-->

AKHLAK DA’I MENURUT AL-QURAN

Posted by Unknown Jumat, 01 Februari 2013 0 komentar


AKHLAK DA’I MENURUT AL-QURAN
(Studi Atas Surah As-Shaf Ayat 2-3 Menurut Perspektif Mufassir)
Oleh:*Harles Anwar, Sahidul Muslipin

ABSTRAK

Landasan pemikiran dalam tulisan ini adalah akhlak. Akhlak menempati posisi penting dalam kehidupan baik individu, masyarakat, maupun bangsa terlebih bagi seorang juru dakwah yang selalu berinteraksi dengan khalayak dalam mengemban dan menyampaikan amanah yang suci dari Tuhan. Eksistensi akhlak dalam berdakwah yang mengharuskan adanya komitmen pada setiap perkataan dan perbuatan dipandang begitu berat dan membebani dalam mengaplikasikannya. Itulah yang banyak menimbulkan persepsi tentang esensi dakwah, bahwa signifikansi dakwah bukan hanya sebatas mensucikan fitrah manusia ke jalan Tuhannya melainkan juga mengandung pesan moral dan kesucian akhlaknya yang mesti dipertanggungjawabkan. Karenanya, profesi berdakwah tak jarang ditinggalkan, dengan berlandaskan al-Quran surah as-Shaf ayat 2-3.
Pada penelitian ini terlihat bahwa, pilar utama akhlak da’i dalam berdakwah yaitu berakhlakul karimah sebagai pondasi utama dalam menanamkan nilai-nilai kepercayaan. Kemudian dipertegas dalam aplikasinya dengan menumbuhkan sifat siddiq. Kandungan surah dalam penelitian  ini selain menekankan pada sifat kejujuran dan kecaman yang bersifat qhatti bagi mereka yang tidak konsisten antara perkataan dan perbuatan dengan balasan berupa kemurkaan yang amat baginya. Selain itu, pada ayat 3 juga mempunyai dua tujuan pokok, yang sangat jelas disamping isyarat lain:
Pertama, adalah menetapkan dalam jiwa setiap muslim bahwa ajaran agamanya merupakan sistem hidup yang terakhir yang sesuai dengan perkembangan dalam sejarah kemanusiaan, mengatasi semua agama yang ada dipentas bumi ini dan penutup bagi seluruh agama.
Kedua, adalah mendorong bagi setiap muslim untuk memantapkan niat guna berjihad dalam menegakkan agama-Nya dengan ketegaran tanpa adanya kebimbangan antara ucapan dan tindakan.


Kata kunci: Akhlak, Da’i, Al-Quran.

A.    PENDAHULUAN
Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan dakwah. Oleh karena itu, kemunduran dan kemajuan umat Islam sangat berkaitan erat dengan kegiatan dakwah. al-Quran mengungkapkan orang yang berdakwah dengan sebutan khairu ummah, sebaik-baik umat (QS. 3:110). Demikian pula, Allah memberikan sanjungan kepada orang yang selalu menyeru dan mengajak ke jalan-Nya dengan sebutan ahsanu qaulan artinya sebaik-baik ucapan. Menurut M. Quraish Shihab, ungkapan ahsanu qaulan tersebut hanyalah tertuju bagi kaum beriman yang konsisten, lagi pula berupaya membimbing pihak lain agar menjadi manusia-manusia muslim yang taat dan patuh kepada Allah. (M. Quraish Shihab, 2002)
Tidaklah ada perkataan yang lebih baik melainkan perkataan yang berisi dakwah, berisi seruan yang menginsafkan umat agar berjalan di atas jalan yang telah digariskan oleh Allah, dan akan lebih baik lagi kalau perkataannya diiringi dengan amalan yang shalih, perbuatan yang baik, jasa yang ikhlas serta bermanfaat untuk sesama anak Adam. Namun demikian, dalam melaksanakan tugas mulia tersebut sering kali para aktifis dakwah harus berhadapan dengan keangkuhan, kekerasan  dan kemunafikan manusia. Rintangan bahkan teror merupakan bagian kendala yang harus dihadapi.
Rintangan berdakwah tidak hanya berhadapan dengan orang-orang yang diluar jalur akidah saja, tetapi juga berhadapan dengan permasalahan-permasalahan intern yang lebih rumit dan krusial seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan serta masalah-masalah yang menyangkut pemahaman-pemahaman sikap, moral terlebih lagi tentang etika. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor baik eksternal maupun internal. Faktor eksternal di antaranya adalah kemajemukan masyarakat yang didakwahi terdiri dari beberapa agama dan karakter. Inilah yang menyebabkan kekurangsiapan mereka untuk menerima apa yang didakwahkan. Sedangkan faktor internal disebabkan oleh penghakiman-penghakiman aktifis dakwah itu sendiri yang kurang memahami tentang etika, baik etika yang berlaku dalam tatanan sosial masyarakat luas yang meliputi adat, budaya, agama, terlebih lagi etika dalam berdakwah (etika dakwah), yaitu etika seorang da’i dalam fungsi dan peranannya bagi masyarakat yang diberi dakwah.
Etika merupakan cerminan lahir yang menggambarkan batin seseorang. Oleh karenanya, penyebab terakhir itulah merupakan masalah fundamental baik secara individu maupun kelompok yang harus diperhatikan, ditanam dan diaplikasikan guna keberlangsungan aktivitas dakwahnya. Melihat dari konteks inilah, seorang juru dakwah diharapkan mampu berperilaku dan bertindak bagaimana mestinya dia memposisikan dirinya di lingkungan yang majemuk, juga berusaha memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”  yang secara harfiah berarti kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan sebuah perilaku, yaitu moral atau etika.
Al-Quran merupakan kitab dakwah, di dalamnya menerangkan segala yang diperlukan oleh manusia termasuk etika dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, etika menjadi faktor penting dalam proses penyampaian dakwah. Sebab, etika adalah standar nilai yang dijadikan acuan dalam bersikap dan berperilaku. Secara sederhana orang yang tidak memahami dan mematuhi aturan yang berlaku di suatu komunitas masyarakat, maka dinilai tidak mempunyai etika dalam tindak tanduknya. Sebaliknya orang yang senantiasa tunduk kepada norma yang berlaku di suatu masyarakat dapat dikatakan orang yang mempunyai etika.
Pelanggaran terhadap etika yang berlaku bukan hanya akan merugikan seseorang yang melakukan perbuatan, tetapi juga akan membahayakan atau merugikan orang lain, baik individu maupun kelompok. Di samping itu, pelanggaran terhadap etika juga akan menghambat kelancaran tugas mereka (juru dakwah) dan akan menggagalkan misi dan fungsinya di tengah masyarakat. Lebih dari pada itu, pelanggaran tehadap etika bisa mengakibatkan kerugian yang sangat besar serta mengundang bahaya di tengah masyarakat.
M. Yatimin Abdullah, mengatakan; “Sukses tidaknya suatu bangsa mencapai tujuan hidupnya tergantung atas concern tidaknya bangsa itu terhadap nilai-nilai etika yang baik. Jika concern terhadap etika, maka bangsa itu akan sukses, sebaliknya jika dia mengabaikan etika, maka bangsa itu akan hancur” (M. Yatimin Abdullah, 2006).
Dalam syari’at Islam konsep dasar etika dijelaskan pada surah al-Ahzab ayat 33 dan surah al-Qalam ayat 68 sebagai berikut:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS al-Ahzab [21]:33).
“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. al-Qalam [4]:68).
Dari penjelasan  tersebut di atas mengenai konsep dasar etika dapat dipahami bahwa, etika dalam ranah sosial bermasyarakat (civil society) adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia, mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang berbentuk perbuatan.  Dalam Islam istilah etika tersebut masuk dalam kategori akhlak.
Oleh karena itu, seorang juru dakwah sudah semestinya memiliki sifat-sifat yang mencerminkan nilai-nilai atau akhlak yang baik dan luhur dalam menyampaikan dakwahnya. Mengingat objek dakwah (mad’u) biasanya lebih terkesan terhadap perilaku (akhlak) yang ditampilkan daripada materi yang disampaikan. Itulah sebabnya harga diri seseorang bukan ditentukan oleh kepandaiannya menyusun kata, merangkai materi maupun ketinggian inteleknya, akan tetapi yang lebih diperhatikan adalah tentang sosial dan akhlaknya (M. Yatimin Abdullah, 2006), yaitu  penerapan dan pengamalannya terhadap apa yang telah disampaikannya.
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Shuyuti dalam tafsirnya Jalalain, menjelaskan bahwa orang yang hanya pandai berkata-kata tetapi tidak mengamalkan terhadap apa yang telah diucapkannya seperti tuntutan untuk berjihad (berperang) di jalan Allah tetapi mereka berpaling dan melarikan diri setelah perintah itu datang, maka kemurkaan Tuhan yang amat baginya. (Imam Jalaluddin as-Suyuthi, h. 457)
Dalam  pernyataan tersebut diungkapkan dengan kata qabura maqtan, yang terdapat di surah as-Shaf ayat ke-3
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ (٣)

Artinya:           Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Seperti yang telah dijelaskan dalam firman Allah di atas, maka ayat tersebut sering dijadikan sebagai landasan untuk meninggalkan berdakwah atau alasan untuk melepaskan diri dari kewajiban berdakwah dengan sanggahan takut tidak komitmen dengan apa yang telah disampaikan, akhlaknya tidak mencerminkan sebagai seorang da’i atau berat mengaplikasikan nilai-nilai akhlaknya sebagai da’i.
B.     TAFSIRAN QURAN SURAH AS-SHAF AYAT 2-3
1.      Kandungan Ayat
Mayoritas ahli tafsir mengungkapkan mengenai kandungan al-Quran surah ash-Shaf ayat 2-3 yaitu mengandung makna celaan dan kecaman. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya Jami al-Bayan an Ta’wil Ayi al-Quran menyatakan bahwa ayat ini turun sebagai kecaman Allah terhadap sebagian kaum mukmin yang ingin sekali mengetahui amalan yang terbaik, kemudian Allah memberitahu mereka amalan-amalan tersebut. Ketika mereka mengetahuinya, ternyata mereka tidak melaksanakannya. Akibatnya, mereka dicela dan dikecam melalui ayat ini.
M. Quraish Shihab menukil dari pendapat Sayyid Quthub mengenai kandungan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa di dalam ayat tersebut terlihat penyatuan akhlak pribadi dengan kebutuhan masyarakat di bawah naungan kaidah keagamaan. Ayat ke 2-3 mengandung sanki dari Allah SWT serta kecaman terhadap orang beriman yang mengucapkan apa yang mereka tidak kerjakan. (M. Quraish Shihab, 2002)
Selain mengandung kecaman yang sangat keras, surah ini juga mempunyai dua tujuan pokok yang sangat jelas disamping beberapa isyarat lain yang dapat dikembalikan kepada kedua tujuan pokok itu. Tujuan pertama adalah menetapkan dalam jiwa setiap muslim bahwa ajaran agamanya merupakan sistem hidup yang terakhir yang ditetapkan oleh Allah SWT. Sebelumnya telah hadir bentuk-bentuk lain yang sesuai dengan perkembangan tertentu dalam sejarah kemanusiaan dan telah didahului pula oleh pengalaman dalam kehidupan para rasul dan masyarakat, yang kesemuanya merupakan pengantar bagi bentuk terakhir dari satu-satunya agama yang dikehendaki Allah untuk menjadi penutup agama-agama dan yang dikehendaki-Nya pula untuk mengatasi semua agama di pentas bumi ini.
Atas dasar tujuan pertama di atas demikian jelas, lahir tujuan yang kedua, karena perasaan seorang muslim tentang hakikat tersebut dan pengetahuannya tentang kisah akidah ilahiah itu dan peranannya di pentas bumi ini mendorongnya untuk memantapkan niat untuk berjihad dalam memenangkan agama ini sebagaimana yang dikehendaki Allah, serta tidak berada dalam kebimbangan antara ucapan dan tindakan. (M. Quraish Shihab, 2002)
Surah ini menegaskan kepada kaum muslimin bahwa agama Allah adalah Islam dan agama Islam itu pasti memperoleh kemenangan atas semua agama. Surah ini pula membentangkan jalan petunjuk yang menyampaikan kita kepada kesejahteraan (kebahagiaan) dunia dan akhirat serta melepaskan kita dari azab, yaitu: iman murni dan jihad di jalan Allah. (Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, 2000)
Para ulama tafsir telah sepakat menyatakan bahwa ayat kedua surah ini merupakan kecaman bagi kaum muslimin. Ayat ini turun setelah adanya perbincangan yang telah disebutkan di atas. Surah as-Shaf  dikenal namanya sejak masa Nabi Muhammad SAW, dan nama itu tercantum dalam sekian banyak kitab hadits, seperti Shahih al-Bukhari. Nama tersebut di ambil dari lafaz “shaff” yang terdapat pada ayat yang keempat.  Sebagian ulama menyebutnya juga sebagai surah “Isa” karena nama tersebut disebutkan dalam surah ini sebanyak dua kali, yakni pada ayat keenam dan keempat belas dan ada juga yang menamainya surah “al-Hawariyyun” (teman-teman setia Nabi Isa as.). (M. Quraish Shihab, 2002)
Pada surah ini, disebutkan risalah Musa as. yang diganggu oleh kaumnya dan menyimpang dari risalah yang telah dibawakan sehingga mereka tidak wajar lagi dipercaya untuk menegakkan agama Allah di bumi ini. Di surah ini juga diuraikan risalah Nabi Isa as. yang ajarannya merupakan kelanjutan dari ajaran Musa as., yang selanjutnya sebagai pembuka jalan bagi kehadiran tuntutan Illahi yang terakhir dengan menyampaikan berita gembira tentang kehadiran Rasul yang akan membawa risalah terakhir.
Al-Biqa’i secara singkat menyatakan bahwa tujuan utama surah ini adalah mendorong agar bersungguh-sungguh dan secara sempurana untuk bersatu dalam satu hati guna berjihad menghadapi mereka yang dalam surah al-Mumtahanah (surah yang terdahulu) diperintahkan agar setiap muslim melepaskan diri darinya, berjihad mengajak mereka menganut agama yang benar, serta melumpuhkan mereka sebagai upaya penyucian Allah dari kemusyrikan. Oleh karena itu, jelas sekali dari namanya as-shaf.
Surah as-Shaf merupakan surah yang ke – 108 dari segi perurutan surah dalam al-Quran. Surah ini turun setelah surah at-Taghabun dan sebelum surah al-Fath, diturunkan setelah peristiwa perang uhud yang terjadi pada tahun ke 3 Hijriah, jumlah ayat-ayatnya sebanyak 14 ayat. 
Setelah melontarkan  lafaz kebencian, yaitu kecaman terhadap orang muslim yang tidak konsisten antara perbuatannya dengan perkataannya, kemudian Allah mengungkapkan sesuatu yang amat disukai-Nya dengan menyatakan “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya”, yakni berjuang dalam konteks untuk menegakkan agama-Nya di bawah naungan syari’at  dalam bentuk satu barisan yang kokoh, berkait-kait dan menyatu jiwanya lagi penuh disiplin seolah-olah bagaikan suatu bangunan yang tersusun rapi.
Adapun tujuan utama ayat ini menurut Thahir ibn Asyur adalah peringatan jangan sampai mengingkari janji dan keharusan melaksanakan tuntutan agama serta anjuran untuk berjihad fi sabilillah, tidak goyah dan berusaha meneladani al-Hawariyyun (teman-teman Nabi Isa as).
Dari beberapa pendapat para mufassir di atas mengenai kandungan ayat ini (ash-Shaf 2-3) ialah tuntutan bagi seorang muslim untuk melaksanakan perintah agama yang terkonsep dalam bentuk jihad, selanjutnya mengenai celaan dan kecaman. Celaan bagi kaum yang tidak konsisten terhadap apa yang telah diucapkannya dan kecaman bagi kaum karena lari atau enggan melaksanakan terhadap apa yang telah di katakannya.
Para mufassir telah sepakat mengenai celaan dan kecaman yang terkandung dalam ayat tersebut. Hanya saja, sebagian mufassir berbeda dalam memahaminya. Sebagian ada yang memahaminya sebagai kecaman kepada orang-orang munafik, bukan kepada orang-orang mukmin. Hal itu dilihat karena sifat orang-orang mukmin sedemikian tinggi sehingga mereka tidak perlu dikecam. 
Penjelasan para mufassir mengenai kandungan tersebut  menggambarkan sisi pokok dari kepribadian seorang muslim, yakni kebenaran dan istiqomah konsisten serta kelurusan sikap dan bahwa batinnya sama dengan lahirnya, pengamalannya sesuai dengan ucapannya secara mutlak dan dalam batas yang sudah ditentukan sebagai fitrah sesuai dengan fungsi dan kemampuannya. Jika peranannya dalam hal ini sebagai seorang da’i maka semestinya bertindak dan berprilaku sesuai dengan apa yang telah disampaikannya.
Dalam ayat di atas tampak bahwa kecaman yang terkandung sangat besar dan memberatkan. Isyarat tersebut terlihat dari pengulangan huruf taukit yang terkumpul dalam satu lafaz. Oleh karenanya secara garis besar ayat tersebut memberikan pengertian dan pendidikan khusus bagi orang yang berkifrah menyampaikan risalah ilahiah agar selalu istiqomah dan konsisten yang tinggi terhadap apa yang telah disampaikannya.
2.      Sebab Turunnya Ayat
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai masa turunnya ayat ini (ash-Shaf 2-3). Namun, mayoritas ulama tafsir sependapat ayat ini turun setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Ulama juga berbeda pendapat mengenai cara turun ayat-ayatnya, apakah semua ayatnya turun bersama-sama secara berurutan sekaligus atau dalam waktu yang berbeda-beda.
Imam at-Tirmizi dan al-Hakim meriwayatkan dari Abdullah bin Salam bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sahabat Nabi SAW yang berbincang-bincang dan berkata: “Sekiranya saja kita mengetahui amalan yang paling disukai oleh Allah, tentu kita akan mengamalkannya”. Allah lalu menurunkan ayat ini. (Imam Jalaluddin as-Suyuthi, 2008)
Sebagian lagi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada seorang lelaki yang tidak melakukan apapun dalam hal menebaskan pedang, mencela atau membunuh saat terjadi peperangan. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Qurthubi;
أنزل الله هدا فى الرجل يقول ما لم يفعله من الضرب و الطعن و القتل
“Allah turunkan ayat ini kepada seorang lelaki yang tidak melakukan apapun dalam hal menebaskan pedang, mencela atau membunuh saat terjadi peperangan”, Allah kemudian berfirman,
  كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ  
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (al-Thabari, Jilid 14)
3.      Munasabah Surah
Surah terdahulu sebelum surah as-Shaf adalah surah al-Mumtahanah. Dalam surah al-mumtahanah disinggung tentang suri tauladan yang baik sebagai contoh bagi orang-orang yang beriman agar selalu menampilkan sifat kedisiplinan, seperti ketika menghadapi orang-orang kafir, memelihara diri agar tidak bergaul dengan orang-orang yang ingkar dengan menyampaikan berita tentang kedatangan seorang rasul (Muhammad SAW). Ayat ini diakhiri dengan penyucian Allah SWT dari siapa yang membangkang perintah-Nya. Penyucian dalam bentuk berpaling dan berlepas diri dari-Nya, meneladani manusia-manusia dengan seluruh totalitasnya sebagai sebab dari sikap bahwa semua wujud bertasbih mensucikan Allah.
Hubungan surah ini dengan surah as-Shaf antara lain bahwa, pada surah al-Mumtahanah Allah melarang orang-orang muslim mengadakan hubungan persahabatan dengan orang-orang kafir menebarkan permusuhan. Sedangkan di surah as-Shaf menguatkannya dengan menganjurkan agar berjihad di jalan Allah.
Adapun surah setelah surah as-Shaf adalah surah al-Jumu’ah. Tema utama Surah al-Jumu’ah menurut banyak ulama ialah peringatan tentang pentingnya shalat jum’at dan perlunya meninggalkan semua aktivitas jika waktunya telah tiba. Hubungan surah ini (al-Jumu’ah) dengan surah pada topik pembahasan dalam penelitian ini ialah bahwa di awal ayatnya (al-Jumu’ah), sama-sama dalam konteks pen-tasybihan (pensucian kepada zat pencipta), kemudian dari kandungan surah tersebut juga menyinggung tentang kesatuan barisan (shaf). Sebagaimana diungkapkan oleh al-Biqa’i yang dinukil oleh Quraisy Shihab dalam tafsirnya al-Misbah,
“Tema utama surah ini, bahwa ia menjelaskan apa yang dinamai shaf (kesatuan barisan) karena ia adalah syari’at agama yang paling jelas dan tali Islam yang paling kokoh dan itulah jum’at yang nama surah ini menjelaskan tentang maksudnya dengan adanya kewajiban berkumpul serta keharusan tampil bersegera kesana meninggalkan segala sesuatu lainnya”. (M. Quraish Shihab, 2002)

Oleh karenanya, Sayyid Quthub berpendapat bahwa surah al-Jumu’ah turun setelah surah as-Shaf, dengan menjadikan tema utamanya adalah tema utama surah as-Shaf, walaupun dari sisi, gaya dan perangsang-perangsang yang berbeda.
4.      Munasabah Ayat
Ayat setelah ayat 2-3 ialah berbicara tentang orang-orang yang dicintai Allah, yaitu mereka yang senantiasa berjuang (jihad) di jalan Allah dengan bershaf-shaf. Hubungan ayat tersebut dengan ayat dalam pembahasan ini antara lain setelah Allah melontarkan kecamannya bagi orang-orang yang berdusta pada perkataan dan perbuatannya, kemudian mereka dituntut agar bersikap komitmen yaitu berjihad di jalannya. Korelasi antar ayat tersebut dapat pula dipahami bahwa lahirnya kecaman berupa kemurkaan merupakan manifestasi dari jihad itu sendiri yang dalam hal ini adalah berdakwah. Karena jika dakwah hanya sekedar disampaikan namun tidak untuk diamalkan maka bukan kebaikan yang akan didapat melainkan keraguan dari khalayah dan kemurkaan dari Allah. 
Dikatakan bahwa akhir ayat yang lalu berbicara tentang orang-orang yang dimurkai Allah, yaitu orang-orang Yahudi yang sering kali mensifati Allah dengan sifat-sifat yang buruk, seperti mengatakan “tangan-Nya terbelenggu”, padahal “tangan-Nya” selalu terbuka lebar menganugrahkan aneka anugerah yang banyak. Mereka juga mengatakan bahwa “Allah membutuhkan sesuatu”, sementara mereka adalah orang-orang kaya yang tidak membutuhkan sesuatu (QS. al-Maidah [5]: 64] dan QS. Ali-Imran [3]: 181).  Oleh karena di ayat yang terdahalu banyak pengingkaran, maka di ayat ini dimulai dengan penyucian Allah untuk menampik sikap buruk orang-orang yang dimurkai Allah itu sambil mengingatkan bahwa seluruh wujud menyucikan Allah SWT. Dengan demikian ayat ini memulai uraiannya dengan mengingatkan agar orang-orang yang menyimpang dari sistem yang berlaku kembali kepada syariat yang benar dari Allah, mengakui keagungan dan kebesaran-Nya, hanya Dia-lah saja yang Maha perkasa yang tidak dapat ditampik ketentuan-Nya, Maha bijaksana dalam segala ketetapan-Nya.
C.    KANDUNGAN QURAN SURAH AS-SHAF AYAT 2-3 TENTANG AKHLAK DA'I

1.      Dimensi Akhlak
Tafsiran surah as-Shaf ayat 2-3 adalah menyangkut tentang akhlak. Pernyataan itu dilihat baik dari segi makna maupun lapaz yang digunakan para mufassir dalam mendeskripsikan ayat tersebut. Imam ath-Thabari menjelaskan tentang konteks akhlak pada ayat tersebut antara lain;
قوله (لم تقولون ما لا تفعلون) قال : بلغنى أنها كانت فى الجهاد, كان الرجل يقول : قاتلت و فعلت, ولم يكن فعل. فوعظهم الله فى دلك أشد الموعظة.    
firman Allah, “Kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan”?. Dia berkata, telah sampai berita kepadaku bahwa itu dalam urusan jihad, ada seseorang yang berkata, ‘Aku telah berperang dan berbuat begini dan begitu’, padahal dia belum pernah melakukannya. Allah lalu memberi mereka pelajaran yang cukup keras kepada mereka”. (al-Thabari, Jilid 14)

Istilah akhlak terkandung pada pernyataan قاتلت و فعلت, ولم يكن فعل yaitu, seseorang berkata bahwa dia telah berperang, serta melakukan ini dan itu padahal dia tidak melaksanakannya. Pada redaksi ini terlihat tentang sudut pandang dialek yang mengarah pada komitmen pada moralitas yang berorientasi pada akhlak. Karena itu pengakuan seseorang yang mengatakan telah berperang serta melakukan tugasnya dalam peperangan padahal dia sama sekali tidak melaksanakannya merupakan akhlak yang tercela.
Penjelasan para mufassir di atas, tentang akhlak da’i tersebut dapat pula dipahami dari sudut pembenaran antara ucapan dan perbuatan. Hal itu dilihat antara kalimat يقول dan فعلت yang mengharuskan adanya usaha untuk melahirkan sifat yang selaras. Dalam garis besarnya, akhlak dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian, pertama akhlak terhadap sang Khalik (Pencipta). Akhlak dalam kategori ini dapat dijelaskan dan dikembangkan oleh ilmu tasawuf dan tarekat-tarekat, kedua akhlak terhadap sesama makhluk.
Akhlak terhadap sesama makhluk dapat dibedakan pada beberapa bagian antara lain,
Pertama, akhlak terhadap Rasulullah, yaitu mencintai Rasulullah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya dan meninggalkan yang dilarangnya, menjadikan sebagai suri teladan dalam hidup dan kehidupan.
Kedua, akhlak terhadap diri sendiri, yaitu memelihara kesucian diri, memperindah diri dengan landasan syari’at, jujur dalam perkataan dan perbuatan, ikhlas, sabar, rendah hati, memelihara diri dari perbuatan jahat, menjauhi dengki, dendam dan berlaku adil terhadap diri sendiri.
Ketiga, Akhlak kepada orang tua, yaitu mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya, merendahkan diri kepada keduanya diringi perasaan kasih saying, berkomunikasi dengan khidmat, lemah lembut dalam perkataan, berbakti dan mendo’akan.
Keempat, akhlak terhadap masyarakat, yaitu menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, saling menolong dalam melakukan kebajikan, menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah dari perilaku munkar, menunaikan amanah dengan melaksanakan kepercayaan yang diberikan dan menepati janji.
Mencerminkan akhlak baik dan mulya dalam melaksanakan perintah dakwah memang hal yang berat dan membebani, sekalipun itu adalah aktivitas pendekatan diri (ubudiyah). Ujian dan cobaan seakan satu kesatuan yang tidak mungkin bisa dilewatkan. Sejarah telah mencatat bahwa ujian bagi penyebar agama Islam yang paling hebat adalah para nabi, kemudian orang-orang shaleh, para da’i (muballigh) yang menyeru dan mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah dan ikhlas dalam beribadah.
a.       Pilar Utama Da’i dalam Berdakwah adalah sebagai berikut:
1)      Berakhlak al-karimah; Dalam mempersiapkan diri yang telah mengikrarkan untuk berjalan mengikuti manhaj para nabi (berdakwah), maka para da’i harus memperhatikan pilar utamanya sebagai modal dasar menanamkan nilai-nilai kepercayaan. Dalam hal ini (profesi sebagai juru dakwah), maka pilar utamanya ialah membekali diri dengan akhlakul karimah. Sebab, da’i/muballigh di masyarakat menjadi suri tauladan secara langsung, baik perilaku, sikap, perbuatan maupun perkataannya. (H.A. Mustofa, 1999)
2)      Menumbuhkan Sifat Shiddiq; Eksistensi surah as-Shaf terutama ayat 2-3 dapat dipahami bahwa ayat tersebut berorientasi pada sifat shiddiq. Hal tersebut terlihat dari konteks ayat yang menekankan pada kebenaran dalam perkataan dan perbuatan.
Dari penjelasan tersebut dapatlah dipahami bahwa, seorang da’i haruslah memiliki bekal cukup sebelum terjun ke umat. Mereka haruslah bisa mengakomodasikan segala permasalahan yang terjadi pada mad’u. Untuk itu, diperlukan kecerdasan, pengetahuan serta pandangan yang jauh untuk menentukan strategi dakwah dan harus dibekali dengan ilmu yang memadai. Sifat-sifat da’i di atas juga mengandung pengertian bahwa, Seorang da’i haruslah pandai dalam arti memiliki pandangan yang luas dalam merespon dan menangani peristiwa-peristiiwa yang terjadi pada umat, memiliki pandangan, firasat, sikap terhadap setiap urusan atau permasalahan. Da’i juga haruslah mampu menangkap hal-hal yang tersembunyi dibalik peristiwa, mampu mengambil manfaat dari setiap peristiwa yang terjadi.
Dakwah membutuhkan usaha ilmiah (ilmu) yang menyangkut taktik dan teknik serta strategi. Karena Islam mengingatkan kepada orang-orang yang berilmu untuk menyampaikan sebuah kebenaran, melanjutkan perjuangan para rasul. Allah swt berfirman:
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: “Supaya mereka memberikan peringatan kepada kaumnya ketika mereka kembali kepadanya, mudah-mudahan mereka dapat memlihara kepada dirinya (dari kejahatan)”. (Q.S. At-Taubah : 122)

Amar ma’ruf wa nahi mungkar tidak mungkin terlaksana tanpa andil teknologi seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Dari sini jelas bagi insan dakwah mengenai akhlak berdakwah, semuanya telah bersumber pada al-Quran yang kemudian disuri tauladani oleh Rasulullah saw. berdakwah yang Qurani ini haruslah menjadi pegangan bagi setiap juru dakwah dalam menghadapi umat manusia sesuai dengan kondisi yang dihadapinya, dengan sifat arif dan lembut dengan penuh kesabaran.
2.      Ancaman Bagi Da’i yang Tidak Konsisten antara Perkataan dan Perbuatannya

Para pakar tafsir telah sepakat bahwa konsekuensi bagi da’i yang tidak mengamalkan terhadap apa yang telah didakwahkannya akan berbuah kemurkaan dari Allah. Prof. Dr. Hamka, dalam tafsirnya al- Azhar menjelaskan tentang ayat ke 3 dari surah as-Shaf, “Amatlah dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”,  yaitu:
“Perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan sangatlah dibenci oleh Allah. Hal yang demikian tidaklah layak bagi orang yang telah mengaku beriman. Ayat ini adalah peringatan sungguh sungguh bagi orang yang telah mengaku beriman agar dia benar-benar menjaga dirinya jangan sampai menjadi pembohong”. (Hamka, 1985)

Sayyid Quthub mendefinisikan tentang makna kebencian dalam tafsirnya Fi Zhilalil Quran mengenai ayat tersebut, yaitu;
Kabura maqtan adalah “kebencian yang besar ‘di sisi Allah’ yaitu puncak dari kebencian dan pengingkaran yang paling keras. Hal itu merupakan puncak penghinaan dan celaan atas suatu urusan. Khususnya dalam nurani seorang mukmin yang dipanggil dan diseru dengan kehormatan iman, dan yang diserukan langsung oleh Tuhannya yang dia beriman kepada-Nya”. (Sayyid Quthb, 2004)

Dalam ayat ini (Quran surah as-Shaf) nampak jelas, bahwa surah ini bertujuan untuk membangun kesadaran terhadap hakikat berdakwah serta pengetahuannya tentang akidah dan jatahnya dalam mengemban amanat akidah itu di atas bumi ini, kemudian diikuti dengan kesadaran terhadap beban-beban amanat itu. Suatu kesadaran yang mendorongnya kepada kejujuran niat dalam berjihad untuk memenangkan agamanya atas seluruh agama lain di muka bumi ini, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Demikian pula agar selalu konsisten, tidak bingung dan ragu-ragu antara perkataan dan perbuatan. (Sayyid Quthb, 2004)
Dari penjelasan para pakar tafsir sebelumnya mengenai kandungan Quran surah as-Shaf ayat 2-3, dapat ditarik suatu kepastian bahwa kandungan utama/isi pokok surah ini adalah kejujuran. Surah as-Shaf turun untuk memberikan pendidikan melalui penekanan yang bersifat ancaman. Hal ini dimaksudkan untuk menanamkan sifat kejujuran, baik jujur dalam perkataan maupun benar dalam perbuatan. Pendidikan yang ditampilkan melalui konteks pembentukan akhlak dan keselarasan antara perkataan dan perbuatan dengan kebutuhan masyarakat di bawah naungan akidah keagamaan. Hal ini menggambarkan dari sosok kepribadian seorang muslim yang dilandaskan pada kejujuran dan kebenaran, kedisiplinan dan konsisten (istiqamah) serta kelurusan sikap yakni batinnya sama dengan lahirnya, ucapan sesuai dengan pengamalannya. (M. Quraish Shihab, 2002)
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari menyebutkan bahwa ada beberapa orang mukmin yang sebelum jihad diwajibkan kepada mereka, (sebagai akibat dari perkataan), mereka berkata “kami ingin sekali Allah menunjukkan amalan terbaik yang disukai-Nya sehingga kami bisa mengamalkannya”. Allah kemudian memberitahukan Nabi-Nya bahwa amalan yang terbaik d sisi-Nya adalah iman kepada Allah tanpa keraguan di dalamnya, dan berjihad melawan orang-orang yang menentang Allah, yang menyelisihi keimanan serta tidak mengakuinya. (al-Thabari, 2009)
Dari sebab perkataan itulah Allah menurunkan ayat tentang wajibnya jihad, sebagaimana yang telah disepakati oleh kaum salafi. Dengan demikian dari pendapat para ulama tafsir di atas dapat dipahami bahwa turunnya ayat ini adalah sebagai bentuk tuntutan terhadap konsistenitas dari sebab yang dimunculkan. Karena setiap perkataan yang dilontarkan tidak selesai sampai di situ saja, tetapi ada tanggungjawab yang besar dalam mengaplikasikannya, apalagi ketika yang disampaikan tersebut menyangkut nilai-nilai syari’at yang berujung pada halal dan haram, sunnah dan bid’ah, baik dan buruk serta makruh dan mubah. Dalam merealisasikan perintah berdakwah yang mengharuskan adanya konsistensi dalam aplikasinya baik perkataan maupun perbuatan, maka peranan akhlak menjadi tolak ukur  komitmen atau tidaknya seorang da’i.
D.    PENUTUP
Dari pembahasan masalah di atas, maka dapat disimpulkan: pertama, di antara pendapat beberapa mufassir tentang orientasi akhlak dalam surah as-Shaf ayat 2-3 tersebut di atas ialah menanamkan sifat siddiq dalam setiap sikap dan tindakan, mencakup berakhlakul karimah, dengan menjunjung tinggi sikap konsisten terhadap apa yang telah didakwahkannya terhadap perilakunya, jika tidak maka sebagaimana yang Allah jelaskan di ayat tersebut di atas, bukan nilai positif (pahala) yang didapatkan, melainkan kemurkaan yang amat besar di sisi Tuhannya. Kedua, konsekuensi bagi juru dakwah yang tidak mengamalkan terhadap apa yang telah disampaikannya yaitu berupa kemurkaan yang amat dari Tuhannya. Mengingat, setiap sesuatu yang telah di sampaikan oleh seorang da’i harus pula di pertanggungjawabkan. Jika dia berjanji harus ditepati, jika berkata dia harus jujur, dan jika dia dipercaya harus amanah. Jangan seperti orang-orang munafik.
Salah satu kemunduran dakwah Islamiyah adalah lemahnya perhatian masyarakat, para aktifis dakwah terhadap permasalahan-permasalahan akhlak dalam berdakwah. akhlak bukan hanya sebatas ajaran saja (disiplin keilmuan), namun lebih jauh berupa penyebaran agama tanpa doktrinasi mereka telah tertari ke Islam dengan landasan akhlakul karimah. Maka, atas permasalahan tersebut dipandang perlu bahwa:
1.        Akhlak da’i dalam melaksanakan perintah dakwah disini berupa etika yang secara hukum belum ada dan belum dirumuskan. Karena itu, perlu adanya konsensus bersama para praktisi dakwah sebagai pedoman dalam berdakwah. Walaupun secara hukum belum ada, namun para praktisi dakwah harus tetap berpegang teguh pada pedoman al-Quran dan hadits.
2.        akhlak da’i dalam berdakwah pula harus dipahami secara menyeluruh dan sempuna demi tercapainya keberhasilan dakwah, yaitu diterimanya materi dakwah (ajaran Islam) disemua kalangan masyarakat.
3.        Para aktivis dakwah juga hendaknya bersikap profesional dalam membangun interaksi persuasive baik melalui bahasa, seni, dan budaya dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai syari’at.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan as-Suyuthi, Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Juz II, , (tanpa tahun).

Al-Mahalli, Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Juz I, Surabaya: al-Hidayah, (tanpa tahun).

Al-Qurthubi, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar,  al-Jami li Ahkamil Qur’an, (Terj), Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, Ahmad Khatib, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009,

Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayi Qur’an, Jilid 18, Musthafa Babil Halaby, Kairo, 1954 M-1373 H.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

Imam al-Ghazali, Ihya al-Ulum al-Din, Juz 4, Kairo: Isa Babil Halaby, (tanpa tahun).

As-Suyuthi Imam Jalaluddin, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, (Terj), Tim Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008.

Al-Halabi Ahmad al-Maragi al-Babi, Tafsir al-Maragi, Jilid 10

Ar-Ra’ini, Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Kawakib ad-Dariyyah (Matnul az-Jurumiyah), Juz 2,

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Al-Maragi, (Terj.) Bahrun Abu Bakar, Semarang: CV Toha Putra, 1993 Cet. ke-2

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Al-Qur’anul Majid (An-Nuur), Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000, Jilid 5.


Sayyid Quthub, Fi Zhilalil Qur’an (Dibawah Nanungan Al-Qur’an), (Terj), As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Jilid 11

Syurbasyi, Ahmad, Qishshatul Tafsir, (Terj), Zufran Rahman, Jakarta: Kalam Mulia, 1999,


Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993, Cet. Ke-3.

Uman, Khairul dan Djaliel, Maman Abd., Ushul Fiqih II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, Cet. Ke-2

Basuni Faudah, Mahmud, Tafsir-Tafsir al-Qur’an, Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir,

Al-Farmawi, al-Hay, Abd, al-Bidayah fii al-Tafsir al-Maudhu’i, Kairo: Maktabah al-Hadharrah, 1977.

Abdullah, M. Yatimin Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, cet. ke-2.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, edisi ke-3.

Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007, cet. ke-2.

Charris Zubair, Achmad,  Kuliah Etika, Jakarta: CV. Rajawali, cet. ke-2.

Sumarno, Karimah, Kismiati EL dan Damayanti, Ninis Agustini, Filsafat dan Etika Komunikasi, Jakarta: Universitas Terbuka, 2003, cet. ke-3.

Munir Wahyu Ilaihi, Muhammad,  Manajemen Dakwah, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2006, cet. ke-1.

Syukir, Asmuni, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983, cet. ke-2.

Al-Maududi, Abul A’la, Tadzkiratud Du’atil Islam, Bandung:  Al-Ma’arif, 1984, cet. Ke-3.

M. Nasir, Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Munawwir, Achmad Warson, al-Munawwir, Edisi ke-2.

Arikunto, Suharsimi  Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik), Jakarta: PT Rieneka Cipta, 1998, cet. ke-2

Al-Aridl, Hasan, Ali,  Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1994, cet. ke-2.

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, Cet. Ke-10.

Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa, (Konsep Tazkiyatun-nafs Terpadu), (Intisari Ihya Ulumiddin), Jakarta: Robbani Press, 2002.
Ali, Atabik dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet. ke-5. (tanpa tahun)

Kamus Munjid, Lebanon: Dar El-Machreq Sarl Publishers, 1998.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: AKHLAK DA’I MENURUT AL-QURAN
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/akhlak-dai-menurut-al-quran.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang tidak sesuai dengan syarat di bawah ini akan dihapus, Demi kenyamanan kita bersama :

1. Menggunakan bahasa tidak beretika (Sara, Pornografi, Menyinggung)
2. Komentar menautkan link secara langsung
3. Komentar tidak berkaitan dengan artikel
4. Komentar Scam (Promosi Link)

Original design by Bamz | Copyright of Coretan Mahasiswa Kampung.

Pengikut

Recent Comment