ISLAM TRADITION
Jumat, 01 Februari 2013
0
komentar
ISLAM: aNTARA gREAT tRADITION DAN LITTLE
TRADITION
(Studi
dengan Pendekatan Etnohermeneutik)
Oleh: Ahmad Nawawi, MA
I.
PROLOG
Sebagai agama yang bersifat universal yang berlaku di
setiap zaman dan tempat, Islam dalam penyebarannya berhadapan dengan pluralitas
sistem nilai yang multikultural. Pada konteks ini, Islam bukanlah seperangkat
doktrin normatif religius, tetapi ia juga termanifestasikan ke dalam realitas
sosial. Islam hidup serta menjelma pada kenyataan empiris yang historis di
kehidupan umat Islam yang mengimaninya. Sebab doktrinal Islam yang memberikan
kontruksi pandangan dunia (Islamic World view) mau tidak mau vis-a-vis
dengan realitas sosial-budaya masyarakat yang telah eksis sebelum kehadiran
Islam pada suatu wilayah geografis dan lingkungan sosio-kultural tertentu.
Fakta dan realitas dikhotomis distingtif Islam, yang
mencerminkan dualitas Islam, menjadi “dua Islam” yang berbeda ini kemudian
secara bermacam-macam dirumuskan oleh berbagai para ahli. Hamka misalnya,
ketika menulis sejumlah karyanya tentang sejarah membedakan kategorisasi antara
sejarah Islam dan sejarah umat Islam. Bagi Hamka, sejarah Islam mengacu kepada
historisitas normatif doktrinal Islam. Sedangkan sejarah umat Islam dinilai
sebagai dinamika pergumulan Islam dengan realitas sosio-kultural masyarakat
pemeluknya.[1]
Perbedaan lain diperkenalkan oleh Gustave von
Grunebaum (guru besar antropologi UCLA), yang mengadopsi kerangka analisis
Robert Redfield, tentang istilah tradisi besar (great tradition) dan
tradisi kecil (little tradition). Kerangka ini kemudian dipakai von
Grunebaum untuk menjelaskan konteks Islam, ketika ia sebagai doktrinal normatif
(great tradition) dan ia ketika mengaktualisasi ke dalam realitas
sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya (little tradition).
Namun, menurut Azra, istilah tradisi kecil (little tradition) ini dalam
perkembangan diskurus kajian Islam (Islamic studies) cenderung
ditinggalkan untuk diganti dengan istilah tradisi lokal (local tradition),
guna menjelasakan Islam yang mengejawentah di dalam lingkungan masyarakat
sosial budaya lokal tertentu.[2]
Sementara itu, kerangka perbedaan selanjutnya juga
diperkenalkan oleh Marshal G.S. Hodgson guru besar sejarah di University of
Chicago. Lewat magnum opus-nya The Venture of Islam (3 jilid)
Hodgson mengklasifikasikan kategorisasi Islam menjadi tiga bagian: Islam, yaitu
doktrin normatif sebagaimana yang terdapat pada teks-teks al-Quran dan Hadis
serta teks-teks baku lainnya; Islamicate, yaitu Islam yang mengejawentah
secara historis-empiris, dan terwujud dalam berbagai kehidupan sosial budaya
pemeluknya; Islamdom,yaitu Islam yang terwujud sebagai kekuatan politik
dan kekuasaan.[3]
Menyadari adanya eksistensi kedua ranah Islam seperti
yang dikemukakan di atas persoalannya kemudian adalah; Adakah otentisitas dalam
Islam (Islam autentik/genuine)? Di manakah makna ruang eksistensial
Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh
menggelisahkan banyak orang. Jeffrey Lang, seorang muallaf Amerika, demi
menggapai otentisitas dan apa yang disebut Islam yang universal, ia pun pergi
ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih
dekat komunitas muslim dan baytullah, ia berharap dapat memperdalam
keislamannya. Lama ia menetap di sana namun akhirnya ia menyadari betapa pemikiran
Islam di negeri asalnya (Amerika) lebih cocok sesuai dari pada paham Islam yang
ditumbuh-kembangkan di Saudi Arabia yang berorientasi ke masa lalu. Di Arab
Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong untuk mengembangkan
kepribadian dan itu segera membuat imannya kehilangan daya hidup. Intelektual
muslim asal Amerika ini sebelumnya berupaya meninggalkan watak “Amerika-nya”
untuk menjadi muslim nan “sejati”.[4] Namun ia gagal, dan kegagalannya itu justru menghantarkan ia pada
suatu kesadaran baru: no escape from being an American! Bagi Lang, untuk
menjadi muslim yang baik, seseorang tidak lalu berarti berarti meninggalkan
seluruh latar budayanya. Islam tidak pernah datang pada suatu situasi vakum
kultural. Islam hadir dan hidup tidak dalam ruang dan waktu yang kosong budaya;
keduanya, agama (Islam) dan budaya, berkelindan dan saling memperkaya.
Lang pun memilih berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan
religius yang menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam
lebih dipahami sebagai entitas ajaran yang lahir dan mengikat diri dalam
sejarah. Ia bergerak menyejarah, menjadi agama, muncul sebagai sebuah kategori
sosial yang karenanya profane. Kehadirannya secara demikian merupakan
konsekuensi logis dari keputusan Tuhan untuk “menyempurnakan Islam” (Qs.
al-Mâ’idah [5]: 3).
Dalam hal ini, terlepas mengapa Allah memilih Arab sebagai locus
ajaran-Nya, namun pengambilan locus bahasa dan budaya (yang kebetulan)
Arab tersebut niscaya. Satu yang tidak bisa dibantah bahwa seluruh agama ketika
memulai proses menyejarah pada dasarnya memerlukan wadah kultural (seperti
bahasa dan budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau
sebaliknya, memiskinkan?) sehingga dapat muncul suatu kultur berciri keagamaan
atau simbol-simbol kultural tertentu dipakai guna mengekspresikan nilai-nilai
keagamaan.[5] Mengingat masyarakat tumbuh dalam bangun kultur yang beragam, maka
ekspresi suatu agama secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi juga
beragam, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, dalam hal keragaman bahasa:
substansi suatu pesan tauhid dapat saja sama tetapi simbol bahasanya berbeda.
Misalnya, sebutan untuk Allah swt. Di Jawa, Ia sering disapa dengan sebutan
“Gusti”, di Madura Allah disebut bergantian dengan nama “Pangeran” atau “Se
Kobhasah,” sementara di etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab dengan nama “Ninik
Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia disebut ta’dzim dengan nama “Ruma” atau
“Tala”.
Oleh karena itu Islam dan budaya memang tidak dapat dipisahkan
sehingga sangat logis bila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah
berwajah tunggal. Kendati terdapat ajaran baku yang diyakini sama-serupa,
tetapi di level penafsiran, tradisi dan keyakinan akan selalu dijumpai
keanekaragaman. Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran
berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat
ta’dzim pada fakta-fakta partikular masa lalu.[6] Kebanyakan mereka kemudian bangga menyebut diri kaum salafiy
(al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir di tanah Arab, ber-locus
bahasa dan budaya Arab, dan ratusan tahun pertama perkembangannya dalam kemulan
sejarah Arab, maka secara keseluruhan performa keberagamaan mereka tidak mampu
(baca: tidak mau) memisahkan antara mana yang budi-daya Arab dan mana yang
ajaran Islam. Implikasinya, (universalitas nilai) Islam yang sesungguhnya
mengatasi dimensi ruang dan waktu menjadi terbekap erat oleh batasan-batasan
ruang Arab dan waktu Arab. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab
bercadar, jenggot, atau celana di atas mata kaki, akhirnya dianggap sebagai
Islam itu sendiri, dan bukannya Islam nalar Arab.
Pada konteks ini, bagaimanakah strategi mendamaikan
ketegangan antara Islam yang hadir dalam ruang dan waktu tertentu dengan
sosio-kultural masyarakat yang memeluknya pada suatu daerah tertentu? Bagaimana
mengejawantahkan pesan substantif Islam di tengah aneka partikularitas lokal
yang berbeda dengan situasi partikular Arab masa lampau di mana Islam awal mula
muncul?
II. ANTARA ISLAM DAN LOKALITAS: Pendekatan
Etnohermeneutik
A. Problem Pembacaan
Artikulasi dan
ekspresi (umat) Islam dalam tatanan budaya dan peradaban menunjukkan karakter
yang berbeda-beda tatkala bersentuhan dengan setiap khazanah peradaban yang multikultural.
Islam pada masing-masing tempat membentuk karakter baru sesuai dengan sistem
tata nilai lokalitas bersangkutan. Apa yang umumnya disebut sebagai capaian
prestisius peradaban Islam adalah sebuah kebudayaan hibrida yang dilandasi oleh
spirit tauhid sehingga watak peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan
terbuka bagi berbagai inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang
coraknya tentu saja diametral berbeda dengan ekspresi keislaman di asal
kelahirannya, Hijaz. Demikian juga ketika menyentuh masuk ke Indonesia
(Nusantara). Islam pun berhadapan dengan aneka varian kultur lokal.
Akan tetapi,
proses-proses simbiose yang semestinya berlangsung saling memperkaya, hingga
tingkat tertentu mengalami ketegangan bahkan berbenturan. Dalam banyak hal, ini
menurut hemat saya disebabkan metode pembacaan yang digunakan masih cenderung
“medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented
approach) dan masa lalu―ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad
Pertengahan hingga terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad
Tengah itu umumnya dipegangi secara amat tawadlu’ oleh kaum muslim
“tradisional”―sementara kelompok Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan
khazanah tafsir klasik itu dan mengambil model tafsir yang lebih
kontemporer-“modern”, tragisnya justru kian terjebak pada trend
puritanis-fundamentalis. Artinya, sementara kita sudah terlanjur mengimpor
ajaran Islam Arab, untuk memahaminya pun kita menggunakan metode impor yang
dari banyak sisi tidak cukup compatible dan karenanya inadequate dengan
tuntutan-tuntutan niscaya dari pluralitas budaya lokal di Indonesia.
Untuk konteks Indonesia, seluruh aktivitas pembacaan-penghayatan atas
ajaran Islam (yang “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks suci
menghadapkan seluruh muslim Indonesia pada dua pilihan: “mengarabkan Indonesia”
atau, sebaliknya, “mengindonesikan Arab”. Trend yang berlangsung sejauh
ini dalam dinamika pemikiran Islam di Indonesia tampaknya lebih pada yang
pertama, “mengarabkan Indonesia”―tepatnya ialah pengaraban tradisi lokal atas
nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan
teks-teks begitu dominan di hadapan konteks, sehingga yang kemudian menjadi
subordinat semata-mata. Akibatnya nyaris seluruh nilai dan simbol budaya lokal
harus melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai
parameter bagi diterima-tidaknya sebagai simbol Islam. Pola baca sedemikian
jelas bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam
konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam
budaya yang saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang
berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah dan bersikap arif
terhadap lokalitas.[7]
Sayangnya,
kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal
Islam-Arab, itu menghadapi problem mendasar. Problem tersebut menunjuk pada
inadekuasi pola tafsir yang lazim berlaku di masyarakat.[8] Itu tampaknya berkaitan kuat dengan trend umum pemikiran
Islam, termasuk wacana tafsir, mutakhir. Dalam identifikasinya terhadap
kecenderungan yang semakin dominan di kalangan ulama negeri-negeri muslim kini
itu, Arkoun menyebutnya sebagai logosentrisme pemikiran keislaman.[9] Kecenderungan berpikir sedemikian menganggap bahwa kebenaran wahyu
dapat ditangkap dan dikuasai dengan cara analisis gramatikal dan makna kata
dalam teks belaka. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yang mandek, final, tanpa
alternatif. Dalam pada itu, sisi imaginaire dalam kehidupan kaum muslim
nyaris punah. Sisi ini menampak dalam tradisi rakyat, dalam budaya yang tumbuh
dari tempat asal, imajinasi sosial yang dalam sejarah berlangsung spontan, yang
memungkinkan munculnya aneka ekspresi (tak an sich keagamaan) otentik di
tengah masyarakat muslim. Oleh trend logosentrisme, semua itu kini
terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena
urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, kata Arkoun,
kian terdorong ke arah uniformitas dalam cara dan isi mereka berhubungan dengan
Allah Swt.
Di
sini, kepentingan kita ialah mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu.
Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi di tengah keinginan pembumian Islam
(pribumisasi Islam: meminjam istilah Gusdur) di Indonesia melalui proses
pembacaan-penafsiran (ulang) risalah Muhammad saw itu menarik bila menengok
hermeneutik dalam arti sebagai sebuah metode epistemologis sekaligus sebagai
suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diharapkan mampu mengantar
umat Islam yang berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya
masing-masing.
Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik pada prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis
tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya,
baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata dan bermacam variasi
historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang).[10] Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks
otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks kitab suci (sacred
scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud dengan exegesis
―atau tafsîr dalam khazanah Islam.[11]
Membawa hermeneutik ke dalam wacana tafsir di Islam dalam banyak hal
boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tak hanya dalam
disiplin ‘ulûm al-Qur’ân tapi juga ‘ulûm al-Hadîts.[12] Mengusik, karena karena tradisi pemikiran Islam klasik (juga modern)
pada umumnya menggeliat dalam bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan
konsekuensi logis dari penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap
teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, trend sakralisasi
itu juga melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-jelas sekedar
pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu
sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yang ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan
menghentak kesadaran “membaca Islam” yang terlanjur membatu berabad-abad
lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut di sini sebagai tafsir lokal membangun
paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu dan bergerak dengan kerangka
etnohermeneutik sebagai basis tolaknya.
Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks suci yang tercetak (mushhaf
al-Qur’an, misalnya) menjadi disembodied dan terdekontekstualisasi
karena segera dapat dipisahkan dari konteks aslinya. Teks-teks tertulis dengan
sendirinya menunjukkan tingginya dekontekstualisasi―sejak teks-teks tertulis
itu lepas dari pengarangnya.[14] Terdekontekstualisasinya teks, atau disebut juga intertekstualitas,
secara signifikan memberi kekuasaan yang jauh lebih menguniversal kepada
kata-kata tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yang diungkapkan dalam teks
tertulis tidak lagi terikat secara kuat dengan konteks pengarangnya, karena
makna yang ditemukan pembaca/penafsir di dalam teks pada dasarnya juga
merupakan produk atau tafsiran dari penafsir teks itu sendiri.
Teks, dalam pada itu, otonom (lihat, Gambar 1). Tidak ada lagi
dialektika antara teks dan pengarang atau antara pengarang dan penafsir via
teks, kecuali antara teks dan penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin
terjadi antara teks dan penafsir―di mana teks dapat memberi respon sejauh bila,
secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka,
makna yang muncul merupakan hasil negosiasi antara penafsir dan teks dan bukan
secara serta-merta ditemukan dalam teks itu sendiri. Dus, memahami
adalah suatu peristiwa di mana keduanya, teks dan penafsir, saling menentukan.
Alhasil, seluruh aktivitas penafsiran atas teks bersifat kreatif.
Gambar 1: Pola
Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir
Dengan demikian, anggapan yang memungkinkan terjadinya dialog aktif
dan saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal
sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―seperti digagas Dilthey[15]—adalah mustahil, sebab tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu
pula teks menjadi otonom dengan sendirinya. Karena itu, berbeda dengan Dilthey
yang menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya saat
menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru harus.
Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain mustahil juga tidak
perlu. Sebab, justru dengan dimensi historis yang dimiliki, penafsir akan
memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli
yang diletakkan pengarang ke dalam teks bikinannya, tetapi menampilkan makna
baru yang sesuai dengan kondisi kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak
interpretatif, mengutip Gadamer,[16] bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang,
melainkan sungguh-sungguh memproduksi makna (baru) yang relevan dengan konteks
kekinian penafsir.
Memproduksi makna baru dalam proses menafsirkan teks adalah suatu
kemestian, sebab orang tidak dapat menghindar dari keterkondisian historisnya (historical
situatedness), yakni faktisitas ke-ada-annya di dunia.[17] Di sinilah arti penting tradisi dan prasangka dalam proses memahami,
menafsir teks. Keduanya merupakan hal yang niscaya dalam tindakan menafsir,
sebab keduanya merefleksikan keterkondisian historis dan kultural manusia.
Proses memahami (understanding) terkondisikan oleh tradisi masa lalu dan
juga prasangka kekinian sang penafsir. Kekhususan situasi ini membuat konsep
penafsiran yang objektif dan bebas nilai menjadi problematis,[18] karena itu mustahil mengingat prasangka yang berasal dari sejarah
afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yang memfasilitasi pemahaman. Dalam
setiap aktivitas menafsir, prasangka itu pasti hadir. Orang mustahil memahami
sesuatu tanpa menghubungkannya dengan “ke-ada-an dirinya sendiri di dunia”. Tak
ada kemungkinan meta-narasi terhadap realitas yang dapat diterapkan secara
universal.
Akhirnya, adalah mustahil pembacaan-penafsiran teks menghasilkan tafsiran
(baca: “kebenaran”) yang definitif, objektif, dan univokal. Dalam menafsir,
seseorang pasti melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam
teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer,[19] adalah penafsiran yang menciptakan suatu “fusi dari
horison-horison”; penafsiran yang berlangsung secara dialogis menuju suatu
tingkat persetujuan-kesepakatan antara horison makna yang disediakan teks
(seperti yang disediakan oleh keadaan di mana teks itu diproduksi) dan yang
disediakan oleh penafsir.
Secara keseluruhan, peran penting horison (tradisi, prasangka, dan
keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan
gagasan tafsir lokal ini absah secara ontologis. Ia, di level pertama,
memungkinkan terlukarnya Islam dari aroma partikular-Arabnya (juz’iyât)
hingga yang tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya untuk
kemudian menggumulkannya dengan realitas kultural non-Arab demi terbangunnya
apa yang disebut Islam citarasa lokal.
Apa yang hendak digagas di sini sebagai pola tafsir bergaya lokal
dimulai dengan kesadaran terhadap watak eksistensi penafsir di mana horison
penafsir bersifat niscaya keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran.
Betapa pentingnya keterlibatan horison dalam menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya
dan bentuk aktualnya pada salah satu varian hermeneutik mutakhir, ethnohermeneutics.[20] Tanpa berpretensi mencari preseden di luar tradisi tafsir dunia
Islam, penyinggungan etnohermeneutik di sini dipentingkan sebagai titik tolak
pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis dari gagasan tafsir gaya lokal
yang coba dipancangkan.
Hal menarik dari etnohermeneutik adalah ciri utamanya, yakni seluruh
penerapan metode hermeneutis musti berorientasi pada receptor, penerima.
Pengalihan orientasi ini berangkat dari satu postulate bahwa tak ada
satu pun metode tafsir yang sungguh universal, yang berlaku sama cocok pada
seluruh konteks budaya di mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka,
penafsiran teks yang dilakukan pada konteks lintas-budaya, dalam kerangka
etnohermeneutik, sejauh mungkin harus menerapkan metode-metode hermeneutis
dinamis yang telah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya untuk
menafsirkan teks-teks ajaran dengan cara-cara yang paling dipahami sehingga
melahirkan produk-produk tafsiran yang paling adaptable dengan budaya receptor.
Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan
firman Tuhan dengan cara-cara yang paling dipahami dari dalam weltanschauung
masyarakat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yang
berorientasi pada penerima dengan latar budaya masing-masing yang berlainan
menjadi komitmen utama dari pengetengahan etnohermeneutik.[21] Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks
pada ruang dan waktu receptor.
Kontekstualisai yang dituntut etnohermeneutik adalah apa yang disebut
“kontektualisasi tingkat dalam” (deep level contextualization),[22] yang dengannya diharapkan menghasilkan suatu pesan kitab suci yang
digali dengan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi
tingkat-dalam tidak sekedar berkait dengan suatu produk akhir penafsiran yang
secara budaya layak, tteapi juga dengan cara-cara pencapaian produk final
tersebut yang secara budaya layak pula. Kontekstualisasi yang baik merupakan
sebuah paket menyeluruh; ia bersikap peka terhadap segenap aspek suatu
kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yang boleh jadi muncul dari
kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan
kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah
gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.
Konstruksi
Epistemologis
Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan
penitik-tolakan pada etnohermeneutik, kesan awal yang muncul dari gagasan
tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana ide
tafsir lokal hendak diarahkan—memang dapat mengundang problem. Dalam hubungan
ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd[23] dapat dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik kontemporer
memberikan tekanan kelewat besar pada peran (horison) penafsir dalam memahami,
menentukan signifikansi dan makna teks hingga kerapkali eksistensi teks
dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang lalu
mengedepan, sambungnya, ialah bahwa aktivitas penafsiran hanya menarik teks ke
horison penafsir.
Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap
memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membangun nalar
epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar[24] (lihat Gambar 2). Seluruh proses diretas dengan bertolak dari
realitas yang dialami, yang dihadapi―yang berada di “alas struktur” (fundamental
structure?). Melalui cara mengalami yang baru, kaya, dan mendalam, proses
tahap pertama dilakukan dengan merumuskan realitas dimaksud. Bagaimana
wujud hasil perumusan realitas akan sangat tergantung pada kaya-mendalam
tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan
keterlibatan atau kedekatan penafsir dengan konteks realitas sebagai syarat
mesti.
Gambar 2: Lingkar
Hermeneutik Tafsir Lokal
Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan,
tepatnya didialogkan, dengan teks-teks suci (Qur’an, hadits)―yang bertempat di
“puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini dengan pada saat yang
sama menghiraukan the world of the text, dunia teks (konteks dari
eksistensi teks). Pendialogan ini secara langsung ataupun tidak akan
menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?)
dalam hubungannya dengan realitas yang telah dirumuskan. Dari situ gerak
melingkar hermeneutis diteruskan pada tahap pelangsungan interpretasi (tafsîr,
ta’wîl) atas teks-teks yang telah terpetakan sejalan dengan konteks
kekinian dari realitas yang dirumuskan.
Pada tahap kedua tersebut, interpretasi terhadap teks-teks
terkait dilakukan dengan prosedur hermeneutis regresif-progresif.[25] Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa
lalu. Bukan untuk memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar
teks-teks suci itu, melainkan untuk menemukan mekanisme dan faktor-faktor
historis yang melatari lahirnya teks-teks tersebut dan memberinya
fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) di dalam
konteks kemasyarakatan dikaji dan maknanya dalam konteks masa lalu yang khas
dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan di dalam sebuah konteks personal
dan sosial kekinian, yakni konteks realitas yang telah dirumuskan tadi. Inilah
proses gerak progresif.
Jadi karena teks-teks suci itu merupakan bagian integral dari
identitas muslim dan aktif di dalam sistem ideologis mereka, maka ia harus
dibuat bekerja kembali agar memperoleh kembali makna kontemporer dan
kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks
sosio-historisnya dan konteks umat Islam dengan konteks realitas kekiniannya
dianggap sebagai keperluan untuk memperoleh suatu pengertian dan makna yang
sejalan dengan tuntutan-tuntutan realitas sosial kekinian penafsir (umat) itu
sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan
otomatis melahirkan cara baru memahami dan menyikapi realitas teralami secara
kreatif-responsif. Ini menandakan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas,
terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti pada setiap proses
hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yang dilangsungkan secara
keseluruhan memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) dan subjektif (konteks
realitas yang dirumuskan).[26]
Prosedur regresif-progresif pada dasarnya adalah penerapan suatu
analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis)[27] terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar 3).
Penerapan model analisis ini merupakan wujud konkrit dari pelangsungan prosedur
regresif-progresif. Karena itu ia merupakan bagian tak terberai dari proses
hermeneutis melingkar di atas.
Gambar 3: Analisis
Tekstual-Kontekstual
Proses analisis dimaksud bertolak dari kesadaran akan teks suci
(wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya pada konteks (sejarah, bagian
dari dunia teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis
timbal-balik terputus pada gambar―menandakan ada-tidaknya hubungan dialektis
pada keduanya (yakni sejarah yang terkait langsung dengan kehadiran teks, yang
terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân kurang lebih semau dengan asbâb
al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi dari dan berdasar teks maupun
konteks sejarah tersebut untuk membangun suatu kerangka teori (theoretical
framework) yang umum (general theory). Penderivasian teoretis dari
keduanya merupakan langkah pertama analisis. Di tahap inilah analisis
tekstual secara kritis dilakukan.
Selanjutnya, langkah kedua, menghadapkan kerangka teori yang
telah terbangun dengan teori sosial. Ini merupakan awal dari proses analisis
kontekstual. Teori-teori sosial yang ada dipilah dan dipilih untuk digunakan
melihat dan memahami realitas sosial (kekinian)―kemana proses kontekstualisasi
nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, dalam rangka
memahami secara kritis realitas sosial, penggunaan teori sosial diarahkan pada
penyodoran suatu hipotesis. Bertolak dari ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir
mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) untuk kemudian
berdasar bantuan teori-teori sosial terpilih merumuskan realitas kekinian
dimaksud secara baru, kaya, dan mendalam. Di sini, hasil perumusan bisa saja meneguhkan
hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.
Atas hasil pembacaan kritis terhadap realitas yang dihadapi-alami itu
seterusnya dilakukan upaya confirm kepada kerangka teoretis yang telah
disusun berdasar derivasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu lalu
dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah puncak proses
kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks hari ini (realitas
terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual
ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks
(kekinian), kembali ke teks, untuk kemudian dibumikan kembali
(dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diharapkan akan selalu ada bentuk
penyikapan realitas yang lebih baru, kaya, dan mendalam berdasar hasil
interpretasi kontekstual atas teks yang baru, kaya dan mendalam pula.
Secara keseluruhan, proses tekstual-kontekstual itu niscaya
menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam di diri dan menjadi horison
penafsir. Karena itulah peran penafsir dengan horisonnya sangatlah menentukan.
Melalui cara ini maka yang berlangsung sesungguhnya adalah dialektika dinamis
manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak
lain―suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan
bangunannya.
Di sisi lain, pola analisis sedemikian pada dasarnya tengah berupaya
menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya untuk masa
sekarang, sebagaimana teks-teks tersebut pernah relevan dan memberi arti pada
konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah dan Madinah. Dengan begitu, eksistensi
teks tidaklah terkorbankan―sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd—tetapi pada saat
berbarengan penafsir juga tidak berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks.
Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, tetapi saling memperkaya
antara teks dan penafsir. Keduanya berada dalam hubungan dialektik yang
seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya dan
teks bisa memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri.
Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal
tidak hanya memfokuskan komitmennya pada gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam
simbolik yang terikat oleh ruang-waktu historis Arab kala itu, misalnya bacaan
al-Qur’an,[28] jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh
dari itu menera ulang slogan “congkak”, shâlih li kulli zamân wa
makân, agar realistis dan manusiawi dengan jalan memetakan sekaligus
melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan
dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yang karena konteks jaman yang
berubah tidak lagi berlaku, seperti soal waris yang diskriminatif, persaksian
dan kepemimpinan perempuan, perbudakan, diskriminasi non-muslim, dan
seterusnya.
Gagasan tafsir lokal ini pada dasarnya tidak sedang bermaksud
mengusung sebuah metode tertentu. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai panduan
metodis-teknis-praktis tertentu penafsiran teks, tetapi lebih sebagai sebuah
tawaran paradigmatik,[29] sebuah paradigma pembacaan-penafsiran yang dalam banyak hal berupaya
menggeser paradigma (shifting paradigm) tafsîr klasik yang
umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran bisa model apa saja; mawdlu‘î,
tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah―
asalkan secara paradigmatik ia meniscayakan kontekstualisasi di mana teks pada
akhirnya harus diabdikan pada konteks realitas melalui gerak regresif-progresif,
sehingga hasil tafsiran mesti diproyeksikan pada kepentingan sosial-budaya receptor.
Sebegitu, tak ada kecurigaan pada akal secara berlebihan, tak ada
pendewaan teks, tak ada penafian atau apalagi penegasian horison intelektual
yang terbangun dari kearifan lokal. Paradigma yang dikembangkan mendudukkan
manusia (yang otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) sebagai
pusat. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap
konteks, sementara teks mengabdi pada konteks terumuskan itu. Karena itu tidak
boleh ada monopoli kebenaran, karena makna teks terlalu kaya untuk direduksi
menjadi satu kebenaran dan dimonopoli oleh suatu budaya dominan (Arab); Allah
swt terlalu besar untuk diwakili hanya oleh satu penafsiran belaka.
Simpulnya, sebagai sebuah paradigma, tafsir lokal adalah sebuah pola
tafsir yang melibatkan secara terutama seluruh anasir tradisi-lokal dalam
penafsiran teks-teks suci Islam (Qur’an atau hadits), termasuk dalam hal ini
kitab-kitab klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan,
misalnya, khazanah tradisi Madura untuk melahirkan Islam yang cocok bagi orang
Madura dan mereka tetap menjadi oreng Madura. Orang-orang suku Asmat
atau Dani di pedalaman Papua tetap dapat menjadi muslim yang shâlih
tanpa harus membuang koteka atau rumbai mereka dan menggantinya dengan kafiyeh
atau jilbab bercadar, sebab Islam mengurus aurat dan bukan tetek-bengek model
busana.
Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yang bernama Islam
itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya di
mana Islam mengambil tempat persemayaman memiliki potensi sendiri-sendiri untuk
mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing sebagai titik
berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan
kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya
lokal mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus terikat oleh
tuntutan penerapan yang menundukkan diri pada partikularitas Islam masa lalu;
tanpa bersandar pada sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu
bikinan para ulama klasik di mana mereka sendiri terikat oleh konteks Abad
pertengahan Hijriyah. Dengan memahami suatu kebudayaan tertentu dan bertolaka
darinya, penerapam paradigma tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang
muslim lokal untuk mengembangkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam
ke dalam kebudayaan mereka sendiri.
Setiap Muslim mestilah membangun hubungan
dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya
masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu memiliki relevansi dengan
setiap kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Arab tempat asalnya. Dan yang
lebih penting lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa
beragama memang haruslah benar-benar untuk manusia, dan bukan untuk Allah.
Bukankah tafsir dalam Islam, mengutip Machasin,[30] dimaknai dengan usaha untuk mengetahui apa yang dikehendaki Allah
sebatas “kemampuan” manusia?
III. EPILOG: Islam khas Lokal?
Demikianlah
kebenaran Islam telah terekspresikan dalam berbagai warna dan corak ungkapan
sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, adat-kebiasaan para
pemeluknya. Segala ekspresi dengan mengikuti kenisbian budaya adalah absah,
sebab nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola adat
tertentu―mengutip Ibn ‘Âsyûr, seorang ulama terkemuka Maghrib[31]—sekalipun itu adat budaya tempat dilahirkannya Rasul saw, yakni adat
Arab, tidaklah dapat dipaksakan kepada masyarakat lain dari daerah lain. Masing-masing
lingkungan budaya memiliki hak untuk mengembangkan inti kebenaran Islam menurut
bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing tetap memiliki kans
untuk memberi sumbangan kepada Islam dan peradabannya. Demikian halnya dengan
kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar untuk secara kreatif dan
produktif memberi kontribusi pada pengembangan budaya Islam.
Pergumulan
Islam dengan khazanah lokal sebenarnya niscaya, automatically. Namun ide
“pribumisasi Islam”-nya Gus Dur menjadi relevan dan tetap penting untuk terus
didesakkan karena hubungan simbiosis Islam dan budaya yang saling mengkayakan
itu dicoba-negasikan oleh kaum modernis-puritanis yang bergerak sistematis
dengan jargon “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”.[32] Akibatnya, seperti kita tahu, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan
untuk kembali menghamba pada teks, yang kuat berorientasi ke masa lalu,[33] itu dalam banyak hal telah membuat kajian Islam menjadi sangat
tekstual, hitam-putih, mandul, tidak produktif, kering, tidak kaya....
Akan tetapi, gagasan tafsir berorientasi lokal ini tidak terutama
dimaksudkan sebagai counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis”
itu. Sekedar berikhtiar menggali sebanyak mungkin kebenaran Allah yang me-latent
di teks-teks suci (Qur’an atau hadits) dengan menjadikan dunia manusia (horison
penafsir, the world of the reader) dengan latar budaya masing-masing
sebagai orientasi-proyektif utama kebenaran tersebut. Karena Allah “tidak
menggunakan busana tertentu,” maka kitalah yang (harus) memberi-Nya “busana”
menurut cara dan kecenderungan kita masing-masing mempersepsi keinginan atau
“busana” kesukaan-Nya.
Kearifan itu akan membuat kita welcomed dengan kenyataan
betapa Islam multiwajah. Betapa ketika Islam menjumpai varian-varian kultur
lokal, maka yang segera berlangsung ialah proses-proses simbiose yang
kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian di berbagai belahan, halnya juga
di Indonesia. Maka muncullah berbagai varian Islam. Ada Islam-Jawa,
Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yang
masing-masing mengetengahkan karakter berbeda satu sama lain. Begitu pula, tak
cuma Islam-Arab, tapi juga Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika,
Islam-India, dan Islam-Indonesia yang muncul dengan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.[34]
Bila begitu, dimanakah lalu “Islam yang otentik” itu? Masih adakah
(bila ini perlu) Islam yang sungguh-sungguh ala Allah swt kini? Tidak ada. Itu
kalau terma “otentik” pada “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yang
sesungguhnya,” yakni Islam yang dikehendaki Allah atau Islam yang benar-benar
menurut Rasulillah Muhammad saw. Namun bila kata otentik atau otentisitas
dimaknai sebagai “keunikan” dan “otonomi,” maka dengan segera―secara
ontologis-epistemologis—ide “Islam otentik” tersebut justru menunjuk pada apa
yang disebut sebagai Islam-lokal.[35] Dalam pengertian umum, otentik atau otentisitas bermakna menjadi
diri sendiri. Unique, tidak sama―berbeda dengan yang lain. Otonom dalam
memilih, memilah, dan menentukan bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap
kehidupan.[36] Dalam konteks masyarakat, otentisitas itu memestikan mereka
merumuskan agendanya (politik, ekonomi, dan sosial) secara bersama yang
mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai maupun
kelembagaan harus sesuai dengan dan karenanya mesti arus dibangun berdasar
kebudayaan masyarakat bersangkutan.[37] Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya sebagai kekuatan
utama dalam membentuk manusia sekaligus penemuan landasan bagi kemencukupan
otonomi dalam menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai
kehidupan.[38]
‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam –yang meminjam
istilah Al-Jabiri bernalar Arab– ke dalam suatu masyarakat lokal bukan
dalam pengertian menjadikannya sebagai kebenaran tunggal yang menjajah atau
menepikan seluruh kebenaran lokal yang selama ini “menafasi” mereka.
“Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam masyarakat lokal bukan tak mungkin hanya
akan menjerembabkan masyarakat ke dalam alienasi, keterasingan dalam (ber)
agama. Maka satu-satunya jalan tampaknya adalah menghadirkannya lebih dalam
fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono
dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, tapi saling
mengafirmasi kebenaran (aktual maupun potensial) hingga yang muncul adalah
kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yang terhayati di tengah
masyarakat adalah Islam yang dekat, yang tidak senjang, yang ramah, yang
merangkul... Sehingga jargon bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli
zamân wa makân.” Terasa lebih realistik dan membumi
Dalam konteks itulah ide tafsir berwajah lokal merebahkan niat
baiknya: menuntun pada kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah
terutama ditentukan apakah ia secara verbal-langsung berasal dari Tuhan atau tidak.
Ia bisa muncul dimana saja sebagaimana Allah juga hadir di mana saja. Allah tak
pernah melempar dadu, tapi kitalah yang mau tidak mau terus bertaruh seputar
persepsi-persepsi kita tentang kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” ungkap Mohsen
Makhmalbaf,[39] sutradara film Iran terkemuka, “laksana cermin yang diberikan Tuhan
dan kini telah pecah.” Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat
pantulan di dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka sungguh
repot, bila kemudian ada yang menggunakan pecahan kaca itu untuk―atas nama
kebenaran―menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.
Wa Allâh a’lâm bi al-Shawâb…!
REFERENSI
Abu-Zayd, Nashr Hamid. Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Liyyât al-Ta’wîl
(al-Dâr al-Baydlâ’: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1994).
_____. “A Response to the Responses of Tappeiner and Whelchel to
Ethnohermeneutics.” Journal of Asian Mission, Vol. 2, Nr. 1
(March 2000): 135-45.
_____. “Logocentrisme et Vérité Religieuse
dans la Pensée Islamique.” Studia Islamica, Nomor 35 (1972): 5-51.
_____. Pemikiran tentang Wahyu: Dari Ahl
al-Kitab sampai Masyarakat Kitab, dalam Alquran: Buku yang Menyesatkan
dan Buku yang Mencerahkan, eds. Yudhie R. Haryono dan May Rachmawatie
(Bekasi: Gugus Press, 2002): 50-83.
______.
Al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlat
al-Ta’shîl, Nahwa Târîkhin Akhar li al-Fikr al-Islâmî (London: Dâr al-Sâqî, 1999).
______. Rethinking Islam
(Washington, D.C.: Center for Contemporary Arab Studies, 1987).
______. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an. ab. Khoiron Nahdliyyin (Jogjakarta: LKiS, 2002).
Arkoun, Mohammed. Nalar Islami dan Nalar
Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. ab. Rahayu S. Hidayat (Jakarta:
INIS, 1994).
Armstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen,
dan Yahudi. ab. Satrio Wahono, et. al. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2001).
Azra, Azyumardi, dan Irwan Abdullah. “Islam dan Akomodasi Kultural”
dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, (Jakarta: PT Icthiar Baru
Van Hoeve), jilid V.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996).
Baso, Ahmad. “Pengantar Penerjemah:
Posmodernisme sebagai Kritik Islam – Kontribusi Metodologis ‘Kritik Nalar’
Muhammad Abed al-Jabiri.” dalam Muhammad Abed al-Jabiri. Post-tradisionalisme
Islam. ab. Ahmad Baso (Jogjakarta: LKiS, 2000): ix-liv.
Basyir, Ahmad Azhar. “Reaktualisasi,
Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan.” dalam Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam. ed. Iqbal AS (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988): 103-116.
Bleichert, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method,
Philosophy and Critique (London: Routledge and Kegan Paul, 1980).
Caldwell, Larry W.. “Towards the New Discipline of Ethnohermeneutics:
Questioning the Relevancy of Western Hermeneutical Methods in the Asian
Context.” Journal of Asian Mission. Vol. 1, Nr. 1 (March 1999):
21-43.
Dilthe,.Wilhelm Pattern and Meaning in History (New York: Harper
and Row, 1962).
Esack, Farid. Qur’an, Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against
Oppression (Oxford: Oneworld, 1997).
Gadamer, Hans Georg, Truth and Method
(London: Sheed & Ward, 1975).
Goldingay, John. “The Hermeneutics of Liberation Theology.” Horizon
in Biblical Theology, 11 (1989): 133-61.
King, Richard Agama, Orientalisme, dan
Poskolonialisme. ab. Agung Prihantoro (Jogjakarta: Qalam, 2001).
Kuhn, Thomas. The Structures of Scientific
Revolution (Chicago: the University of Chicago Press, 1970).
Lang, Jeffrey. Bahkan Malaikat pun Bertanya
– Membangun Sikap Islam yang Kritis (Jakarta: Serambi, 2001).
Lee, Robert D. Mencari Islam Autentik: Dari
Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun. ab. Ahmad Baiquni (Bandung:
Mizan, 2000).
Leidecker, Kurt F., “Hermeneutics,” dalam Dagobert D. Runes, Dictionary
of Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams & Co., 1976).
Machasin. “Sumbangan Hermeneutika terhadap Ilmu Tafsir.” Makalah (tidak
diterbitkan). Disampaikan dalam “FCM-3” yang diselenggarakan èLSAD Surabaya di
Jombang, 3 November 2002.
Madjid, Nurcholish. “Kata Sambutan:
Universalisme Agama dan Kenisbian Peradaban.” dalam M. Dawam Rahardjo. Ensiklopedi
Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta:
Paramadina, 1996): xxvii-xxxiii.
Mohamad, Goenawan. “Kaca.” Catatan Pinggir
4 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995): 119-21.
Ong, Walter Orality and Literacy: The
Technologizing of the World (London: Methuen, 1982).
Palmer, Richard E. Hermeneutics:
Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer
(Evanston: Northwestern University Press, 1969).
Al-Qaththân, Mannâ‘ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. ab. Mudzakir
AS (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1996).
Safi, Louay. The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in
Islamic and Western Methods of Inquiry (Selangor Darul Ehsan: International
Islamic University Press, 1996).
Streng, Frederick J.. Understanding
Religious Life (California: Dickenson Publishing Company, 1876).
Al-Suyuthi, Jalâl al-Dîn. Al-Itqân fî ‘Ulûm
al-Qur’ân. Jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.).
Tuttle, Howard Nelson. Wilhelm Dilthey’s
Philosophy of Historical Understanding (Leiden: E.J. Brill, 1969).
Wahid, Marzuki. “Politik Hukum Orde Baru:
Reduksi Agama di Balik Kompilasi Hukum Islam.” Gerbang, Edisi 02, Th. II
(April-Juni, 1999): 85-101.
[1]Baca Azyumardi Azra dan Irwan Abdullah,
“Islam dan Akomodasi Kultural” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia
Tenggara, (Jakarta: PT Icthiar Baru Van Hoeve), jilid V, hal. 27.
[2]Azra,
“Islam …, hal. 28.
[3]Azra,
“Islam …, hal. 28 .
[4]Refleksi perjalanan spiritual dan
kegelisahan intelektual Lang ini secara implisit terungkap dalam bukunya, Struggling
to Surrender and Even Angels Ask: A Journey to Islam in America. Telah
diterjemahkan, Bahkan Malaikat pun Bertanya: Membangun Sikap Islam yang
Kritis (Jakarta: Serambi, 2001).
[5]Lihat Frederick J. Streng, Understanding
Religious Life (California: Dickenson Publishing Company, 1876), 1. Streng
sendiri menyatakan bahwa untuk memahami kehidupan beragama, selain melandaskan
pada kajian teks-teks suci agama bersangkutan, harus memperhatikan tiga dimensi
penyerta, yakni dimensi personal, dimensi ultima, dan dimensi kultural. Tentang
ketiganya, ia menegaskan, “The interaction of these three dimensions of
religious phenomena, make the study of religious life a complex effort, because
it requires the interpretation of a variety of particular cultural expression
in relation to a general notion of ultimate value” (hal. 7).
[6]Fakta-fakta masa lalu itu didudukkan
sebagai rujukan kebenaran tunggal dalam berislam. Menurut Arkoun, di situlah
letak persoalan mengapa geliat pemikiran Islam nyaris tak pernah berlangsung
revolusioner. Sebab, apabila revolusi
meniscayakan pemisahan dengan masa lalu, revolusi Islam justru mengakomodasi
dan menomorsatukan masa lalu. Lihat, Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushûlî wa
Istihâlat al-Ta’shîl, Nahwa Târîkhin Akhar li al-Fikr al-Islâmî
(London: Dâr al-Sâqî, 1999), hal. 115.
[7]Sebenarnya
upaya “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Arab,
bukan tanpa preseden. Upaya-upaya rintisan telah dicoba-lakukan, misalnya,
kasus pendamaian ajaran Islam “Arab” dengan kultur lokal yang dilakukan Sunan
Kalijaga. Salah seorang Wali Sembilan penyebar Islam di tanah Jawa itu
memainkan wayang kulit (sebuah bentuk kesenian Jawa pra-Islam) sebagi medium
dakwah; atau akulturasi simbol arsitektur Islam-Arab dan Jawa pra-Islam oleh
Sunan Kudus dalam membangun masjid Menara Kudus. Namun, pilihan gaya berislam
semacam itu tidak menjadi popular. Padahal kalau trend pemikiran ini
berlanjut dan menguat besar kemungkinan umat Islam Indonesia bakal mampu
menemukan kesejatian Islamnya sendiri yang khas Indonesia sebagaimana yang
dilakukan kaum Muslim awal-awal abad Hijriyah. Upaya-upaya eksperimentasi
mutakhir mencari Islam khas Indonesia sebenarnya bukan tak pernah dicoba,
bahkan di antaranya diinisiasi dan difasilitasi negara, misalnya diterbitkannya
Inpres 1/1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Namun, itu hampir
bisa dikatakan gagal. Kegagalan tak hanya disebabkan, antara lain, oleh
kesenjangan diktum-diktum hukum yang dibangun KHI (yang cenderung Syafi’iyah
sentris; medieval-oriented) dengan heterogenitas tradisi-lokal
(keberagamaan) masyarakat, tetapi juga kegagapan pemerintah di tingkat
pemberlakuan (yang cenderung fakultatif; sebatas tawaran hukum alternatif bagi masyarakat).
Ulasan menarik seputar KHI berikut tendensi politis dibaliknya, lihat Marzuki
Wahid, “Politik Hukum Orde Baru: Reduksi Agama di Balik Kompilasi Hukum Islam,”
dalam GerbanG, Edisi 02, Th. II (April-Juni, 1999): 85-101.
[8]Dalam khazanah ‘ulûm al-Qur’ân
terdapat dua cara “baku” untuk memahami al-Qur’an, yakni tafsîr dan ta’wîl.
Sejauh ini penggunaan pola tafsîr lebih populer ketimbang ta’wîl.
Tafsîr yang dipahami sebagai suatu cara untuk mengurai bahasa, konteks,
dan pesan-pesan moral yang dikandung teks-teks ajaran mendudukkan teks sebagai
“subjek” penghampiran. Paradigma tafsîr berepistemologi bayâni
inilah yang disoal al-Jabiri dalam proyek naqd ‘aql al-‘araby-nya ―untuk
informasi antaran seputar trilogi “kritik nalar Arab” al-Jabiry ini lihat pengantar
panjang Ahmad Baso, “Pengantar Penerjemah: Posmodernisme sebagai Kritik Islam –
Kontribusi Metodologis ‘Kritik Nalar’ Muhammad Abed al-Jabiri,” dalam Muhammad
Abed al-Jabiri, Post-tradisionalisme Islam, ab. Ahmad Baso (Jogjakarta: LKiS,
2000), ix-liv. Sedang ta’wîl adalah cara memahami teks dengan
memposisikannya sebagai “objek” kajian. Tapi, pemaknaan ta’wîl begitu
tidaklah lazim dalam tradisi klasik yang cenderung menganggap ‘ulûm al-Qur’ân
telah “matang” dan “gosong” (nadhaja wa ihtaraqa). Pengertian ta’wîl
lazim menunjuk pada apa yang dikenal sebagai al-ta’wîl al-batinî, yang
agaknya equivalen dengan al-tafsîr al-isyarî. Untuk pengertian klasik
seputar tafsîr dan ta’wîl ini lihat, misalnya, Mannâ‘ Khalîl
al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân (t.t.: t.p., t.th.).
[9]Kata Arkoun, trend logosentrisme
dalam studi-studi Islam mutakhir telah menyebabkan kajian-kajian keislaman,
doktrin dan sejarahnya, mandul dan tidak produktif. Di antara ciri utama
pemikiran logosentris, selain kecenderungannya mendasarkan diri pada satu ‘ashl
yang dipancang sebagai satu-satunya kriteria absahnya kebenaran, juga
mengalihkan realitas dan fakta-fakta menjadi sebatas retorika-retorika,
permainan bahasa dan kata-kata, belaka. Realitas masa lalu di mana Islam
melalui masa “formatifnya” sebagai agama tidak lagi diperlakukan sebagai
sekumpulan fakta yang terikat oleh ruang dan waktu, tapi sebagai fiksi yang
mengatasi kedua dimensi itu. Akibatnya seluruh ajaran Islam kehilangan dimensi
historisitasnya. Lihat, Mohammed Arkoun, “Logocentrisme et Vérité Religieuse
dans la Pensée Islamique,” dalam Studia Islamica, No. 35 (1972): 5-51.
[10]Secara etimologis, hermeneutik
merujuk pada akar kata “hermeneuein” yang berarti “menafsirkan’; dalam
Inggris, “hermeneutic”; dan Yunani, hermeneutikos (penafsiran).
Pada perkembangan selanjutnya terma ini memiliki aneka pengertian. Namun
sebagai sebuah istilah, tersepakati sebagai suatu proses mengubah sesuatu atau
situasi ketidaktahuan menjadi ‘mengerti’. Konsepsi dasar hermeneutik ini
agaknya telah menjadi semacam konsensus, baik dalam pandangan modern maupun
klasik. Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern
University Press, 1969), 3. Dalam penggunaan klasik, hermeneutik mengacu
pada penafsiran teks, teristimewa teks-teks suci agama (Kristen; Alkitab).
Dalam konteks filsafat, ia bergabung dengan strukturalisme dalam kerangka
penciptaan metode penafsiran teks yang menempatkan filsafat di tengah-tengah
kebudayaan. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996), 283-4. Secara kategoris, hermeneutik terpilah pada tiga,
yakni sebagai metode, filsafat, dan sebagai kritik. Kategori pertama
memfokuskan bahasannya selaku metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (geistesswissenchaften);
kategori kedua lebih menekankan pada status ontologis ‘memahami’ itu
sendiri; sedangkan kategori terakhir, ketiga, mengarahkan penyisirannya
pada penyebab adanya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi yang berlangsung
sehari-hari. Lihat Josef Bleichert, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics
as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge and Kegan Paul,
1980), hal. 1.
[11]Selengkapnya sekitar definisi
hermeneutik ini, lihat Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics,” dalam Dagobert D.
Runes, Dictionary of Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams
& Co., 1976), 126. Bdk., Nashr Hamid Abu-Zayd, Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa
Liyyât al-Ta’wîl (al-Dâr al-Baydlâ’: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1994),
hal. 13.
[12]Memang―sebagaimana diidentifikasi
Machasin―dari sudut pandang tradisi keislaman ada beberapa hal yang menghalangi
perhatian kepada hermeneutik. Pertama, istilah ini berasal dari tradisi
pemikiran Barat dan banyak orang Islam yang masih alergi terhadap hal-hal yang
berbau westernisasi. Kedua, dalam Islam sendiri sudah ada tradisi
panjang ilmu tafsir yang diyakini tidak kalah dengan apa yang berkembang dalam
tradisi lain. Selain itu ada juga anggapan bahwa al-Qur’an sudah berpengertian
jelas, sehingga pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai bagaimana orang
menangkap pesan yang terkandung dalam kata-kata, kalimat-kalimat, dan
ungkapan-ungkapannya tidak lagi diperlukan. Apalagi, hermeneutik sudah
berkembang sedemikia rupa sehingga tidak hanya berkenaan dengan aturan-aturan
penafsiran, tapi juga pembicaraan mendalam tentang hakikat penangkapan pesan
atau pemaknaan teks dan ungkapan kemanusiaan lainnya. Selengkapnya, lihat
Machasin, “Sumbangan Hermeneutika terhadap Ilmu Tafsir,” makalah (tidak
diterbitkan), disampaikan dalam “FCM-3” yang diselenggarakan èLSAD Surabaya di
Jombang, 3 November 2002.
[13]Basis ontologis gagasan tafsir
pribumi di sini sedikit-banyak bertumpu pada teoretisasi hermeneutik Hans Georg
Gadamer. Dia sendiri memang menyebut gagasan hermeneutiknya lebih sebagai
sebuah risalah ontologis daripada metodologis. Lihat Richard King, Agama,
Orientalisme, dan Poskolonialisme, ab. Agung Prihantoro (Jogjakarta: Qalam,
2001), hal. 138. Bagi Gadamer, situasi hermeneutik merupakan starting point
ontologis dari seluruh prilaku dan pemikiran manusia yang memperluas konsepsi
tradisional hermeneutik sebagai metodologi penafsiran biblikal atau metodologi
analisis filologis dan tekstual umumnya. Lihat, Palmer, Hermeneutics...,
hal. 33, 42.
[14]Lihat Walter Ong, Orality and Literacy:
The Technologizing of the World (London: Methuen, 1982), hal. 103.
[15]Selengkapnya, lihat Howard Nelson
Tuttle, Wilhelm Dilthey’s Philosophy of Historical Understanding
(Leiden: E.J. Brill, 1969). Atau telusuri langsung, Wilhelm Dilthey, Pattern
and Meaning in History (New York: Harper and Row, 1962).
[16]Lihat Hans Georg Gadamer, Truth
and Method (London: Sheed & Ward, 1975), hal. 264.
[17]Karena itu, kata Gadamer, hermeneutik
bukanlah sebuah metodologi, melainkan suatu masalah mengenai watak eksistensi itu
sendiri ―karenanya bersifat ontologis. Lihat, King, Agama..., hal. 138.
[18]Mengikuti Gadamer, konsep hermeneutik
sedemikian menolak setiap klaim yang memandang mungkin adanya pendekatan yang
“objektif” dan “netral,” yang terbebas dari bias emosional, afektif dan interest
pribadi. Pengetahuan, menurutnya, merupakan akibat belaka yang secara historis
terkondisikan oleh faktor-faktor sosio-kultural. Lihat King, Agama...,
hal. 138.
[19]King, Agama..., hal. 143.
[20]Sebagai sebuah pola paradigmatik
penafsiran Injil, kemunculan etnohermeneutik sendiri bermula dari kegelisahan
sementara sarjana (penginjil) Kristen yang gelisah setelah melihat kenyataan
betapa keanekaragaman kultural di berbagai belahan dunia mematahkan kemapanan
berabad paradigma dan metodologi hermeneutis klasik penafsiran Injil. Pada
akhirnya mereka menyadari tidak hanya perlu mengkaji ulang adekuasi metodologis
dari metode-metode hermeneutik kawak selama ini, tetapi juga menggugah
perlunya dicari suatu metode hermeneutik yang adekuat dan compatible dalam
situasi masyarakat multikultur. Di tengah kebuntuan itu, ethnohermeneutics
menampilkan diri sebagai sebuah pola paradigmatik penafsiran Injil dalam
konteks lintas-budaya yang salah satu agendanya merumuskan metode-metode
hermeneutis dinamis yang layak secara budaya. Secara khusus, horison penafsir
yang terbangun dari kesadaran tradisi dan penghayatan akan kesejarahan dirinya
memang semacam entry-point ke etnohermeneutik. Untuk paparan
pengantar ke ethnohermeneutics dan nilai strategisnya dalam penafsiran
lihat dua tulisan reflektif-kritis Larry W. Caldwell, “Towards the New
Discipline of Ethnohermeneutics: Questioning the Relevancy of Western
Hermeneutical Methods in the Asian Context,” dalam Journal of Asian Mission,
Vol. 1, Nr. 1 (March 1999): 21-43; dan, “A Response to the Responses of
Tappeiner and Whelchel to Ethnohermeneutics,” dalam Journal of Asian
Mission, Vol. 2, Nr. 1 (March 2000): hal. 135-45.
[21]Premis dasar yang mendasari
keseluruhan disiplin etnohermeneutik
adalah bahwa Tuhan bekerja pada masing-masing kebudayaan dengan menyeru
pribadi-pribadi dari dalam masing-masing kebudayaan pada diri-Nya. Inilah
sesungguhnya cara Tuhan bekerja dalam budaya penerima, Ia bekerja
melalui proses hermeneutik yang inheren pada setiap kebudayaan. Karena itu penting
berupaya menghadirkan Injil lewat tindak-tindak interpretatif yang sensitif
secara kultural hingga pada gilirannya pesan-pesan kebenaran kitab suci menebar
dalam bentuk-bentuk yang relevan secara budaya. Caldwell, “A Response…, hal.
135-45.
[22]Caldwell, “A Response…, hal. 136-7.
[23]Diungkap Abu-Zayd ketika mengantari
bukunya, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, ab.
Khoiron Nahdliyyin (Jogjakarta: LKiS, 2002), hal. xvi.
Pengungkapan ini penting dalam konteks pembedaannya terhadap makna tafsîr
dan ta’wîl. Tafsir lebih ia pahami dalam hubungan mufassir dan
teks pada proses penafsiran (bayânî), sedang ta’wîl tegas ia arahkan
pada makna interpretasi teks baik yang didasarkan pada rasio seperti Mu’tazilah
(Burhânî) atau pada intusi-spekulatif (‘irfânî) yang dilakukan
kalangan sufi.
[24]Lingkar hermeneutik ini diotak-atik
gathuk dari beberapa teoretisasi hermenuetik. Lihat dan bdk., Farid Esack, Qur’an,
Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 82-6; Mohammed Arkoun. Nalar Islami dan Nalar
Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. ab. Rahayu S. Hidayat (Jakarta:
INIS, 1994), 15-29, 43-124;
dan, John Goldingay, “The Hermeneutics of Liberation Theology,” dalam Horizon
in Biblical Theology, 11 (1989), hal. 133-61.
[25]Istilah regresif-progresif ini
dipinjam dan dikembangkan dari sodoran hermeneutik Arkoun. Lihat dan bdk.
Arkoun, Rethinking Islam (Washington, D.C.: Center for Contemporary Arab
Studies, 1987), hal. 7.
[26]Salah satu contoh menarik
pemroyeksian teks ke konteks adalah pola ijtihad “kontroversial” yang
ditunjukkan Umar Ibn al-Khaththab. Salah di antaranya adalah keputusan ijtihâdi-nya
yang “mengabaikan” pesan eksplisit Qs. 5: 38 tentang hukum potong tangan bagi
pencuri. Disebutkan seorang pelaku pencurian ketangkap tangan menyatroni harta
majikannya dan dihadapkan pada Umar. Setelah disidik diketahui pencurian itu
dilakukan berlatar keterpaksaan sebab sang majikan abai, tak memenuhi hak
pelaku sebagai sahayanya. Sementara dikisahkan pula kala itu tengah masa
paceklik yang hebat. Berdasar fakta-fakta itu Umar menilai kasus tersebut tidak
memenuhi syarat bagi diberlakukannya ayat “muhkam” terkait,
sehingga ia pun tidak menerapkan potong tangan dan melepas pelaku. Lihat Ahmad
Azhar Basyir, “Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan,”
dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, ed. Iqbal AS (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988): 103-116.
[27]Model penghampiran
tekstual-kontekstual ini hasil bongkar-pasang beberapa ide dan diadaptasi untuk
kepentingan paradigmatik dari tafsir lokal. Bdk. dengan kontruksi analisis yang
diajukan Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in
Islamic and Western Methods of Inquiry (Selangor Darul Ehsan: International
Islamic University Press, 1996), hal. 196.
[28]Dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân soal
ini sungguh kontroversial. Ia tak hanya dihubung-hubungkan dengan perdebatan
soal “turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf”, tapi juga soal cara shahîh
melantukan al-Qur’an yang menunjuk pada qirâ’ât al-sab‘ah. Lihat,
al-Qaththân, Mabâhits..., hal. 156-69. Qirâ’ât yang tujuh
itu berkaitan dengan perbedaan langgam, cara, dan sifat pengucapan al-Qur’an.
Muasal keragaman ini bersumber dari pengajaran qirâ’ât yang berbeda-beda
oleh beberapa sahabat, semisal Ubay, Ali, Zayd ibn Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa
al-Asy’ari, dan lain-lain. Kemudian kian berkembang ragamnya di berbagai
wilayah (Kufah, Basrah, Syam, selain Makkah dan Madinah) hingga kemudian
pengakuan keshahîhan mengerucut pada tujuh imam ahli qira’at
terkenal, yakni Nafi’, Abu ‘Amr, ‘Asim, Hamzah, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir, dan Ibn
Katsir. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
Jilid I (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), hal. 72-3. Di luar ketujuhnya, para ulama
juga mengakui tiga imam yang qirâ’ât-nya dipandang shahîh
dan mutawatir, yakni Abu Ja’far Yazzin bin Qa’qa’ al-Madani, Ya’qub bin Ishaq
al-Hadrami, dan Khalaf bin Hisyam. Di luar itu masih banyak jenis qirâ’ât
(tapi ditolak ulama), misalnya qirâ’ât Ibn Zubayr dan Yazidi. Lihat
al-Qaththân, Mabâhits..., hal. 170-9. Pegemukaan fakta ini
sekedar menunjukkan betapa dalam hal melagukan bacaan al-Qur’an banyak muncul
ragam cara, yang tentu saja masing-masing terikat kondisi hostoris dan
perbedaan tempat dan kultur para imam pencetusnya. Lalu mengapa tak kita coba
melantunkan al-Qur’an dengan qira’at yang bertolak dari kekayaan kultur
kita sendiri, budaya-budaya lokal di Indonesia? Alangkah menariknya dan betapa
terasa dekatnya Islam bila orang-orang Muslim kawasan Mataraman, misalnya,
boleh mengaji al-Qur’an dengan laras-laras pelog dan slendro,
atau orang Surabaya menyenandungkannya dengan qirâ’ah gaya ngremo...
[29]Yang dimaksud paradigma di sini ialah
konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dipergunakan oleh
suatu nilai dan/atau tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka
memahami kondisi sejarah dan situasi sosial, untuk memberi kerangka konsepsi
dalam memaknai realitas. Kekuatan suatu paradigma terletak pada kemampuannya
membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara melihat sesuatu, apa yang
dianggap masalah, apa masalah yang sekiranya bermanfaat untuk dipecahkan, dan
apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Selengkapnya, untuk
ulasan seputar paradigma, lihat Thomas Kuhn, The Structures of Scientific
Revolution (Chicago: the University of Chicago Press, 1970).
[30]Machasin, “Sumbangan...,” hal. 6.
[31]Sebagaimana dikutip Nurcholish
Madjid, “Kata Sambutan: Universalisme Agama dan Kenisbian Peradaban,” dalam M.
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. xxxii-xxxiii.
[32]Kelompok ini umumnya mengembangkan
pola “purifikasi” (al-ishlâh al-dînî) yang mengklaim diri sebagai
penerus golongan salaf. Sedihnya, banyak dari mereka yang lalu bersikap
ekstrim, eksklusif, dan mudah men-takfir sesama muslim. Jika diamati
seksama, berdasar karakteristik yang mereka kembangkan, rasanya tak berlebihan
jiak ada yang menyebut mereka neo-Khawarij.
[33]Tradisi keagamaan masa lalu, yang
acap disebut salaf, tidaklah “salah.” Ia tetap memiliki otentisitas
kebenarannya sendiri sesuai konteks ruang-waktunya. Yang keblinger bila
itu di bawah ke hari ini sebagai sebuah prototype kebenaran yang
penunggalannya (baca: penerapannya) bersifat “pokoknya”. “Kita tidak bisa
menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulu kita di dunia
pra-modern yang konservatif,” kata Armstrong. Betapapun kerasnya kita berusaha
menerima dan melaksanakan warisan tradisi agama pada masa keemasannya itu, kita
memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual, historis,
dan empiris. Lihat Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme
dalam Islam, Kristen, dan Yahudi, ab. Satrio Wahono, et. al. (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2001), 577.
[34]Keberagaman wajah Islam ini belum
termasuk polarisasi pemikiran paradigmatik keislaman, semisal varian
Islam-Sunnî, Islam-Syi‘î; atau kembangannya, berupa school of thought
(madzhab) di bidang fiqh, kalâm, tasawuf, dan filsafat.
[35]Pemaknaan sedemikian bukan tanpa
preseden ilmiah, sekurangnya Robert D. Lee melakukannya dalam bukunya, Mencari
Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun, ab.
Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), secara khusus lihat, hal. 11-34
dan 199-223.
[36]Robert D. Lee, Mencari Islam…,
hal. 11-34 dan 199-223.
[37]Robert D. Lee, Mencari Islam…,
hal. 11-2.
[38]Robert D. Lee, Mencari Islam…,
hal. 200-1.
[39]Mengutip dari kutipan Goenawan
Mohamad (yang mengutip dari kutipan KOMPAS), “Kaca,” dalam Catatan
Pinggir 4 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 119-21.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: ISLAM TRADITION
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/islam-antara-great-tradition-dan-little.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5