Dinamika Komunikasi Politik
Jumat, 01 Februari 2013
0
komentar
Dinamika Komunikasi Politik
di Era New Media[1]
Oleh: Gun Gun Heryanto[2]
Hal menarik
dalam komunikasi politik kontemporer di dunia dan juga di Indonesia adalah
fenomena penggunaan media baru (new media) yakni internet sebagai media atau
saluran komunikasi yang semakin intensif digunakan. Para aktor politik baik
politisi (wakil maupun ideolog), figur politik, birokrat, aktivis kelompok
kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) maupun jurnalis
media massa, saat ini semakin adaptif dengan penggunaan internet baik sifatnya
statis maupun dinamis. Terlebih setelah terjadinya trend web 2.0 yang
memperbaharui kelemahan-kelemahan web 1.0 dalam konteks distribusi pesan secara
lebih interaktif. Dinamika Komunikasi politik pun banyak dipengaruhi oleh
partisipasi para netizen yang tidak hanya berbagi pesan tetapi menjadikan
internet sebagai ruang publik baru (new public sphere).
Key words: Media Baru, Komunikasi Politik, Demokrasi
Cyber
A. Pendahuluan
Semakin hari pengguna internet di Indonesia semakin banyak, penggunaanya
pun semakin meluas mulai dari hanya sekedar kepentingan pribadi,
bisnis-komersial hingga urusan politik. Kita bisa melihat misalnya fenomena
marketing politik di Indonesia baik untuk Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden
maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Internet menjadi bagian utuh dari
saluran penting dalam bauran promosi (promotion
mix) kandidat. Kampanye politik tidak lagi sekedar memanfaatkan above line media (seperti televisi,
koran, majalah, radio, tabloid) dan below
line media (seperti brosur, pamplet, spanduk dll.), melainkan juga
memanfaatkan new media dalam hal ini
intenet. Melalui internet berbagai informasi, sosialisasi gagasan, ajakan,
tuntutan hingga protes dan usulan alternatif kebijakan dapat dipublikasikan dan
dipertukarkan dengan waktu yang relatif lebih cepat dibanding melalui media
cetak atau media penyiaran (broadcasting). Interkoneksi sesama warganegara
atau hubungan antara infra dan suprastruktur dalam sistem politik dapat
berjalan tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu.
Newhagen
& Rafaeli sebagaimana dikutip oleh Wood & Smith mengidentifikasi
karakteristik yang membedakan internet dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya.
karakteristik tersebut antara lain multimedia
dan interactivity . Karakteristik
multimedia dapat kita pahami sebagai medium dengan beragam bentuk konten yang
meliputi perpaduan teks, audio, image,
animasi,video, dan bentuk konten interaktif.[3]
Sementara interactivity memungkinkan
seseorang untuk membuat pesan mereka sendiri, memublikasikan konten mereka,
atau terlibat dalam interaksi online.[4]
Terlebih
saat ini kita juga mengenal dukungan teknologi seperti Bulletin Board Systems (BBSs) Text
Chat, Multi-User Domain or Dungeons
(MUDs), Graphical Worlds dll.
Misalnya sekarang ini kita mengenal banyaknya situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Netlog dan lain-lain
yang memungkinkan kita untuk berinteraksi secara lebih intensif. Morris dan
Ogan berpendapat, bahwa media massa tradisional seperti surat kabar dan
televisi menunjukkan bahwa antara pembuat pesan dan khalayaknya digambarkan
sebagai hubungan satu arah one-to-many-relationship,
sementara internet dapat dilihat sebagai sarana komunikasi one-to-one seperti dalam e-mail, one-to-many dan many-to-one
Yang
perlu digarisbawahi dari perkembangan internet kini bahwa media baru ini telah
bermigrasi dari sekedar media berbasis read-only
web (era web 1.0) menjadi participatory
web (era web 2.0) di mana sifatnya telah menjadi user-generated content—artinya publik sendiri yang mengkreasi konten. Dari situlah muncul fenomena media sosial
atau citizen media yang melibatkan partisipan lebih banyak dan lebih bebas. Hal
ini semakin membuat internet memiliki peran tersendiri yang cukup unik dalam
dinamika komunikasi politik modern.
Dalam
pandangan Joseph R. Dominic, dalam bukunya The Dynamics of Mass Communication (2009), internet generasi
pertama atau web 1.0 hanya memungkinkan penggunanya sebagai konsumen dari
konten internet, sedangkan pada internet generasi kedua atau web 2.0 para
penggunanya bisa membuat atau berbagi konten.[5]
Singkatnya, web 1.0 bersifat statis sementara yang 2.0 besifat dinamis. Interaksi pengguna dan
web master tak lagi hanya satu arah. Hampir keseluruhan sistem baru dari
interaksi sosial sudah maju, mencakup Really
Simple Syndication (RSS feeds), dan juga penggunaan situs jaringan sosial.
Dilihat dari perspektif komunikasi politik, hal ini kian menunjukkan
eksistensi generasi baru pemanfaatan internet secara intensif dan masif dalam
politik. Satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka Old and New
Media: Blogs in The Third Age of Political Communication menyebutnya
sebagai era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga.[6]
Generasi pertama banyak memanfaatkan kekuatan face-to-face informal.
Generasi kedua bersandar pada penguasaan media-media mainstream seperti
tv, koran, radio, majalah dan lain-lain sehingga memunculkan adagium “siapa
menguasai media maka akan menguasai dunia”. Sementara generasi ketiga pada
kekuatan interaktivitas dan basis multimedia yang memungkinkan orang saling
bertautan tanpa harus bertemu secara fisik sebelumnya.[7]
B. Konteks
Dinamis
Penggunaan
internet dalam komunikasi politik yang
semakin meluas tentu tidak bisa kita lepaskan dari lingkungan dinamis yang
terjadi di dunia, di kawasan Asia dan di Indonesia sendiri. Paling tidak kita
bisa mengidentifikasi 4 faktor yang berpengaruh terhadap semakin intensifnya
penggunaan internet dalam komunikasi politik di Indonesia.
Pertama, internet menjadi sebuah media baru yang
revolusioner di dunia karena merupakan “perkawinan” antara media cetak, audio,
dan video yang menawarkan komunikasi dua arah. Menurut Margolis, Resnick, dan
Tu sebagaimana dikutip Tedesco, internet disebut revolusioner karena sedikitnya
kontrol informasi atau gatekeeping yang
merupakan karakteristik media cetak tradisional dan media penyiaran. Dengan
demikian internet menjadi media yang tidak dapat dikendalikan siapapun,
termasuk pemerintah yang berkuasa.[8]
Saat
ini, menurut data resmi terakhir yang dilansir pada 31 Maret 2011 oleh www.internetworldstat.com
menyebutkan data jumlah pengguna (user)
internet di dunia adalah 2.095.006.005 dari total populasi warga dunia 6.930.055.154. Ada pun perinciannya
adalah sebagai berikut. Jika
melihat data maka pengguna internet di Asia yang 922,329,554 merupakan jumlah
yang terbesar jika dibanding kawasan lain. 44,0 persen dari pengguna internet
dunia ada di Asia sementara 56,0 persen lainnya
tersebar di kawasan lain yakni: di Afrika ada 118.609.620 pengguna (5,7
persen) di Eropa ada 476.213.935 pengguna (22,7 persen), di Timur Tengah ada
68.553.666 pengguna (3,3 persen), di Amerika Utara ada 272.006.000 pengguna
(13,0 persen), di Amerika Latin ada
215.939.400 pengguna (10,3 persen), dan di Oceania/Australia ada
21.293.830 (1,0 persen). Dengan demikian
pertumbuhan pengguna internet di Asia dalam retang tahun 2000-2011 adalah 706,9
persen. Jika pada tahun 2000 pengguna internet di Asia hanya 114. 304.000 maka
pada Maret 2011 sudah di angka 922.329.554 pengguna internet.
Tabel-1
Statistik Penggunaan dan
Populasi Internet Di Dunia
(Data hingga 31 Maret
2011) [9]
Berikut
ini gambar prosentase pengguna internet di Asia jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan
lain di dunia.
Gambar-1
Prosentase Pengguna Internet di Dunia[10]
Kampanye Bill Clinton pada tahun 1992 menjadi kampanye poltik pertama yang
menyebarkan teks pidatonya lewat internet. Sementara menurut Hacker (1996)
manajemen Clinton-Gore adalah yang pertama menggunakan internet untuk
mengenalkan demokratisasi elektronik. Manajemen Clinton mulai menyebarkan press release dan informasi lewat
internet pada 20 Januari 1993. Pada tahun 1996 rangkaian pemilihan politik
semua kandidat presidensial, kandidat parlemen Amerika, lebih dari 1.500 orang
dari beragam tingkat, dan banyak kelompok terlibat dengan “kehadiran” online.[11]
Sejarah
politik dunia juga tentu akan mencatat kontribusi online terhadap keberhasilan Obama menjadi Presiden Amerika
Serikat. Barack Obama membentuk tim khusus kampanye dunia maya yang dinamai triple O alias Obama’s Online Operation . Tim ini melakukan gerilya ke beberapa
situs jaringan sosial seperti Facebook,
MySpace, Twitter, dan My.BarackObama.com bahkan ke jejaring sosial yang
sifatnya spesifik untuk komunitas Asia, Hispanik, Afro-Amerika, yaitu AsianAve,
Migente, dan Blackplanet. Hingga Bulan Juli 2008, kampanye online Obama mampu mengumpulkan lebih dari 200 Juta Dollar Amerika
atau sekitar 1,9 Triliun. Selain bentuk donasi yang diperoleh Obama dari Online juga berbentuk dukungan yang
penting untuk mendongkrak popularitasnya.
Lee
Han Shih menulis bahwa Facebook memfasilitasi Obama untuk menggerakan massa
pendukungnya. Seperti yang dilakukan salah satu pendukung Obama, Faroukh Olu
Aregbe pada tahun 2007. Pemimpin pelajar kulit hitam di University Of Missouri ini membentuk group yang dinamakan “One Million Strong For Obama” melalui Facebook. Aregbe mengundang
teman-temannya untuk bergabung dengan grup tersebut. Teman-teman Agrebe juga
mengajak teman-teman lainnya untuk bergabung di grup tersebut hingga anggotanya
terus bertambah. Dalam satu jam, Agrebe berhasil mengumpulkan 100 anggota.
Dalam lima hari jumlahnya bertambah hingga sepuluh ribu orang. Sedangkan dalam
sebulan pertama jumlah anggotanya mendekati 300.000 orang dari seluruh Amerika
Serikat. Grup “One Million Strong For
Obama” merupakan kelompok kunci atau utama dalam kampanye Obama.
Pidato-pidato Obama yang inspiratif diunggah ke dunia maya sehingga Obama dalam
waktu sekejap populer di seluruh dunia. [12]
Di Mesir Wael Ghonim memulai gerakan oposisi di Facebook
pada Juni 2010. Pada 6 Juni 2011, seorang blogger Mesir bernama Khaled
Said tewas mengenaskan karena dianiaya polisi Mesir. Penyebabnya, Khaled
mengunduh rekaman video yang memperlihatkan polisi tengah bagi-bagi mariyuana
hasil penyitaan di lapangan. Kematian Khaled memicu kohesivitas para user internet
lainnya. Saat itu, Ghonim membuat akun Facebook 'My Name is Khaled
Said'. Kemudian Ghonim yang memiliki nama maya ElShaheed membuat
akun Facebook baru bernama 'We are All Khaled Said'. Ghonim mengunggah
foto-foto Khalid Said dan dalam sekejap Facebook itu memiliki 450 ribu
anggota. Di Facebook 'We are All Khaled Said' itu pula Ghonim
merencanakan aksi demonstrasi pada 25 Januari 2011. Apa yang digalang Ghonim
dan Facebookers lainnya memompa semangat para kaum muda berdemonstrasi
di jalanan.
Jika revolusi di
Cekoslovakia yang menumbangkan rezim Gust-v-Hus-k tahun 1989 dikenal sebagai Revolusi
Beludru, revolusi di Ukraina tahun 2004 yang melengserkan Leonid Danylovych Kuchma disebut sebagai Revolusi
Oranye, maka revolusi di Mesir merujuk pada perkataan Wael Ghonim menyebut
gerakannya sebagai Revolusi 2.0. David D
Kirkpatrick dan David E Sanger di The New York Times (13/2/2011)
mengelaborasi peran sharing informasi di antara para aktivis demonstran
Tunisia dan mesir melalui Facebook. Mulai dari berbagai strategi
menghadapi dan bertahan dari serangan petugas keamanan di saat demonstrasi,
hingga teknik menghindari aksi mata-mata pemerintah.
Kedua, Indonesia juga terpengaruh oleh dinamisasi penggunaan internet yang terjadi
di Asia. Jika pada tahun 2000 pengguna internet di Asia hanya kurang lebih
114.304.000 pengguna maka pada tahun 2011 jumlah pengguna menjadi 932.393.209
dari jumlah populasi 3.879.740.877. Penetrasi internet terhadap populasi di
kawasan Asia pada tahun 2011 adalah 24 persen. Di Cina, Jepang, dan Korea
Selatan internet berperan dalam proses demokrasi. Di Cina, internet menjadi
kendaraan politik pemerintah Cina, dimana 80 persen departemennya harus
memiliki website sebagai bagian dari
“Government Online Project”. Sementara
partai-partai politik di Jepang mengeksploitasi internet sebagai sarana baru
untuk berkomunikasi dimana pada pemilu legislatif tahun 1995, 40 dari 242
politikus membuat website kampanye.
Sedangkan di Korea, internet berperan dalam pemilu tahun 2002 dimana pendukung
kandidat presiden Roh Moo-Hyun yang tergabung dalam kelompok “Rohsamo”
menggunakan internet untuk menyebarkan dan berdiskusi mengenai informasi
politik. Semakin maraknya penggunaan internet di Asia serta semakin intensifnya
internet dipakai dalam politik memiliki dampak terhadap Indonesia.
Gambar 2
10 Negara
Pengguna Internet Terbanyak di Asia 2011[13]
Dari gambar di atas sangat jelas, bahwa China berada di posisi tertinggi
jumlah pengguna internetnya dengan 477 juta pengguna, lalu disusul India 100
juta pengguna, Jepang 99,2 juta pengguna, Indonesia 39,6 juta pengguna, Korea
Utara 39,4 juta, Filipina 29,7 juta pengguna, Vietnam 27,9 juta, Pakistan 20,4
juta pengguna, Thailand 18,3 juta pengguna dan Malaysia 16,9 juta pengguna.
Ketiga, pertumbuhan internet yang cepat di Indonesia.
Menurut versi www.internetworldstat.com
jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2011 adalah 39,6 juta pengguna.
Meksipun jumlah menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika sudah berada
dikisaran 45 juta di tahun 2011. Sementara Lembaga
riset Business Monitor International memprediksi pengguna internet di Indonesia
akan mencapai 153 juta pada 2014 mendatang. Lonjakan pesat dalam tiga tahun ke
depan itu sangat beralasan jika melihat tren industri teknologi informasi,
telekomunikasi, dan internet belakangan ini yang berkembang pesat di semua
segmen, baik dari sisi teknologi perangkat maupun konten seperti YouTube,
Video Streaming, e-banking, m-banking, video on demand, music
on demand, dan lainnya.Seiring dengan melonjaknya pengguna internet dan mobile,
Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara yang paling 'terhubung' di
dunia dengan 41 juta pengguna Facebook, 4,8 juta pengguna Twitter,
keempat terbesar di dunia, dan salah satu yang terbesar dalam penggunaan blog.
Tercatat hingga Oktober 2010 sudah ada 3,2 juta blogger yang memposting
lebih dari 4,1 juta blog.
Internet
sebagai medium baru yang telah dirasakan di Barat sejak 1980-an dan di Asia
termasuk Indonesia pada tahun 1990-an. Saat Indonesia di bawah Rezim Soeharto,
negara dikelola secara hegemonik dengan menonjolkan karakternya sebagai bureaucratic politiy.[14]
Era media baru juga menyentuh kehidupan demokrasi di Indonesia. Ketika Internet
mulai booming di era 1990-an, Internet menjadi sarana alternatif dalam
kaitannya mengatasi disrupsi penyampaian pesan akibat adanya kekangan ketat
pada masa Rezim Soeharto. Kita bisa melihat betapa majalah Tempo yang dibredel
pada 1994 akibat laporan kritisnya tentang pembelian kapal perang eks-Jerman,
ternyata masih bisa menyiasati untuk tetap hadir ke pembaca secara online lewat Tempo Interaktif. Bahkan
lewat internet ini, Tempo Interaktif
turut berandil secara konsisten dan kritis melaporkan “ketidakberesan” pemerintah yang sedikit
banyak berkontribusi pula pada kejatuhan Soeharto pada 1998.
Pada 1994, sebuah discussion mailist “Indonesia-L”, atau lebih dikenal dengan nama
Apakabar, yang dimoderatori oleh John
MacDougall dari Maryland, AS, disebut oleh kalangan aktivis dan LSM sebagai
sarana efektif bagi diseminasi informasi dan sumber berita yang luput dari
sensor (Sen & Hill, 2007). Bahkan pada 1996, terutama saat terjadi indisen
kerusuhan imbas dari penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli, mailist Apakabar menjadi salah satu garda
terdepan yang menampilkan detail kronologi kejadian. Segala laporan peristiwa,
termasuk kerusuhan menjelang kejatuhan Soeharto juga banyak ditampilkan di
mailist yang saat itu memiliki anggota menembus 13.000 orang yang kebanyakan
adalah orang Indonesia yang tinggal di Tanah Air[15]
C. Internet dan
Politik
Penggunaan internet untuk kegiatan politik kini semakin marak. Hal ini
terkait dengan beberapa faktor.
Pertama, sistem politik berjalan kian demokratis. Kondisi
yang diperoleh pasca gerakan reformasi ini memungkinkan tumbuh kembangnya
kebebasan pers, kebabasan berkumpul dan menyatakan pandangan baik lisan
maupu tulisan. Kebebasan itu pula yang
telah menyebabkan setiap orang dapat mengakses dan menggunakan internet guna
mengartikulasikan ide, gagasan, pemikiran, ajakan, protes, himbauan bahkan juga
tekanan kepada kekuasaan. Fenomena ini, dengan sendirinya memunculkan ruang
publik baru (new public sphere) dalam
proses penguatan demokrasi di dunia cyber.
Tidak berlebihan jika kita menyebut fenomena komunitas
virtual di web jejaring sosial seperti Facebook
ini sebagai bentuk kontemporer dari ruang publik (public sphere). Konsep ruang publik pada awalnya bermula dari
sebuah esai Jurgen Habermas (1962), filsuf kritis generasi kedua dari aliran Frankfurt berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai
tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor
dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai ruang publik, yakni semua wilayah
yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang
relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni
praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah
sosial yang memiliki dampak luas pada khalayak. Penekanannya pada pembentukan
kepekaan (sense of public), sebagai
praktik sosial yang melekat secara budaya.[16]
Internet termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat
menjadi perantara terbentuknya struktur masyarakat emansipatif dan bebas dari dominasi.
Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan. Jika Habermas mengangkat prototype obrolan di coffe
house (Inggris) abad 18, salon (Prancis) dan tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik, maka sekarang ini
komunitas virtual dapat kita katakan sebagai ruang publik.
Melihat kenyataan tersebut, jelas era pembicaraan ruang
publik dalam arti face-to-face sudah
bergeser. Oleh karena hal tersebut, Mark Poster menulis Cyberdemocracy : Internet and the Public Sphere (dalam David
Porter) mengatakan, apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen
dimana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, telah terabaikan dalam arena
publik elektronik. Komunitas virtual seperti terdapat di electronic cafes, bulettin
board, milist, blog, forum
interaktif web personal, web jejaring sosial telah menjelma menjadi harapan
baru ketersediaan ruang publik yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi
tanpa dominasi. Media massa baik cetak maupun elektronika karena alasan-alasan
regulasi pasar, represi pemilik modal dan intervensi kepentingan politik negara
kerap tak mampu lagi memerankan diri sebagai ruang publik secara optimal. Oleh
karenanya, komunitas virtual harus tetap mampu menggerakan publik untuk
senantiasa menyuarakan keadilan dan kebenaran tanpa dominasi. Sebuah wujud
ekspresi dari kesadaran substantif.[17]
Kedua, kian majunya ICT (Information and Communication Technology) dan media massa. Era konvergensi media memudahkan bangsa Indonesia
untuk mengakses informasi. Melalui berbagai layanan penyedia atau mesin pencari
informasi (search engine) misalnya,
sangatlah mudah bagi kita memperoleh informasi mengenai lingkungan kita. Media
cetak, televisi dan radio di Indonesia, kini rata-rata telah mengintegrasikan
diri ke dalam sistem online. Hal ini
kian memudahkan penyebaran informasi di masyarakat termasuk informasi politik.
Fenomena
kontemporer dalam perkembangan internet yang menarik minat peneliti adalah
tumbuh dan menguatnya ruang publik baru (new
public sphere) di komunitas virtual terutama berkenaan dengan demokrasi
melalui proses konvergensi simbolik di situs jejaring sosial (social network sites) dan weblog interaktif. Situs jaringan sosial
merupakan situs pertemanan yang menghubungkan satu orang dengan orang lain
dalam satu komunitas dunia maya (virtual).
Situs ini memanfaatkan jejaring untuk kembali berkumpul dengan teman dekat,
kerabat, rekan kerja, teman yang memiliki kesamaan minat, ideologi dan platform gerakan.Sebenarnya situs jaringan sosial itu tidak
hanya Facebook ada 10 situs lain yang
ada di dunia virtual saat ini antaralain: MySpace,
Windows Live Spaces, Friendster, Hi5, Flicker, Orkut, Flixter, Multiply dan
Netlog. Namun yang paling banyak
digunakan tidak hanya di Indonesia melainkan juga di dunia adalah Facebook.
Selain situs jaringan sosial, yang menonjol sekarang ini
juga adalah trend penggunaan weblog interaktif
yang biasanya berbentuk Bulletin
Electronic Systems. Weblog ini
memungkinkan para partisipan mengirimkan pesan dan mendiskusikan sebuah topik
dengan intensif, sehingga biasanya memunculkan diskursus. Salah satu weblog yang aktif saat ini misalnya
adalah Weblog Kompasiana (www.kompasiana.com).
Berbagai topik sosial politik hangat diperbincangan diantara para partisipan
dari berbagai kalangan, mulai dari jurnalis, politisi, mahasiswa, aktivis LSM,
akademisi, pensiunan jendaral dll.
Situs jejaring sosial (social network site) maupun weblog
interaktif, kini sama-sama menunjukkan perannya yang menguat untuk menjadi
ruang publik (public sphere) bagi
komunitas virtual. Misalnya saat terjadi konflik KPK vs Polri dan skandal Bank
Century, muncul perbincangan, tekanan, protes dan akhirnya ajakan menjadi
gerakan aktual di kehidupan nyata. Di Facebook
muncul akun (account) “Gerakan
Satu Juta Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan
Bibit Samad Riyanto” yang anggotanya melebihi sejuta pengguna. Setelah itu, muncul juga “Gerakan Dua Juta Facebookers Dukung
Penuntasan Kasus Bank Century”. Dukungan atas gerakan-gerakan tersebut,
meluas dan dalam waktu singkat bisa menyatukan banyak orang dalam satu
komunitas simbolik di dunia maya. Inilah potret kemunculan ruang publik (public sphere) kontemporer yang telah
mengakomodasi ekspresi serta partisipasi politik individu warga negara secara
leluasa. Diskusi-diskusi politik yang sangat intensif juga bisa kita temuka di
grup Facebook Forum Indonesia Sejahtrera (FIS) yang memiliki akun http://www.facebook.com/groups/info.fis/.
Komunitas jejaring sosial di dunia maya ini pun telah memberi tekanan pada
tindakan sewenang-wenang atas Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang. Kita mungkin
masih ingat kasus yang menimpa Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional.
Saat itu, muncul dukungan bagi Prita
lebih dari 19.000 Facebookers, melampaui target awal pembuatnya yakni 7.500
simpatisan. Hasilnya, muncul empati meluas pada sosok Prita, hingga dia
memiliki kekuatan luar biasa untuk berhadap-hadapan dengan korporasi yang telah
menjeratnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Begitu pun
gerakan “Koin untuk Prita” sukses melampaui angka 204 Juta sebagaimana diminta
oleh RS Omni.
Ada empat argumentasi mengapa bahasan new public sphere (ruang publik baru) di
komunitas virtual ini menarik. Pertama, komunitas virtual akhir-akhir
ini menunjukkan identitasnya sebagai komunitas pengontrol sekaligus juga
kelompok penekan. Muncul fenomena
kesadaran kelompok dari public attentive
(publik berperhatian) yang kian adaptif dengan kemajuan ICT (Information and
Communication Technology) terutama terkait dengan dunia virtual. Dengan meningkatnya jumlah public attentive atau komunitas yang
sudah berperhatian terhadap berbagai isu politik yang berkembang, maka kian
hari komunitas virtual ini kian memiliki kekuatan signifikan. Interaksi mereka
di dunia maya, tak dapat diintervensi oleh negara (state) maupun didominasi oleh pasar (market).
Kedua, komunitas virtual itu tak terbatasi (borderless) oleh keterpisahan tempat,
waktu, ideologi, status sosial ekonomi maupun pendidikan. Saat seseorang
melakukan interplay dengan anggota
lain di komunitas, maka hubungannya jauh lebih fleksibel karena bisa
berhubungan kapan saja dan dari mana saja. Tak ada lagi zona proksemik seperti
pernah digagas Edward Hall (dalam West dan Turner) [18],
yang membagi antara jarak intim (0-18 inci/46 cm), jarak personal (46 cm-1,2 m),
jarak sosial (1,2 m -3,6 m) jarak publik (melampaui 3,7 m). Dengan adanya situs
jejaring sosial dan weblog interaktif
, nampak bahwa komunikasi tak lagi berjarak fisik seperti itu. Setiap anggota
komunitas bisa mengekspresikan berbagai hal secara lebih bebas, fleksibel dan
bisa sangat personal. Sehingga ekspresi emosi masing-masing indvidu lebih
terakomodasi dibanding hanya membaca hasil reportase jurnalis media massa
tradisional.
Ketiga, memungkinkan
terbentuknya kesadaran kelompok bersama (shared
group conciousness). Setiap orang dapat berinteraksi, bertukar isu,
menciptakan tema-tema fantasi dan visi retoris yang dapat membentuk kesadaran
kelompok terbagi. Misalnya saja, tema skandal Bank Century, konflik cicak vs buaya
dalam proses kriminalisasi KPK, penolakan RPM Konten, dll., dengan sekejap
menjadi tema-tema yang membangkitkan kesadaran publik. Pada saat media massa
memublikasikan tema-tema kesadaran itu, biasanya keterhubungan individu masih
bersifat artifisial. Hal itu, akan diperteguh dan lebih personal pada saat dia
terhubung dengan komunitas virtualnya.
Keempat, dinamika komunitas jejaring sosial itu unik
karena memiliki karakteristik yang cair, kebebasan individu yang sangat besar
dan sangat mungkin digunakan oleh siapa saja untuk kepentingan apa saja.
Ekspresi di internet termasuk di situs jejaring sosial dan weblog interaktif
sangat beragam. Dari sudut topik perbincangan, ada komunitas yang sangat intens
mendiskusikan topik-topik serius tetapi juga banyak yang hanya berbagi
hal-hal sepele dan dangkal. Dari segi
identitas penggunanya pun beragam, mulai dari yang terang-terangan dengan jati
diri mereka (real user) hingga yang bersembunyi di balik akun-akun palsu
atau kloningan. Aktivitas mereka di dunia maya juga membentuk tipologi-tipologi
tertentu, ada yang publisist, disseminator, propagandist, hacktivist
dll. Keragaman itu tentu sangat menarik untuk diteliti guna menjadi sebuah
studi kasus yang unik mengenai eksistensi komunitas-komunitas virtual.
Tabel 2
Tipologi Pengguna Internat untuk Kepentingan Politik
DISEMINATOR
|
PUBLISIST
|
PROPAGANDIS
|
HACTIVIST
|
Isu harian, isu strategis dan isu Jangka panjang
|
Isu Personal/lembaga
|
Isu Strategis
|
Isu sensitif
|
Sharing and Connecting
|
Eksistensi diri
|
Delegitimasi atau legitimasi
|
Perlawanan Terhadap rezim kekuasaan politik dan ekonomi
|
Diseminasi dan Literasi (pemikiran, ideologi, sikap dll)
|
Mengkonstruksi Citra
|
Membuat partisipasi aktif atau pasif
|
Meretas atau membobol informasi rahasia
|
Internet modern ini bisa menjadi salah satu saluran pokok dalam komunikasi
politik. Denton dan Woodward, mendefinisikan komunikasi politik sebagai diskusi
yang murni membicarakan tentang pengalokasian sumberdaya-sumberdaya (resources), kewenangan resmi seseorang
yang diberi kekuasaan (untuk membuat peraturan, keputusan legislatif dan
eksekutif) dan sangsi-sangsi resmi (dari apa yang negara berikan berbentuk reward atau hukuman). [19]
Dengan demikian, dalam perspektif Denton dan Woodward, komunikasi politik
dipahami dalam karakteristik tujuan (intentions)
pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik (the political environment). Tentu saja, komunikasi politik bukanlah
sebuah proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang memerlukan
pembahasan mendalam baik dari aspek teoritik maupun paktik.
Jika Danton dan Woodward mensifati komunikasi politik dengan istilah The intentionality of political
communication, maka Brian McNair menyebut komunikasi politik sebagai purposeful communication about politics.
Hal ini meliputi :
- Segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh para politisi dan aktor-aktor politik lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan khusus.
- Komunikasi yang ditunjukkan kepada aktor-aktor politik oleh orang-orang yang bukan politisi misalnya para pemilih (voters) dan kolumnis-kolumnis di media massa
- Komunikasi tentang aktor-aktor politik dan aktivitas mereka yang dipublikasikan dan menjadi isi laporan berita, editorial, dan bentuk diskusi politik lainnya di media massa.[20]
Pemanfaat
internet dalam politik komunikasi politik menjadi penting terutama dalam
konteks artikulasi, agregasi kepentingan politik baik dari kelompok masyarakat
biasa, kelompok berperhatian (attentive public) maupun kelompok elit.
Sebagai
contoh dari tipologi-tipologi penggunaan internat untuk kepentingan politik di
atas dapat kita temukan dinamikanya pada contoh berikut
Tabel 3
Contoh Kasus Penggunaan Internet
TIPOLOGI
|
CONTOH
|
AKTIVITAS
|
HASIL
|
Diseminator
|
Cicak vs Buaya
|
Dukung Bibit-Chandra
|
Dukungan untuk KPK
|
Publisist
|
Laman FB Para Politisi
|
Marketing Politik
|
Popularitas/elektabilitas
|
Propagandist
|
Whail Ghonim
|
'We are All Khaled Said'
|
Revolusi 2.0 di Mesir
|
Hactivist
|
Julian Assange dan Wikileaks
|
Membobol kawat diplomatik AS
|
Publikasi Informasi Rahasia
|
D. Tantangan
Dari sejumlah hal positif terkait dengan keberadaan internet tersebut,
dalam praktiknya muncul sejumlah tantangan terutama dalam implementasi internet
sebagai ruang publik baru yang efektif.
Pertama, menyangkut aksesibilitas
internet. Harus diakui akses terhadap intenet ini masih belum merata di segala
level sosial masyarakat Indonesia karena hanya terkonsentrasi pada golongan
tertentu. Bagaimana mungkin mengharapkan partisipasi aktif publik melalui media
baru ini jika akses mereka terhadao teknologi baru ini terhambat. Padahal bagi
publik yang sudah terkoneksi internet saja masih belum tentu menggunakan medium
itu dalam kaitan partisipasi aktif proses demokrasi.
Kedua, masih lemahnya diskursus online. Tanpa adanya tradisi diskursus online ini, seperti diingatkan Hurwitz
(2003), maka usaha-usaha untuk mengorganisasi aksi politis secara online hanya
akan sia-sia dan menyebabkan konstituen makin terfragmentasi hingga gagal
mengkonsolidasi opini publik.[21]
diskusi di internat kerap bersifat common sense
sehingga harus disikapi secara hati-hati dan diverifikasi secara ilmiah. Sering
kita melihat di banyak diskusi politik di internet apakah di jejaring sosial
atau di weblog interaktif, diskusi tidak jelas arahnya, asal dan tidak
berorientasi pada penguatan diskursus.
Ketiga, belum tentu diakui secara formal. Banyak sekali diskusi politik di intenet,
tetapi tidak banyak yang muncul ke permukaan sebagai representasi suara
masyarakat. Situs jejaring sosial maupun weblog interaktif memang bukan
institusi media yang terlembagakan, sifatnya cair dan cenderung mempribadi.
Oleh karenanya kerap tidak didengar sebagai suara rakyat. Pengakuan atas suara
para netizen itu akan menguat seiring adanya proses konvergensi simbolik dengan
menyuarakan suara berasama-sama dan intensif menginisiasi gerakan-gerakan yang
tidak hanya melalui komunitas virtual, melainkan juga bersinergi dengan media
mainstream atau kelompok-kelompok penekan (pressure group) di masyarakat.
Keempat, tidak terdapat batasan dan standar baku dalam proses interaksi yang berlangsung
di dunia maya. Sangat mungkin sesorang menyebut identitas dirinya dengan
identitas palsu dan melakukan serangan-serangan kepada pihak lain menggunakan
data-data yang sulit diverifikasi. Di dunia online, tidak bisa menggunakan paradigma skeptis. Artinya
kalau kita memandang semua orang akan berbohong dan mencurigai setiap orang,
maka tentu interaksi tidak akan bisa berjalan. Di dunia online, berbeda
dengan di konvensional media karena informasi bisa jalan terlebih dulu dan data
akan terverifikasi dengan sendirinya. Oleh karenanya penting mengedukasi para
netizen mengenai tanggungjawab atas apa yang dibuat dan didistribusikan kepada
para netizen lainnya.
Kelima, interaksi di internet juga kerap miskin solusi. Maksudnya banyak hal
dibahas, tetapi sangat sedikit yang menawarkan solusi. Jika pun ada tawaran
solusi lebih banyak sekedar tulisan dan bisa jadi tidak diperhatikan oleh pihak
lain. Jika tidak ada kanal-kanal khusus dan membentuk sebuah komunitas yang
intensif berdiskusi serta melakukan pertemuan-pertemuan “kopi darat”, apa yang didiskusikan
di internet juga kerapkali hanya sebatas ‘bubble politics”. Kesimpulan
tidak bisa diambil berdasarkan suatu kesepakatan di antara para netizen,
kecuali memang diikuti dengan perjumpaan-perjumpaan di antara mereka yang
memiliki perhatian pada isu-isu tertentu.
F. Penutup
Pembahasan tentang
internet memang akan terus menjadi kajian yang menarik dan dinamis. Sangat
mungkin muncul beragam dinamika baru baik menyangkut teknologi komunikasi yang
ditemukan, maupun isu-isu yang memanfaatkan internet sebagai basis
aktualisasinya. Tentu, makalah ini tidak bisa membahas semua hal menyangkut
dinamika komunikasi politik di new media. Oleh karena itu, semoga tulisan ini
menjadi salah satu stimulan dan menjadi bahan diskusi untuk terus dikembangkan
oleh berbagai pihak. Terimakasih. (**)
Daftar Pustaka
Dominic, Joseph R. 2009. The Dynamics
of Mass Communication. 10th edition. New York: McGraw Hill
Denton, R.E. & Woodward, G.C. 1990. Political
Communication in America, New York : Praeger
Heryanto, Gun Gun. 2011. Dinamika
Komunikasi Politik. Jakarta:
PT. Lasswell Visitama
Hurwitz, Rogers. 2003. “Who needs
Politics? Who Needs People? The Ironies of Democracy in Cyberspace” dalam Democracy and New Media. Ed.
Henry Jenkes dan David Thorburn. 2003. MIT Press-Cambridge
Habermas, Jurgen.1993. The Structural Transformation of The Public Sphere An Inquiry into a
Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger. Cambridge
Massachusetts : MIT Press
Hill, David T and Krishna
Sen. 2007. Media,
Culture and Politics in Indonesia. South Melbourne: Oxford University
Press
McNair, Brian. 2003. An Introduction to
Political Communication, London:
Routledge
Nur Hidayat, Dedy. dkk.(ed.).2000. Pers dalam
Revolusi Mei. Jakarta : PT. Gramedia.
Pavlik, Johan V. 1996. New Media Technology, 2nd edition. Columbia: Columbia University
Porter, Porter. 1997.
Internet Culture. London:
Routledge
Tedesco, John C. 2004. “Changing
The Channel: Use of the Internet for Communicating about Politics”. In Lee
Kaid, Lynda (ed.). Handbook of Political Communication Research.
London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers
Wood, Andrew F.& Smith, Matthew J. 2005. Online Communication. 2nd Edition. London : Lawrence Erlbaum
Associates Publishers. p.41
West, Richard and Turner, Lynn H.2008. Pengantar
Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika
Sumber Online:
http://www. internetworldstat.com/stats3.htm
htttp://www.arts.monash.edu.au
[2] Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Tetap Komunikasi
Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Email: gun_heryanto@yahoo.com Twitter:
@goenheryanto
[3] Wood, Andrew F.& Smith, Matthew J. 2005. Online Communication. 2nd Edition. London : Lawrence Erlbaum
Associates Publishers. p.41
[5] Dominic, Joseph R. 2009. The Dynamics
of Mass Communication. 10th edition. New York: McGraw Hill
[6] Ward, Ian dan Cahill, James. Old and New Media: Blogs in The Third Age of
Political Communication, The
University of Quensland., htttp://www.arts.monash.edu.au
diakses pada 10 Juni 2014.
[7] Heryanto, Gun Gun. 2011. Dinamika Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Lasswell
Visitama. hlm. 275-276.
[8] Tedesco, John C. 2004. “Changing The
Channel: Use of the Internet for Communicating about Politics”. In Lee Kaid,
Lynda (ed.). Handbook of Political Communication Research. London : Lawrence
Erlbaum Associates Publishers. p. 510
[11] Tedesco, John C. 2004. “Changing The Channel: Use of the
Internet for Communicating about Politics”. In Lee Kaid, Lynda (ed.). Handbook of Political Communication Research. London : Lawrence Erlbaum
Associates Publishers. p. 513
[12] Lee
Han Shih. Obama, China’s youth find allies in Social Network. Melalui http://www.asia-inc.com
diakses pada 26 Februari 2009, pkl.
15.00 WIB
[13] http://www.internetworldstats.com/stats3.htm
diakses pada 10 Januari 2012 pukul
14..30 WIB
[14] Bureaucratic
polity
merupakan istilah yang digunakan Karl D Jakson dalam menganalisis pola hubungan
kekuasaan dan komunikasi rezim Orde Baru. Secara koseptual bureaucratic Polity dapat dibedakan dari jenis rezim lainnya dari segi keterpisahan antara elite birokrasi
negara dan masyarakat di luar struktur birokrasi, dan dari aspek kapasitas para
elite politik eselon tertinggi untuk mengisolir pengambilan keputusan
–khususnya keputusan di tingkat nasional-dari pengaruh kekuatan-kekuatan sosial
politik di masyarakat. Dalam pengambilan keputusan, partisipasi masyarakat
kurang dilibatkan secara berkelanjutan. Yang menonjol justru mobilisasi
pelaksanaan kebijakan dari atas berdasarkan kewenangan tradisional dan hubungan
patron clients. Nur Hidayat, Dedy. dkk.(ed.).2000.
Pers dalam Revolusi Mei. Jakarta :
PT. Gramedia.
[15] Hill, David T and Krishna Sen. 2007. Media,
Culture and Politics in Indonesia. South Melbourne:
Oxford University Press
[16] Habermas, Jurgen.1993. The Structural Transformation of The Public
Sphere An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by
Thomas Burger. Cambridge Massachusetts : MIT Press
[17] Porter, Porter. 1997. Internet Culture. London: Routledge. p. 201-108
[18] West, Richard and Turner, Lynn
H.2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba
Humanika. Hlm.155-157.
[20] McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, London: Routledge, p. 4
[21] Hurwitz,
Rogers. 2003. “Who needs Politics? Who Needs People? The Ironies of Democracy
in Cyberspace” dalam Democracy and New
Media. Ed. Henry Jenkes dan David Thorburn. 2003. MIT Press-Cambridge.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Dinamika Komunikasi Politik
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/dinamika-komunikasi-politik-di-era-new.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5