama. Lima unsur pokok yang dikenal dengan Rukun Islam sudah diperkenalkan oleh Nabi pada periode Makkah memperoleh bentuknya yang pasti pada periode Madinah. Jadi, menurut Goldziher, unsur-unsur ajaran dalam al-Quran sebenarnya banyak menyerap unsur atau tradisi agama sebelumnya. Misalnya, pertama, ibadah shalat misalnya, menurut Goldziher, yang dimulai dari berdiri, takbir dan bacaan-bacaan memiliki kemiripan dengan tradisi ibadah agama Kristen Timur seperti sujud, bersimpuh, dan wudhu . Kedua, institusi zakat yang semuala merupakan amal sukarela, Oleh Muhammad kemudian dilembagakan secara formal dalam bentuk sumbangan yang dibayarkan secara tertentu untuk kelompok dhu’afa secara komunitas. Ketiga, puasa yang semula dilakukan pada hari kesepuluh dari bulan pertama (menyontoh Hari Pertama Penebusan pada agama Yahudi, asyura’), kemudian dilakukan selama bulan Ramadhan, bulan kesepuluh menurut kalender bulan; keempat, ziarah ke Ka’bah, Bait Allah, tempat suci bangsa Arab kuno di Mekkah ditafsirkan kembali dengan gaya monoteis dari perspektif ajaran Ibrahim. [12] Goldziher juga menilai bahwa Al-Quran yang diturunkan pada masa Rasullullah hidup ternyata belum mampu menjawab beragam problematika yang terjadi selepas Nabi wafat, ini disebabkan karena cakupan kitab suci Al-Quran masih hanya berkisar pada dasar-dasar hukum saja. Ditambah lagi dengan meluasnya ekspansi umat Islam, ini mengindikasikan bahwa hadirnya Islam ternyata belum mampu menjawab segala problematika yang ada karena penyempurnaan baru ada setelah diperoleh hasil ijtihad generasi selanjutnya.[13]
Pandangan Goldziher di atas agaknya sangat dipengaruhi oleh pendekatan historis-sosilogis yang dilakukannya dalam mengkaji Islam, sehingga suatu ritual dan ajaran agama selalu dilihat hubungan historis, sehingga adanya kemiripan dalam ajaran ritual agama Islam dengan ritual agama-agama selain Islam yang terekam dalam Al-Quran dianggap sebuah upaya plagiasi dan absorbsi terhdapa ajaran sebelumnya.
Selanjutnya, terkait dengan Al-Quran, Goldziher juga memiliki pandangan yang tidak kalah kontroversial dan mengundang perdebatan. Menurutya, tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh kelompok keagamaan—dengan pengakuan teologis—bahwa ia adalah teks yang  diwahyukan atau diturunkan, dimana pada amasa awal peredaran (transmition) nya teks tersebut datang dalam bentuk yang kacau dan tidak pasti sebagaimana Yang ditemukan dalam Al-Quran.[14] Ketidak pastian yang dimaksud oleh Ignaz Goldziher adalah adanya beragama versi bacaan (qiraa’t). Menurutnya,  perbedaan ragam bacaan dalam melafalkan Al-Quran (qiraa’at) disebabkan oleh tidak adanya tanda titik dalam Al-Quran, sehingga setiap pembaca memiliki otoritas untuk menentukan bacaan sesuai keinginannya.
 Dalam memperkuat anggapannya tersebut, Goldziher menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok:[15]
a) Perbedaan bacaan karena tidak ada tanda titik. Menurut Goldziher, lahirnya sebagian besar perbedaan versi bacaan tersebut dikembalikan pada karekteristik tulisan arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan vokal pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas bentuk huruf atau dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Misalnya:
وهوالذى يرسل الرياح نشرا dapat di baca وهوالذى يرسل الرياح بشرا
وما كنتم تستكثرون dapat dibaca  وما كنتم تستكبرون
b ) Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal atau tanda baca berupa harakat atau syakal memicu perbedaan posisi i’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat yyang menyebabkan lahirnya perbedaan makna. Dengan demikian, Goldziher sampai pada suatu asumsi bahwa perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) dan perbedaan harakat yang dhasilkan, disatukan dan dibentuk dari huruf yang diam (tidak dibaca) merupakan faktor utama lahirnya perbedaan bacaan dalam teks yang tidak memiliki titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas.[16]
Pendapat Goldziher di atas, mendapat bantahan dari para sarjana muslim, diantaranya adalah Muhammad Mustafa Al-A’zami, seorang pakar Al-Quran dan hadis kelahiran India. Menurut Al-Azami, pendapat Goldziher yang menyatakan bahwa lahirnya varian bacaan disebabkan oleh ketiadaan titik dan diakritikal adalah tidak tepat, karena beragam qiraat dalam Al-Quran bukan disebabkan oleh teks yang nirtanda, akan tetapi sudah ditentukan melalui periwayatan yang masyhur yang dituturkan sendiri oleh Nabi serta disampaikan kepada para sahabat. Lebih jauh A’zami juga menyatakan bahwa Goldziher telah melupakan tradisi pengajaran secara lisan atau oral yang yang menjadi tradisi penuturan Al-Quran. Dalam konteks ini, adanya mushaf Usmani merupakan alat bantu untuk menyeleksi masuknya qira’at-qiraat yang ghairu masyhurah atau syadz. Jadi Mushaf Usmani sendiri bukan sebuah bentuk hegemoni atau uapaya usman untuk membakukan Al-quran dalam satu versi bacaan, sebagaimana dituduhkan oleh Goldziher.[17]
  1. Pandangan Ignaz Goldziher tentang adis
Diskursus tentang otentisitas hadis merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial dalam studi hadis. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an yang telah mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya, sebagaimana firman Allah Swt dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[18] Maka secara normatif-teologis, hadis tidak mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya dari Allah Swt. Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan hadis. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadis pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856) dan Sir William Munir dengan karyanya life of  Mahomet, namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadis tersebut. [19]
Sebenarnya Goldziher sendiri bukanlah orang pertama yang menggugat satus hadis  dalam Islam. Alois Sprenger[20] disinyalir sebagai orang yang pertama kali mempersoalkan status hadis, dilanjutkan kemudian oleh William Muir[21] yang kemudian ‘dipatenkan’ serta digaungkan secara kuat oleh Goldziher.[22]
            Melalui karyanya yang monumental sekaligus dianggap sebagai “kitab suci” pertama kaum orientalis tentang hadis, Muslim Studies (dirasat Islamiyyah), Goldziher kemduian dianggap sebagai tokoh orientalis peletak dasar skeptisisme tentang hadis. Dia mengatakan bahwa kaum Muslimin klasik telah beranggapan bahwa hadis adalah ajaran lisan yang penulisannya dipandang tidak perlu, lain halnya dengan al-Qur’an, yang menurut Goldziher, penulisannya wajib dilakukan. Beberapa catatan atau pandangan Goldziher tentang hal ini adalah sebagai berikut:
            Pertama, Goldziher menganggap bahwa hadis merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan untuk melegitimasi suatu kepentingan dengan beragama motivasi baik politik, kegamaan, ekonomi dan lain-lain, karena kodifikasi hadis baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi.[23] Lebih lanjut dia mengatakan bahwa hadis yang membolehkan penulisan (proses pengkodifikasian) sebenarnya lebih banyak dari pada pelarangan hadis yang lebih mengandalkan pada hapalan. Goldziher mengemukakan data yang mengindikasikan adanya penulisan hadis melalui periwayatan Abu Hurairah “Tidak ada seorangpun yang hafal lebih banyak hadis selain aku, Namun Abdullah Bin ‘Ash telah menuliskannya sedangkan aku tidak.” Satu fenomena lagi yang dijadikan justifikasi oleh Goldziher adalah bahwa Malik bin Anas pernah mengajar murid-muridnya dari teks-teks tertulis, sedangkan para pendengar menghafalnya dan kemudian Imam Malik mengoreksi dan menjelaskannya. Di samping itu, masih banyak lagi periwayatan-periwayatan yang dijadikan premis oleh Goldziher untuk menguatkan data tentang penulisan hadis ini.[24]
            Pergulatan pemikiran (gazhw al-fikr) yang berkisar pada wilayah boleh tidaknya penulisan hadis, merangsang Goldziher untuk berkomentar, bahwasanya pelarangan itu merupakan akibat yang dibiaskan dari prasangka-prasangka yang muncul kemudian. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Janganlah kamu menulis dariku kecuali al-Qur’an, dan barang siapa menuliskannya hendaknya dia menghapuskannya.”[25] Selain itu juga karena kekhawatiran akan menyakralkan tulisan, sehingga kata Goldziher, mereka lebih cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan, sebagaimana yang dilakukan oleh agama-agama terdahulu (baca: Yahudi) yang mengabaikan ungkapan Tuhan tetapi justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.[26]
            Nampaknya Goldziher sengaja mengutip banyak bukti periwayatan yang melegitimasi pelarangan ataupun pembolehan penulisan hadis. Terlepas apakah periwayatan-periwayatan tersebut mutawatir atau tidak, namun harus diakui bahwa orientalis, khususnya Goldziher, sangat hebat dalam menelusuri data-data yang telah ada berikut data-data historis yang juga mendukung pelarangan penulisan hadis, yaitu: pada abad ke-3 H. (masa Imam Bukhori dan Muslim), Abu Ali al-Basri sangat memuji orang yang menghapal dan mengutuk orang yang menulis, karena menulis buku tidak akan bebas dari bahaya api, bahaya tikus, bahaya air dan bahaya pencuri yang akan mengambilnya. Hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abu Sa’ad Abdul Rahman Bin Dost pada abad ke-4 H. Kemudian pada abad ke-6, penulisan hadis ini direkomendasikan oleh sejarawan terkemuka dari Damaskus, yaitu Abu al-Qosim Ibnu Asakir yang wafat pada tahun 521 H.[27]
            Kedua, Goldziher menganggap bahwa hadis yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadis-hadis klasik bukan merupakan laporan yang otentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Muhammad Saw. Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring sedemikian banyak materi hadis, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadis yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.[28]
            Ketiga, Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W. Montgomery Watt, beranggapan bahwa tradisi penulisan hadis sebenarnya merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama.[29] Namun ternyata pemahaman yang keliru tersebut masih juga mendapat dukungan dari sebagian kaum Muslimin sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang telah ada. Menurut Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa terlepas dari kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti yang menunjukkan bahwa Muhammad Saw mencatat riwayat-riwayat selain Al-Quran serta tidak ada bukti bahwa penulisan hadis itu sudah terjadi sejak awal Islam.[30]
            Keempat, Goldziher menyatakan bahwa redaksi hadis yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadis dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadis sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadis disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya.[31]
Ada beberapa alasan yang menyebabkan Goldziher meragukan kesahihan hadis Nabi: Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai istilah-istilah isnad yang lebih mengimplikasikan periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, adanya hadis-hadis yang kontradiktif satu sama lain. Ketiga, perkembangan hadis secara masal sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak termuat dalam koleksi hadis yang lebih awal. Keempat, para sahabat kecil lebih banyak mengetahui Nabi, dalam arti mereka lebih banyak meriwayatkan hadis daripada sahabat besar. Semua ini menjadi bukti bagi Goldziher bahwa telah terjadi pemalsuan hadis dalam skala besar.[32]
Lebih jauh, Goldziher memandang bahwa secara faktual penelitian tentang otentisitas hadis yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kesalahan metode yang digunakan. Hal ini karena para ulama, menurutnya, lebih banyak menggunakan kritik dan pendekatan sanad dan kurang menggunakan kritik matan. Oleh karena itu, Goldziher kemudian menawarkan metode baru yakni kritik matan.[33] Menurutnya, untuk memahami dan menetapkan kesahihan hadis, tidak hanya disandarkan pada analisis sanad, lebih jauh untuk menggambarkan sampai sejauh mana hubungan teks hadis dengan kondisi eksternal atau latar belakang kondisi sosial politik saat hadis tersebut muncul.[34] Dengan kata lain hadis menurut Goldziher merupakan alat untuk menjaga hegemoni kepentingan kelompok, politik mapun keagamaan, bukan sebagai alat untuk mengetahui perilaku Nabi yang sesungguhnya.[35]
Dalam hali ini, Goldziher menyontohkan sebuah hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari, dimana menurutnya Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan, sehingga setelah adanya kritik matan yang dilakukan oleh Goldziher, hadis tersebut dinyatakan palsu. Untuk menguatkan argumentasinya, Goldziher memebrikan sebuah contoh dimana ketika Khalifah Abdul Malik b. Marwan yang karena kawatir orang-orang Syam yang pergi haji ke Makkah akan melakuakn ba’iat setia kepada rivalnya Abdullah b. Zubair, ia kemudian berusaha agar orang-orang tersebut dapat melakukan haji di Qubbah al-Sakhra di Yerussalem sebagai ganti dari dari pergi haji ke Makkah. Selanjutnya untuk tujuan politis tersebut ia mempercayakan ahli hadis al-Zuhri untuk membuat suatu hadis yang bersambung kepada Nabi saw dan mengedarkannya ke masyarakat. Peristiwa inilah yang menurut Goldziher melatarbelakngi munculnya hadis Nabi yang berbunyi, “ La Tasyuddu al-rihala ila tsalasati masajida, masjidi hadza wa al-masjid al-haram wa al-masjid al-aqsha..[36]
Pendapat Goldziher di atas disanggah oleh M.M. Al-A’zami dalam karyanya Study in Early Hadits Literature. Melalui pendekatan historis dengan merujuk kepada kitab-kitab tarikh, Al-A’zami membantah pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ahli-ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun kelahiran al-Zuhri antara tahun 50 H sampai 58 H. Ia juga tidak pernah betemu dengan Abdul Malik b. Marwan sebelum tahun 81 H. Disisi lain, pada tahun 67 H, Palestina berada di luar kekuasaan Abdul malik b. Marwan, sedangkan orang-orang bani Umayyah pada tahun 68 H berada di Makkah dalam musim H. dari data-data tersebut, menurut A’zami, dapat disimpulkan bahwa Abdul Malik b. Marwan tidak mungkin mempunyai pikiran utnuk membangun Qubbah al-sakhra’, sebagai pengganti Ka’bah, kecuali sesudagh tahun 68 H. Sumber-sumber sejarah sendiri justru menunjukkan bahwa pembangunan Qubbah al-Sakhra’ baru dimulai pada tahun 69 H. Pada saat itu juga al-Zuhri baru berumur antara 10 samapai 18 tahun, sehingga tidak logis apabila seorang remaja sudah populer di luar komunitasnya sendiri.[37]
Jadi, dari pandangan-pandangan yang telah dipaparkan di atas, tampak bahwa Goldziher memiliki sikap yang sangat skeptis terhadap otentisitas hadis Nabi dengan berbagai argumentasi yang ia ajukan. Dengan demikian, menurut Goldziher hadis sebagai corpus yang berisikan perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW jika dilihat dari sejarah perkembangannya kerap berbaur dengan berbagai kepentingan terutama politik, akan sulit diterima bahwa suatu hadis adalah otentik dan orisinil dari Nabi SAW.

C.   PENUTUP DAN KESIMPULAN
Berangkat dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.    Ignaz Goldziher merupakan tokoh orientalis yang memiliki pengaruh cukup besar dalam studi Al-Quran dan hadis, dimana karya-karyanya banyak dijadikan rujukan oleh para orientalis baik semasa maupun ses udahnya.
2.    Bagi Goldziher, materi Al-Quran tidak lebih hanyalah hasil plagiasi, eklektik dan sinntesis dari beragam ajaran agama-gama yang datang sebelum Islam. Dari sisi teks, Goldziher juga menganggap Al-Quran sebagai corpus yang membingungkan karena beragamnya variasi bacaan.
3.    Hadis Nabi SAW sebagian besar menurut Goldziher merupakan kreasi umat Islam belakangan yang sangat dipengaruhi oleh beragam motivasi dan tendensi, sebagimana yang ditemukannya melalui metode kritik historis matan, sehingga otentisitasnya diragukan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyrikin, terj. Oleh Amroeni Drajat dengan judul Ensiklopedi Orientalis (Yogyakarta: LkiS, 2003)

Ali Mustafa yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)

Dadi Nurhaedi “Perkembangan studi di Kalangan Orientalis” dalam Jurnal Essensia, UIN Yogyakarta Vol. 4No. 2 tahun 2003

Edward W Said, Orientalism, terj. Oleh Asep Hikmat (Penerbit Pustaka: Bandung, 1996)

G.H.A. Juynboll, The Authenticity of The Traditions Literature: Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1969)

Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971)

-------------------, Introduction to Islamic Theology and Law,terj. Oleh Hesri Setiawan (Jakarta: INIS, 1991)

-------------------, Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy, terj. Oleh M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006)

--------------------, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971)

M.M. Al-A’zami,The History of The Quranic Text from revelation to Compilation, terj. Oleh Anis Malik Toha dkk (Jakarta: Gema Insani, 2005)

---------------------,Study in Early Hadits Literature, terj. Ali Mustofa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)

Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: McMillan publishing Company, 1993, vol. 5 dan 6)

Abdul Mustaqim, “Studi Tentang Mazhab Tafsir” dalam http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com, download tanggal 17 Oktober 2008

Syamsuddin Arif, “Gugatan Oeientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya di Dunia Islam” dalam Jurnal Al-Insan,( Jakarta ,Gema Insani Perss, No. 02 vol. I, 2005).

Taufik Adnan Amal, Rekosnstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FkBA, 2001)


[1] Dipresentasikan pada diskusi mata kuliah “Studi Al-Quran dan Hadis Orientalis” yang diampu oleh Dr. Nur Kholis Setiawan, MA, Selasa, 21 Oktober 2008 M.
[2] Istilah orientalisme sendiri agaknya dipopulerkan oleh Edward W Said, seorang penganut Kristen Palestina yang juga aktifis PLO (Organisasi pembebasan Palestina). Dalam bukunya yang berjudul Orientalsm ia mendefinsikan kata tersebut sebagai “suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat Eropa.Lihat Edward W Said, Orientalism, terj. Oleh Asep Hikmat (Penerbit Pustaka: bandung, 1996) hlm. 1-3. Istilah orientalisme sendiri mengalami pemaknaan yang ‘fluktiatif’ sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun para orientalisme modern sendir enggan disebut sebagai orientalis karena maknanya yang dianggap pejoratif, mereka sendiri lebih senang dipanggil sebagai islamolog karena dianggap lebih sopan dan terkesan lebih akademis. Lebih jauh dan mendalam tentang hakikat dan tujuan orientalisme, silahkan lihat Edwar W said dalam karyanya Orientalisme di atas.
[3] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971), hlm. 20.
[4] Dadi Nurhaedi “Perkembangan studi di Kalangan Orientalis” dalam Jurnal Essensia, UIN Yogyakarta Vol. 4No. 2 tahun 2003, hlm 176.
[5] Abdurrahman Badawi, Mawsu’ah al-Mustasyrikin, terj. Oleh Amroeni Drajat dengan judul Ensiklopedi Orientalis (Yogyakarta: LkiS, 2003) hlm. 128-129.
[6] ibid, hlm. 129.
[7] ibid, hlm. 130
[8] Buku ini aslinya berbahasa Jerman dengan judul Muhammedanische Studien, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh C.R. Barber S.M. Stern dengan judul Muslim Studies dan diterbitkan pertama kali tahun 1971 oleh George Allen dan Unwin LTD, London. Lihat Dadi Nurhaedi “Perkembangan…hlm. 177.
[9] ibid, hlm. 130-133.
[10] Taufik Adnan Amal, Rekosnstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FkBA, 2001) hlm. 354. Lihat juga Ignaz Goldziher dalam Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy, terj. Oleh M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006)
[11]Studi Tentang Mazhab Tafsir oleh Abdul Mustaqim dalam http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com, download tanggal 17 Oktober 2008
[12] Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law,terj. Oleh Hesri Setiawan (Jakarta: INIS, 1991) hlm. 12. Buku ini sendiri aslinya berbahasa Jerman dengan judul  Vorlesungen uber den Islam . Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul tersebut di atas oleh Andras dan Ruth Hamori yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Al-Aqidah wa al-Syariah fi Al-Islam.
[13] ibid.
[14] Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy, terj. Oleh M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006) hlm. 3-4. Buku di atas aslinya berjudul Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung yang diterjemahkan oleh oleh Ali Hasan Abd al-Qadir, menjadi Madzahib al-Tafsir Al-Islamiy (1955). Dalam tradisi Ulum al-Qur’an sendiri dikenal bahwa  al-Qur’an diturunkan dengan berbagai versi bacaan, atau yang dikenal dengan sab’at ahruf. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya:  Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:  “Jibril membacakan satu huruf, dan dia membacakan lagi sebelum aku  menyampaikan tambahan  (bacaan), maka dia pun menambahkan  kepadaku, sampai  berakhir pada tujuh huruf”.     Para ulama memang berbeda-beda dalam memakna sab’atu ahruf.   Diantara mereka ada yang mengartikan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh arti, tujuh bacaan, tujuh bentuk.  Tidakklah mengherankan jika kemudian juga muncul berbagai versi bacaan (wujuh al-qira’at) yang cukup populer dan dinisbatkan kepada imam tujuh, yaitu Abu Amir bin al-A’la, , Ibnu Kasir al-Makki,  Nafi’ bin Nu’aim, Ashim al-Asadi, Abdullah bin Amir , Hamzah bin Habib dan Ali bin Hamzah al-Kisai dimana kemudian  bacaan mereka dikenal dengan istilah qira’ah sab’ah.  Di Indonesia sendiri sejak MTQN tahun 2000 di Palu telah dimulai dilombakan Musabqah qiraa’at sab’ah sebagai uapya mensosialisasikan beragam variasi qiraat dimaksud.
[15] ibid, hlm. 9-16.
[16] ibid, hlm. 7-8. Pandangan ini sendiri sebenarnya bukanlah pandangan murni Goldziher karena dalam bukunya tersebut ia sendiri secara jelas mengutip dari Theodre Noldeke, seorang orientalis yang dianggapnya sebagai gurunya.
[17] Lihat M.M. Al-A’zami dalam bukunya The History of The Quranic Text from revelation to Compilation, terj. Oleh Anis Malik Toha dkk (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 179.
[18] QS. al-Hijr (15) : 9.
[19]  Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: 1971), hlm. 181.
[20] Menurut Sprenger, hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita bohong tetapi menarik). Lihat Syamsuddin Arif, “Gugatan Oeientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya di Dunia Islam” dalam Jurnal Al-Insan, No. 02 vol. I, 2005, hlm.10.
[21] Muir misalnya menyatakan bahwa nama Nabi Muhammad sengaja sengaja dicatut untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan. Menurutnya pula, dari 4000 hadis yang dianggap sahih oleh Bukhari, paling tidak sepruhnya harus ditolak. Lihat ibid.
[22] Syamsuddin Arif, “Gugatan Oeientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya di Dunia Islam” dalam Jurnal Al-Insan, No. 02 vol. I, 2005, hlm.10.
[23] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustofa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 3.
[24] Ignaz Goldziher, Muslim… hlm. 183.
[25] ibid, hlm. 183-184.
[26] ibid, hlm. 186.
[27] ibid.
[28] ] G.H.A. Juynboll, The Authenticity of The Traditions Literature: Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1969), hlm. 100.
[29] Ignaz Goldziher, Muslim…, hlm. 186.
[30] ibid, hlm. 182.
[31] ibid, hlm. 187-188
[32] Ali Masrur, Teori Common…hlm. 34.
[33] Ali Mustafa yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) hlm.15.
[34] Lihat Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: McMillan publishing Company, 1993, vol. 5 dan 6)  hlm. 74. Sebenarnya dalam tradisi ulum al-hadis sendiri telah dikenal istilah kritik matan (naqd al-mtn) dimana kriteria otentisitas hadis dirumuskan harus memenuhi empat (4) syarat yakni pertamadiriwayatkan dengan transmisi yang bersambung(ittishal al-sanad); kedua para musnid itu sendiri adalah orang-orang yang kredibel dan kuat ingatannya, ketiga materi atau matan hadis tidak kontradiktif  dengan Al-Quran dan Hadis lain yang sandnya lebih unggul kualitasnya, serta keempat tidak mengandung kecacatan. Hanya saja kritik matan yang diusung oleh Goldziher dan versi ulama hadis memiliki perbedaan dimana kritik Matan versi Goldziher lebih menitikberatkan kepada aspek kritik historis, sehingga tentu saja tidak menemukan titik temu diantara keduanya.Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik…hlm. 13.
[35] Abdurrahman Badawi, Mawsu’ah …. hlm. 131.
[36] Ignaz Goldziher, Muslim…, hlm. 44-45.
[37] M.M. Al-A’zami, Study …. hlm. 609-610.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: STUDI Al-QURAN DAN HADIS ORIENTALIS
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/04/studi-al-quran-dan-hadis-orientalis.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
3 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

3 komentar:

Sentra Edukasi dan Informasi mengatakan...

wah bagus banget artikel ini.. sangat bermanfaat :)

Unknown mengatakan...

syukron gan.... mksh udh mmpirr....

Unknown mengatakan...

sangat bermanfaat gan..
dapat ilmu bnayakd disini

Posting Komentar

Komentar yang tidak sesuai dengan syarat di bawah ini akan dihapus, Demi kenyamanan kita bersama :

1. Menggunakan bahasa tidak beretika (Sara, Pornografi, Menyinggung)
2. Komentar menautkan link secara langsung
3. Komentar tidak berkaitan dengan artikel
4. Komentar Scam (Promosi Link)

Original design by Bamz | Copyright of Coretan Mahasiswa Kampung.

Pengikut

Recent Comment