-->

ANTARA SYIAH DAN TASAWUF

Posted by Unknown Jumat, 01 Februari 2013 0 komentar


ANTARA SYIAH DAN TASAWUF:

[Membedah Kitab Jami al-Asrar wa Manba al-Anwar-nya Seyyed Haidar Amuli]

Oleh

Ahmad Nawawi


I.       PENDAHULUAN

Dalam perspektif ilmu, di antara tujuan yang hadir di balik pembacaan tradisi pemikiran tokoh muslim klasik adalah untuk memelihara kesinambungan mata rantai khazanah pemikiran klasik tersebut agar generasi sesudahnya dapat membaca dan mentransformasikannya secara dinamis. Tujuan ini juga tidak dapat dilepaskan ketika berbicara tentang tradisi pemikiran dalam dunia tasawuf. Dikenalnya nama-nama seperti Rabi’ah ’Adawiyah, al-Hallaj, Ibn Sab’in, Ibn ‘Arabi, dan Mulla Shadra, --untuk hanya menyebut beberapa nama,-- adalah karena pemikiran-pemikiran mereka dapat ditransformasikan dengan baik oleh generasi-generasi sesudahnya.
Pada abad ke tujuh hijriah tradisi pemikiran ini terus ditransformasikan sosok Seyyed Haidar Amuli; seorang teoritikus tasawuf syi’i yang pemikiran-pemikirannya masih dikenal secara samar-samar di dalam pelataran dunia akademik. Pembacaan terhadap sosok ini menarik karena Amuli karena keberaniannya menyampaikan gagasan pengintegrasian antara tasawuf dan syi’ah. Amuli adalah sosok sufi yang dapat diklasifikasi ke dalam tasawuf garis Ibn ‘Arabi. Pada konteks ini, dalam aspek tertentu pemikiran-pemikiran Amuli memiliki kesamaan, --- untuk tidak menyebut terpengaruh,-- dengan pemikiran tasawuf Ibn Arabi. Namun ini tidak berarti Amuli taqlid secara baik kepada Syeikh al-Akbar, lebih dari itu Amuli secara kritis melakukan modifikasi-modifikasi tertentu sesuai dengan kontek lokalitas yang sekaligus merupakan kondisi sosio-historis yang mengitari perkembangan pemikirannya. Kondisi sosio-intelektualnya yang dilahirkan dari tradisi Syi’i juga cukup mewarnai pembentukan karakter intelektual Amuli.
Tulisan berikut ini akan membahas pemikiran tasawuf Amuli, teristimewa pemikiran tasawufnya yang tertuang dalam karyanya Jami’ al-Asrar wa Manba’ al-Anwar. Penulis menyadari keterbatasan literatur dan kemampuan penulis menjadikan tulisan berikut terbuka terhadap semua kritik konstruktif dan klarifikasi ilmiah dari para pembaca
. 

II.    AMULI DAN PERJALANAN INTELEKTUALNYA

1.       Riwayat Hidup dan Karya-karyanya
Amuli, atau nama lengkapnya Seyyed Haidar Ibn Ali Ibn Haidar al-Alawi al-Husaini dilahirkan di Amul, sekitar tahun 719/720H dan Iraq pada tahun 787H. Amuli digambarkan oleh Julian Baldick tidak hanya sebagai sosok sufi besar pada abad ke tujuh hijriah, lebih dari itu Amuli adalah sosok teoritikus tasawuf Syi’i yang berusaha memadukan antara syi’ah dan tasawuf.[1]
Tidak banyak yang data cukup akurat yang dapat menjelskan perjalanan hidup Amuli. Usman Yahya, dalam tulisanya tentang biografi Amuli membagi kehidupan Amuli ke dalam dua periode; periode Parsia dan periode Irak. Periode Parsia merupakan periode pembentukan karakter intelektual Amuli. Periode ini berlangsung sejak kelahirannya sampai tahun 751 H. Pembentukan karakter intelektual Amuli, pada periode ini antara lain dapat dilihat dari perjalanan hidupnya ketika melakukan perjalanan ilmiah ke kota-kota penting di Parsi seperti Khurasan, Istarabat dan Isfahan.[2]
Pada periode kedua, yakni antara tahun 751-782H atau lebih. Periode ini oleh Yahya disebut sebagai periode kematangan intelektual  Amuli. Ketika usianya mulai menginjak umur 31 tahun, Amuli menghabiskan umurnya di Irak dan tempat-tempat suci lainnya, sampai akhirnya Amuli meninggal pada tahun 787H di tempat yang disebutkan terakhir. Siapa saja tokoh-tokoh yang mempengaruhi pembentukan karakter pemikirannya secara langsung, tidak dapat di ketahui secara jelas. Amuli hanya melaporkan bahwa di tempat ini dirinya banyak belajar dengan para tokoh-tokoh Syi’ah yang hidup pada masanya. Pada periode kehidupannya Irak, Amuli banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang belakangan menghantarkannya menjadi sosok yang diperhitungkan dalam tradisi pemikiran tasawuf.
Menurut Yahya, setidaknya ada 35 karya, --baik berbentuk buku maupun artikel,-- yang dapat dinisbatkan kepada Amuli. Yaitu: 1]. al-Arkan fi Furughi Fara’I Ahli al-Iman; 2]. Asraru al-Syari’ah wa Anwar al-Haqiqah; 3]. Istilahatu al-Shufiyah; 4]. Amtsilatu al-Tauhid wa Abniyatu al-Tajrid; 5]. Al-Bahru al-Khodlmu fi Tafsir al-Qur’an; 6].  Talkhishu Ishtihati al-Shufiyah; 7]. Jami’ al-Asror wa Manba’ al-Anwar; 8]. Jami’ al-Haqa’iq; 9]. Risalat al-Arkan; 10]. Risalat al-Asma’ al-Ilahiyat; 11].  Risalat al-Amanat al-Ilahiyat fi Ta’yin al-Khilafah al-Rubbaniyat; 12]. Risalat al-Tanbit fi al-Tanzih; 13]. Rislalat al-Tauhid; 14]. Risalat al-Jadawil al-Mausumah bi Madarij al-Salikin fi Maratib al-‘Arifin; 15]. Risalat al-Hajub wa Khulashat al-Kutub; 16]. Risalat Rafi’at ‘an Wujuhi Sukuti Amir al-Mukminin ‘an al-Ikhtilaf; 17]. Risalat al-‘Aqli wa al-Nafs; 18]. Risalat al-‘Ilmi wa Tahqiqih; 19]. Risalat al-‘Ulum al-‘Aliyat; 20]. Risalat al-Faqr wa Tahqiq al-Fakhr; 21]. Risalat Kanzi al-Kunuz wa Kasyfi al-Rumuz; 22]. Risalat al-Mi’ad fi Ruju’i al-‘Ibad; 23]. Risalat Muntakhib al-Ta’wil fi Bayani Kitabillah wa Hurufih wa Kalimatih wa Ayatih; 24]. Risalat al-Nafs fi Ma’rifat al-Rabb; 25]. Risalat Nuqd al-Nuqud fi Ma’rifat al-Wujud; 26]. Risalat al-Wujud fi Ma’rifat al-Ma’bud; 27]. Kitab al-Ushul wa al-Arkan fi Tahdzib al-Ashhab wa al-Ikhwan; 28]. Kitab Ta’yin al-Aqtab wa al-Autad; 29]. Al-Kusykul fi Ma Jaro ‘ala Ali al-Rasul; 30]. Al-Muhit al-A’dham wa alThoud al-Asyamm fi Ta’wil Kitabillah al-‘Aziz al-Hakim; 31]. Al-Masa’il al-Amiliyah; 32]. Muntakhabat Awar al-Syari’at; 33]. Muntaqa al-Mi’ad fi Murtaqa al-‘Ibad; 34]. Nashu al-Nushush fi Syarh al-Fushush; 35]. dan terakhir, Nihayat al-Tauhid fi Bidayat al-Tajrid.[3]
Melihat massifitas karya-karya yang dinisbahkan kepada Amuli, tidak berlebihan jika dikatakan Amuli adalah seorang penulis produktif. Selain ditulis dalam bahasa Parsia, karya-karya Amuli juga ditulis dalam bahasa Arab.
Mencermati karya-karyanya, paling tidak seperti yang terlihat ketika membaca kitab Jami al-Asrar, Amuli tidak hanya terpengaruh oleh tasawuf falsafi Ibn Arabi tetapi secara konsisten dengan tetap memelihara sikap kritisnya,  berada dalam garis pemikiran Syeikh Akbar ini. Konsistensi Amuli diperkuat dengan fakta bahwa ia sendiri menyusun anotasi karya Ibn Arabi, “fushush al-hikam”. Amuli memberi judul tulisannya dengan “Fashu al-Fushush fi Syarh Fushushi al-Hikam”.[4]  Karya yang sampai sekarang masih tersimpan dalam bentuk manuskrip ini, oleh Amuli disusun sebagai persembahan kepada Sultan Ahmad Bahudar Khan, salah seorang raja yang berkuasa pada masanya.[5]  Amuli, dalam buku ini menyisakan satu bab khusus yang memperbincangkan kelebihan Ibn Arabi di antara para sufi klasik dan kontemporer [pada masanya]. Husein Nasr dan Willian C. Chittik menyebut, Amuli mengintegrasikan "Fushush al-Hikam", ke dalam konteks gnosis Syi’ah. [Nasr dan Chittik, 2001:118]. Menurut Razavi, selain menerima pemikiran Ibn Arabi melalui tulisan-tulisan Ibn Arabi, Amuli juga mengeksplorasi pemikiran tokoh ini melalui filsafat Israqiyah Suhrawardi.[6]

2.       Kitab Jami’ al-Asrar wa Manba’ al-Anwar
Informasi yang cukup berharga untuk melacak eksistensi kitab Jami’ al-Asrar, adalah hasil usaha kolektif Henry Corbin dan Usman Yahya ketika menelusuri kitab ini.  Berkata jasa keduanya, karya klasik yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk manuskrip ini dapat terakses publik, meski dalam skala yang relatif masih terbatas.
Yahya, ketika melacak otentisitas kitab Jami al-Asrar menggali informasi, baik dari karya-karya Amuli sendiri maupun manuskrip-manuskrip yang tersimpan diberbagai perpustakaan di Teheran, Iran dan Madinah. Suatu hal yang cukup membantu dalam pelacakan karya Amuli adalah kebiasaannya menyinggung karya-karya yang ditulis sebelumnya. Setidaknya ini dapat dilacak dalam karyanya “Risalatu Nuqd al-Nuqud fi Ma’rifati al-Maujud”.  Karya yang disebut terakhir, dalam buku yang oleh Corbin dan Yahya ditempatkan pada bagian terakhir kitab Jami’ al-Asrar, menyinggung Jami’ al-Asrar sebagai karya yang tulis oleh Amuli. Di dalam Jami’ al-Asror sendiri, Amuli acapkali menyinggung karya-karyanya yang telah ditulis sebelumnya. Dapat disebutkan misalnya, Asraru al-Syari’ah wa Anwaru al-Haqiqah; Amtsilatu al-Tauhid wa Anniyatu al-Tajrid; Jami al-Haqaiq; Risalatu al-Arkan; Risalah al-amanah al-Ilahiyah fi Ta’yini al-Khilafah al-Rubbaniyah; Risalatu al-Tanbih fi al-Tanzih; Rislatu al-Tauhid;  dan Risalat al-Muntakhab al-Ta’wil fi Bayani Kitabillah wa Hurufih wakalimatih wa Ayatih. Informasi ini tentu sangat membantu untuk melacak otentisitas karya-karya Amuli.
Kitab Jami al-Asrar dalam bentuk manuskrip, masih menurut Yahya,  paling tidak dapat ditemukan di Kadansyah, Teheran, yang terdiri dari empat model manuskrip. Pertama,  Manuskrip nomor 2/1515 yang ditulis dengan menggunakan tinta warna hitam dan anawin dengan warna merah. Manuskrip yang ditulis oleh Jawad Ibn Mala Abu al-Qasim al-Na’ili ditulis pada tanggal 16 Rajab 1281H ini, dimulai dari al-Ashlu al-Tsalis dan diakhiri dengan kalimat yang penutup yang ditemukan dalam hasil edian Corbin dan Yahya; Laqad kuntu qabla al-yaum ankara […]. Kedua, Manuskrip nomor 3009, ditulis dengan menggunakan tinta hitam.  Manuskrip yang menggunakan kertas ukuran sama dengan manuskrip yang ditemukan sebelumnya ini tidak memuat bagian akhir tulisan. Ketiga, Manuskrip nomor 2280, ditemukan dalam bentuk utuh dan ukuran keras yang lebih besar dari manuskrip sebelumnya. Manuskrip ini pada bagian pertama tulisan memuat biografi dan beberapa buku yang ditulis oleh penulis sebelumnya. Keempat, Manuskrip nomor 341 juga ditemukan dalam bentuk yang masih utuh. Patut disayangkan, manuskrip yang ditulis [kembali] oleh Muhammad Karim al-Bahraji Ibn Muhammad Shadiq ini tidak menginformasikan tahun penulisan.  Di perpustakaan Mashad al-Ridlawi, Madinah, kitab Jami al-Asrar juga ditemukan dalam dua model manuskrip yang salah satunya ditulis dengan mencantumkan tahun 1077H.[7]
Jami al-Asrar, oleh Amuli disusun karena pengamatannya bahwa pada hakekatnya tidak ada perbedaan prinsipil antara ajaran-ajaran tasawuf dengan ajaran Syi’ah. Amuli berpandangan bahwa pada prinsipnya tidak ada garis distingsi yang memisahkan antara pemikiran-pemikiran esoterik tasawuf dengan doktrin pemikiran syi’ah. Tasawuf yang benar, kata Amuli, akan menghantarkan pelakunya kepada Syi’ah, dan sebaliknya, Syi’ah yang benar menjadikan pelakunya sebagai seorang sufi.[8]
Hingga ke saat ini, karya Amuli masih belum menjadi konsumsi publik secara luas. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengakses karya ini. Agaknya ini dapat dipahami ketika melihat Amuli dalam muqaddimah Jami al-Asrar.  Menurutnya, “kitab ini berisi tentang sebagian besar rahasia Allah, para Nabi dan para Wali-Nya […], sehingga seseorang tidak diperkenankan mengaksesnya kecuali setelah mendapatkan izin dari “ahlinya”. […]. Lantaran firman Allah, Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada ahlinya.”[9]
Barangkali dalam mukadimah ini Amuli hendak mengatakan bahwa disiplin keilmuan tasawuf merupakan konsumsi komunitas tertentu yang tidak boleh di akses oleh kelompok yang di luar komunitasnya. Jika pemahaman tasawuf disampaikan kepada kelompok awam yang belum memiliki basis pengetahuan tasawuf akan mengakibatkan penimpangan-penimpangan pemahaman pesan-pesan agama. Selain itu juga, Amuli ingin memperjelas marketing karyanya ini. Ini sangat penting, karena selain memudahkannya membangun kerangka pemikiran, juga agar pesan-pesan yang ingin ia sampaikan dapat terakses secara baik. Logika berpikir demikian ini yang agaknya menghantarkan Jami al-Asrar menjadi buku tasawuf yang menempati posisi penting di kalangan komunitas Syi’i.

III. PEMIKIRAN AMULI DALAM JAMI AL-ASRAR WA MANBA’ AL-ANWAR

1.      Realitas Tauhid
Tauhid merupakan tema sentral yang disampaikan setiap agama samawi. Islam, sebagai agama yang diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu ini mengusung pesan tauhid sebagaimana agama-agama yang diturunkan Allah sebelum Islam seperti Yahudi dan Nashrani. Menurut Amuli, tauhid adalah penegasian segala sesuatu yang wujud kecuali wujud Allah. Definisi Amuli ini berbeda dengan definisi yang dimajukan, misalnya oleh para ulama syaria’t, karena menurut yang terakhir tauhid adalah penegasian segala tuhan selain satu Tuhan.[10] Konsep tauhid Amuli lebih mudah dilacak dalam paradigma pemikiran wahdatul al-wujud-nya Ibn Arabi. Menurut nama terakhir, pada hakekatnya tidak ada yang maujud kecuali Allah swt. Amuli sendiri membagi tauhid menjadi tauhid uluhi dan tauhid wujudi.[11]
Para sufi, meski mereka memberikan klasifikasi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lain, namun pada intinya tauhid menurut mereka dapat dibagi dua; pengesaan Tuhan dan penegasian segala sesuatu kecuali wujud Allah. Ibn Arabi misalnya, membagi tauhid menjadi tauhid ahadiyah dan tauhid fardaniyah. Pemilahan ini, kata Amuli, pada sebenarnya tidak berbeda dengan pemilahan yang ia kemukakan; karena yang pertama adalah penegasian tuhan selain satu Tuhan, sedangkan yang kedua, tauhid fardaniyah, adalah penegasian segala yang ada kecuali hanya satu maujud.[12]
Kalau dibenarkan menyebut klasifikasi tauhid di atas ke dalam klasifikasi ontologis, pada bagian lain Amuli memberikan klasifikasi tauhid yang ditinjau dari aspek pelaku tauhid tersebut. Menurutnya, dari aspek ini tauhid dapat diklasifikasi menjadi tauhid al-anbiya (tauhid para Nabi) dan tauhid al-auliya’ (tauhid para wali). Tauhid yang disebut pertama merupakan tauhid dhahiriyah lantaran ia menyeru dari penyembahan Tuhan plural menjadi penyembahan Tuhan yang Esa. Tauhid jenis ini secara substansial tidak jauh berbeda dengan pemahaman tauhid ilahiyah seperti telah dipaparkan di atas. Sedangkan tauhid al-auliya’ merupakan tauhid bathiniyah, lantaran tauhid jenis ini menyeru hamba untuk menyaksikan adanya satu wujud dan menegasikan segala wujud di luar wujud yang Esa.[13] Ini juga tidak berbeda dengan pemahaman tauhid wujudi  di atas.
Di dalam tauhid wujudi, shahadah (penyaksian) antara yang menyaksikan [syahid] dan yang disaksikan (masyhud) tidak dihalangi oleh sesuatu apa pun. Kerena keterhalangan menurut Amuli, akan mereduksi makna tauhid itu sendiri.[14] Demikian pula penampakan asma’, sifat dan af’al Tuhan; ia tidak  dapat dihalangi oleh sesuatu pun. Karena tidak ada sesuatu yang maujud kecuali merupakan asma’, sifat dan af’al Tuhan.[15] Dengan ungkapan yang berbeda, pada dataran ini syahid telah menyaksikan sang masyhud baik secara tunggal (al-wahdah)  maupun  prulal (al-katsrah); kolektif (al-jam’u) maupun partial (al-tafriqah).[16] 
Tajjali (penampakan) al-Haq dalam diri al-maujudat, pada dasarnya adalah penampakan zat yang Esa ke dalam diri yang tidak Esa [al-a’dad]. Penampakan yang Esa ke dalam yang tidak esa, merupakan penunjukkan kesempurnaan yang Esa. Meski demikian, penampakan Tuhan ke dalam diri makhluk ini tidak dapat mereduksi ketinggian zat Tuhan. Tuhan, dalam perspektif Amuli dapat di analogikan sebagai sebuah cermin yang memantulkan bayangan sesuai dengan benda yang berada di depan cermin itu. Pantulan zat Tuhan pada diri manusia akan memperlihatkan wajah manusia, demikian pula alam atau benda lain yang ada di dunia ini. Menurut Amuli, penampakan Tuhan ketika dalam diri manusia adalah penampakan citra Tuhan yang paling sempurna. Manusia sempurna dapat diibaratkan cermin bening yang di dalamnya akan memantulkan diri Tuhan dalam wujud yang paling sempurna. Berangkat dari sini, Amuli melihat bahwa sesunggguhnya tidak ada yang maujud   kecuali diri Tuhan. Semua yang tampak dan kita saksikan ini pada hakekatnya adalah penampakan diri Tuhan. Ia melihat yang ada sesungguhnya adalah wujud mutlak, sedangkan apa yang kita saksikan selama ini adalah wujud muqayyad. Lebih lanjut Amuli mengatakan,

Ketahuilah, bahwa wujud mutlaq atau al-Haq swt. dapat diumpamakan sebagai hamparan lautan, sedangkan wujud muqayyad diumpamakan sebagai buih dan sungai. Buih dan sungai merupakan bagian dari lautan yang merupakan citra kesempurnaan air dengan segala kekhususannya. Demikian wujud muqayyad. Ia merupakan bagian dari wujud mutlaq yang menampakkan diri dengan citra kesempurnaan zat-Nya dan kekhususan asma’-Nya. Buih dan sungai, di satu sisi tidak dapat disebut lautan, tetapi dari sisi lain ia adalah bagian dari lautan karena pada hakekatnya keduanya sama-sama air. Demikian pula wujud-wujud muqayyad, meskipun ia bukanlah al-Haq, tetapi hakekatnya tidak dapat dipisahkan dengan wujud Tuhan.[17]

Berdasarkan ungkapan tersebut, agaknya Amuli hendak mengatakan bahwa citra Tuhan yang bertajalli dalam diri manusia, alam atau lain sebagainya adalah penampakan dari wujud Tuhan secara muqayyad. Di balik penampakan wujud muqayyad tersebut tersimpan wujud mutlak Tuhan, wujud yang, --meminjam ungkapan Kautsar Azhari Nor,-- tidak akan pernah terdefinisikan oleh pengetahuan manusia.
Klasifikali Amuli tentang wujud menjadi wujud mutlak dan wujud muqayyad ini membalikkan ingatan kita dengan klasifikasi wujud yang pernah dimajukan oleh al-Jilli. Nama yang disebut terakhir ini mengklasifikasi wujud menjadi wujud al-haqqi dan wujud al-khalqi.[18] Kesamaan antara keduanya ini barangkali dapat dirunut dari asal usul pemunculan gagasan wujud ini yang keduanya berasal dari akar yang sama, yaitu Ibn Arabi.
Klasifikasi tauhid Amuli menjadi tauhid uluhiyah dan tauhid wujudiyah tampaknya belum dapat mengakomodasi pemahaman tauhid kalangan masyarakat awam.  Ini sebetulnya dapat dipahami ketika merunut pada sasaran pembaca Amuli seperti telah disingung di atas. Amuli memang tidak bermaksud menyampaikan klasifikasi tauhidnya kepada kalangan masyarakat awam, tetapi hanya ditujukan kepada kalangan sufi.

2.      Kenabian, Risalah dan Walayah
Amuli sangat intens membahas tema nubuwwah, risalah dan walayah. Kenabian menurutnya adalah pemberitaan mengenai realitas trasendental (hakikat ketuhanan). Kenabian dapat dikategorisasikan ke dalam kenabian al-ta’rif dan kenabian al-tasyri’. Kenabian dalam bentuk yang pertama adalah kenabian yang orientasinya mengetahui zat, nama dan sifat-sifat Tuhan, sedang kenabian dalam bentuk yang kedua lebih bersifat praksis lantaran di sini seorang pengemban risalah berkeharusan menyampaikan pesan-pesan hukum, mengajarkan etika, berpolitik dan lain-lain. Kenabian dalam bentuk terakhir ini disebut risalah. Mengenai walayah, Amuli memahaminya sebagai kondisi ekstasi seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga keduanya menjadi sangat dekat dan menyatu.[19] Ekstasi (fana') yang dimaksudkan Amuli di sini tidak berarti hilangnya eksistensi manusia secara mutlak, tetapi ia adalah ekstasinya aspek kemanusiaan hamba menuju aspek ketuhanan.[20]
Periode kenabian dan risalah telah berakhir semenjak berakhirnya risalah Muhammad saw.  Persoalannya adalah apakah dengan demikian walayah juga sudah berakhir. Menurut Amuli, ada beberapa versi pendapat yang dimajukan para ulama mengenai akhir masa walayah ini.

Di sini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para masyayikh dalam menetapkan penutup para wali, baik wali mutlaq maupun wali muqayyad. Menurut sebagian [masyayikh], penutup wali mutlaq adalah Isa Ibn Maryam as., sedangkan penutup wali muqayyad adalah Muhyidin Ibn ‘’Arabi. Menurut sebagian [masyayikh] lain, penutup wali mutlaq adalah Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan penutup wali muqayyad adalah Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi al-Muntazir.[21]

Pada kutipan di atas, tampaknya Amuli lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa penutup wali mutlaq adalah Ali Ibn Abi Thalib, dan penutup wali muqayyad adalah Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi.  Wali mutlak dalam perspektif Amuli ini merupakan puncak dari kesempurnaan batiniah. Penggambaran Amuli tentang posisi Ali sebagai penutup wali mutlaq ini setidaknya dapat dilihat dari statemen yang diklaim sebagai ungkapan  Ali dalam “khutbatul al-bayan” sebagai mana berikut;

“Sayalah [Ali] wajah dan lambung Allah. Sayalah tangan Allah. Sayalah pena yang luhur. Sayalah lauhul mahfud. Sayalah al-kitab al-mubin. Sayalah al-Qur’an. […]. Sayalah malaikat Jibril dan malaikat Mika’il. […]. Sayalah peringatan yang agung. Sayalah shirat al-mustaqim. Sayalah yang pertama dan terakhir. Sayalah yang dzahir dan batin. […].” [22]

Pendirian Amuli tentang posisi Ali sebagai penutup wali mutlak sangat penting untuk melacak konsep insan kamil Amuli. Kemutlakan walayah Ali bagi Amuli pada dasarnya adalah hakikat Muhammadiyah yang secara irtsiyah (heritage, warisan) di teruskan oleh Ali. Bertolak dari sini Amuli menggambarkan Ali sebagai manusia sempurna. Dengan menyitir pendapat Ja’far Shadiq Amuli mengatakan bahwa manusia sempurna merupakan argumentasi paling tinggi untuk membuktikan keberadaan Allah. Manusia sempurna adalah kitab Allah yang ditulisnya dengan tangan-Nya (kekuasaan-Nya) sendiri.[23]

3.      Syari’ah, Thariqah dan Haqiqah
Simpul pemikiran lain yang tidak kalah menariknya adalah pemikirannya tentang syari’ah, thariqah dan haqiqat. Amuli mendefinisikan syari’ah sebagai jalan menuju Tuhan yang meliputi pengaturan masalah-masalah ushuliah dan furu’iyah. Sedangkan thariqah didefinisikannnya sebagai salah satu jalan yang ditempuh seorang salik, baik berupa ucapan, perbuatan, sifat maupun sikap. Berbeda dengan haqiqat yang menurutnya adalah menetapkan sesuatu baik secara kasyf, inayah atau pun wijdaniah.[24]
Menurut Amuli, dalam perspektif haqiqat, ketiga hirarki tersebut memiliki hubungan kelindan dan tak terpisahkan antara satu dengan yang lain. Risalah pada dasarnya mengajarkan syari’at, kenabian mengajarkan thariqat, sedangkan walayah menawarkan haqiqat. Di antara ketiga ini, Amuli berpendapat bahwa haqiqat-lah yang menempati derajat kemuliaan tertinggi setelah thariqat dan syari’at. Amuli berargumen bahwa syari’at dapat dilakukan tanpa thariqat, atau thariqat dapat dilakukan tanpa haqiqat. Berbeda dengan haqiqat yang hanya dapat dilakukan setelah seorang salik melewati syari’at dan thariqat.[25]

IV. PENUTUP

Dengan berpijak pada paparan di atas, serta tidak menutup kemungkinan adanya narasi dan argumentasi yang belum terdeteksi dalam makalah ini, maka bisa disimpulkan bahwa Jami al-Asrar adalah salah satu karya Amuli yang membicarakan tasawuf dalam perspektif syi’ah. Gagasan dasariah yang disampaikan Amuli dalam karya ini adalah sintesa antara tasawuf dengan doktrin sy’iah. Amuli berpandangan, tidak ada demarkasi yang memisahkan antar tasawuf dan syi’ah. Tasawuf yang benar akan menghantarkan pelakunya menjadi syi’ah, demikian pula syi’ah sesunggguhnya menghantarkan pelakunya menjadi seorang sufi. Gagasan Amuli lain adalah klasifikasinya tentang tauhid. Klasifikasinya tentang tauhid menjadi tauhid uluhiyah dan tauhid wujudiyah pada prinsipnya tidak banyak berbeda dengan klasifikasi yang dimajukan pendahulunya, misalnya Ibn Arabi. Perbedaan tersebut hanya terletak pada faktor semantis yang tidak mereduksi aspek substansi pemahaman tauhid. Ini artinya pengalaman spritual antara seorang sufi dengan sufi yang lain pada dasarnya sama, meski tidak dapat dipungkiri bahwa sesekali sufi-sufi tersebut mengungkapkan pengalaman mereka dalam bahasa yang berbeda.[][]



 

KEPUSTAKAAN

----------------------------
Ali. Yunasril, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh Al-Jili, Paramadina, Jakarta, 1997
Al-Shaibi. Kamil Mustafa, Sufisme and Shi’ism, LAAM Ltd., England, t.t..
Amuli. Haidar, Jami al-Asrar wa Manba’ al-Anwar, Henry Corbin dan Usman Yahya, (ed.),  Syirkah Untsusyarat ‘Ilmi wa  Anjaman Ibrantasnasi,  Prancis,  1989
Baldick. Julian, Mystical Islam: An Introduction to Sufisme, New York University Press, London, 1992
Nasr. Seyyed Husein dan Chittik. Willian C., Word Sprituality: Manifestations (Islam Intelektual: Teologi Filsafat dan Makrifat, Penyunt. Suharsono, Perenial Press, 2001
Nasr. Seyyed Husein, “Preface”, Pengantar dalam,  Muhammads Husein Thabathaba, Shi’a, terj. Inggris: Seyyed Husein Nasr, Al-Hidaya, Manila, 1995
Nasr. Seyyed Husein, “The School of Ibn Arabi”, dalam, Seyyed Husein Nasr dan Oliver Leaman, (ed.), History of Islamic Philosophy, Vol. I, Routrgde, London and New York, 1996
Razavi. Mehdi Amin, Suhrawardi and The School of Illumination, Curzon Presst.tp., 1997
Watt. W. Montgemery, Islamic Philosophy and Theology; An Extended Survey, Endiburg Univercity Press, Endiburg, 1985
Yahya. Usman, “Tashdir al-‘Amm”, dalam, Seyyed Haidar Amuli, Jami al-Asrar wa Manba’ al-Anwar, Henry Corbin dan Usman Yahya, (ed.),  Syirkah Untsusyarat ‘Ilmi wa  Anjaman Ibrantasnasi,  Prancis,  1989


[1]Julian Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufisme, New York University Press, London, 1992, h. 101.
[2]Usman Yahya,  “Tashdir al-‘Amm”, dalam, Seyyed Haidar Amuli, Jami al-Asrar wa Manba’ al-Anwar, Henry Corbin dan Usman Yahya, (ed.),  Syirkah Untsusyarat ‘Ilmi wa  Anjaman Ibrantasnasi,  Prancis,  1989, h. 41-42].

[3]Yahya, “Tashdir al-‘Amm”, h. 19-35.
[4]W. Montgemery Watt., Islamic Philosophy and Theology; An Extended Survey, Endiburg Univercity Press, Endiburg, 1985, h. 150-151.
[5]Yahya, “Tashdir al-‘Amm”, h. 33-34.
[6]Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and The School of Illumination, Curzon Presst.tp., 1997, h. 125.
[7]Yahya, “Tashdir al-‘Amm”, h. 53-54.
[8]Haidar Amuli, Jami al-Asrar wa Manba’ al-Anwar, Henry Corbin dan Usman Yahya, (ed.),  Syirkah Untsusyarat ‘Ilmi wa  Anjaman Ibrantasnasi,  Prancis,  1989, h. 4.
[9]Amuli, Jami al-Asrar, h. :19.
[10]Amuli, Jami al-Asrar, h. 76.
[11]Amuli, Jami al-Asrar, h. 76. 
[12]Amuli, Jami al-Asrar, h. 77-81.
[13]Amuli, Jami al-Asrar, h. 83-4.
[14]Amuli, Jami al-Asrar, h. 113-4.
[15]Amuli, Jami al-Asrar, h. 114-5.
[16]Amuli, Jami al-Asrar, h. 115.
[17]Amuli, Jami al-Asrar, h. 206-7.
[18]Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh Al-Jili, Paramadina, Jakarta, 1997, h. 111-128.

[19]Amuli, Jami al-Asrar, h. 379.
[20]Amuli, Jami al-Asrar, h. 393.
[21]Amuli, Jami al-Asrar, h. 384
[22]Amuli, Jami al-Asrar, h. 383
[23]Amuli, Jami al-Asrar, h. 383-4.
[24]Amuli, Jami al-Asrar, h. 344.
[25]Amuli, Jami al-Asrar, h. 354.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: ANTARA SYIAH DAN TASAWUF
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/antara-syiah-dan-tasawuf.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang tidak sesuai dengan syarat di bawah ini akan dihapus, Demi kenyamanan kita bersama :

1. Menggunakan bahasa tidak beretika (Sara, Pornografi, Menyinggung)
2. Komentar menautkan link secara langsung
3. Komentar tidak berkaitan dengan artikel
4. Komentar Scam (Promosi Link)

Original design by Bamz | Copyright of Coretan Mahasiswa Kampung.

Pengikut

Recent Comment