-->

Dinamika Komunikasi Politik

Posted by Unknown Jumat, 01 Februari 2013 0 komentar

Dinamika Komunikasi Politik
di Era New Media[1]

Oleh: Gun Gun Heryanto[2]

Hal menarik dalam komunikasi politik kontemporer di dunia dan juga di Indonesia adalah fenomena penggunaan media baru (new media) yakni internet sebagai media atau saluran komunikasi yang semakin intensif digunakan. Para aktor politik baik politisi (wakil maupun ideolog), figur politik, birokrat, aktivis kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group) maupun jurnalis media massa, saat ini semakin adaptif dengan penggunaan internet baik sifatnya statis maupun dinamis. Terlebih setelah terjadinya trend web 2.0 yang memperbaharui kelemahan-kelemahan web 1.0 dalam konteks distribusi pesan secara lebih interaktif. Dinamika Komunikasi politik pun banyak dipengaruhi oleh partisipasi para netizen yang tidak hanya berbagi pesan tetapi menjadikan internet sebagai ruang publik baru (new public sphere).



Key words: Media Baru, Komunikasi Politik, Demokrasi Cyber


A. Pendahuluan

Semakin hari pengguna internet di Indonesia semakin banyak, penggunaanya pun semakin meluas mulai dari hanya sekedar kepentingan pribadi, bisnis-komersial hingga urusan politik. Kita bisa melihat misalnya fenomena marketing politik di Indonesia baik untuk Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Internet menjadi bagian utuh dari saluran penting dalam bauran promosi (promotion mix) kandidat. Kampanye politik tidak lagi sekedar memanfaatkan above line media (seperti televisi, koran, majalah, radio, tabloid) dan below line media (seperti brosur, pamplet, spanduk dll.), melainkan juga memanfaatkan new media dalam hal ini intenet. Melalui internet berbagai informasi, sosialisasi gagasan, ajakan, tuntutan hingga protes dan usulan alternatif kebijakan dapat dipublikasikan dan dipertukarkan dengan waktu yang relatif lebih cepat dibanding melalui media cetak atau media penyiaran (broadcasting). Interkoneksi sesama warganegara atau hubungan antara infra dan suprastruktur dalam sistem politik dapat berjalan tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu.
Newhagen & Rafaeli sebagaimana dikutip oleh Wood & Smith mengidentifikasi karakteristik yang membedakan internet dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya. karakteristik tersebut antara lain multimedia dan interactivity . Karakteristik multimedia dapat kita pahami sebagai medium dengan beragam bentuk konten yang meliputi perpaduan teks, audio, image, animasi,video, dan bentuk konten interaktif.[3] Sementara interactivity memungkinkan seseorang untuk membuat pesan mereka sendiri, memublikasikan konten mereka, atau terlibat dalam interaksi online.[4]
Terlebih saat ini kita juga mengenal dukungan teknologi seperti Bulletin Board Systems (BBSs) Text Chat, Multi-User Domain or Dungeons (MUDs), Graphical Worlds dll. Misalnya sekarang ini kita mengenal banyaknya situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Netlog dan lain-lain yang memungkinkan kita untuk berinteraksi secara lebih intensif. Morris dan Ogan berpendapat, bahwa media massa tradisional seperti surat kabar dan televisi menunjukkan bahwa antara pembuat pesan dan khalayaknya digambarkan sebagai hubungan satu arah one-to-many-relationship, sementara internet dapat dilihat sebagai sarana komunikasi one-to-one seperti dalam e-mail, one-to-many  dan many-to-one 
Yang perlu digarisbawahi dari perkembangan internet kini bahwa media baru ini telah bermigrasi dari sekedar media berbasis read-only web (era web 1.0) menjadi participatory web (era web 2.0) di mana sifatnya telah menjadi user-generated content—artinya publik sendiri yang mengkreasi konten.   Dari situlah muncul fenomena media sosial atau citizen media yang melibatkan partisipan lebih banyak dan lebih bebas. Hal ini semakin membuat internet memiliki peran tersendiri yang cukup unik dalam dinamika komunikasi politik modern.
Dalam pandangan Joseph R. Dominic,  dalam bukunya The Dynamics of Mass Communication (2009), internet generasi pertama atau web 1.0 hanya memungkinkan penggunanya sebagai konsumen dari konten internet, sedangkan pada internet generasi kedua atau web 2.0 para penggunanya bisa membuat atau berbagi konten.[5] Singkatnya, web 1.0 bersifat statis sementara yang  2.0 besifat dinamis. Interaksi pengguna dan web master tak lagi hanya satu arah. Hampir keseluruhan sistem baru dari interaksi sosial sudah maju, mencakup Really Simple Syndication (RSS feeds), dan juga penggunaan situs jaringan sosial.
Dilihat dari perspektif komunikasi politik, hal ini kian menunjukkan eksistensi generasi baru pemanfaatan internet secara intensif dan masif dalam politik. Satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication menyebutnya sebagai era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga.[6] Generasi pertama banyak memanfaatkan kekuatan face-to-face informal. Generasi kedua bersandar pada penguasaan media-media mainstream seperti tv, koran, radio, majalah dan lain-lain sehingga memunculkan adagium “siapa menguasai media maka akan menguasai dunia”. Sementara generasi ketiga pada kekuatan interaktivitas dan basis multimedia yang memungkinkan orang saling bertautan tanpa harus bertemu secara fisik sebelumnya.[7]

B. Konteks Dinamis
Penggunaan internet dalam komunikasi politik  yang semakin meluas tentu tidak bisa kita lepaskan dari lingkungan dinamis yang terjadi di dunia, di kawasan Asia dan di Indonesia sendiri. Paling tidak kita bisa mengidentifikasi 4 faktor yang berpengaruh terhadap semakin intensifnya penggunaan internet dalam komunikasi politik di Indonesia.
Pertama, internet menjadi sebuah media baru yang revolusioner di dunia karena merupakan “perkawinan” antara media cetak, audio, dan video yang menawarkan komunikasi dua arah. Menurut Margolis, Resnick, dan Tu sebagaimana dikutip Tedesco, internet disebut revolusioner karena sedikitnya kontrol informasi atau gatekeeping yang merupakan karakteristik media cetak tradisional dan media penyiaran. Dengan demikian internet menjadi media yang tidak dapat dikendalikan siapapun, termasuk pemerintah yang berkuasa.[8]
Saat ini, menurut data resmi terakhir yang dilansir pada 31 Maret 2011 oleh www.internetworldstat.com menyebutkan data jumlah pengguna (user) internet di dunia adalah 2.095.006.005 dari total populasi warga dunia 6.930.055.154.  Ada pun perinciannya adalah sebagai berikut. Jika melihat data maka pengguna internet di Asia yang 922,329,554 merupakan jumlah yang terbesar jika dibanding kawasan lain. 44,0 persen dari pengguna internet dunia ada di Asia sementara 56,0 persen lainnya  tersebar di kawasan lain yakni: di Afrika ada 118.609.620 pengguna (5,7 persen) di Eropa ada 476.213.935 pengguna (22,7 persen), di Timur Tengah ada 68.553.666 pengguna (3,3 persen), di Amerika Utara ada 272.006.000 pengguna (13,0 persen), di Amerika Latin ada  215.939.400 pengguna (10,3 persen), dan di Oceania/Australia ada 21.293.830 (1,0 persen).  Dengan demikian pertumbuhan pengguna internet di Asia dalam retang tahun 2000-2011 adalah 706,9 persen. Jika pada tahun 2000 pengguna internet di Asia hanya 114. 304.000 maka pada Maret 2011 sudah di angka 922.329.554 pengguna internet.



Tabel-1
Statistik Penggunaan dan Populasi Internet Di Dunia
(Data hingga 31 Maret 2011) [9]
Berikut ini gambar prosentase pengguna internet di Asia jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain di dunia.
Gambar-1
Prosentase Pengguna Internet di Dunia[10]
Kampanye Bill Clinton pada tahun 1992 menjadi kampanye poltik pertama yang menyebarkan teks pidatonya lewat internet. Sementara menurut Hacker (1996) manajemen Clinton-Gore adalah yang pertama menggunakan internet untuk mengenalkan demokratisasi elektronik. Manajemen Clinton mulai menyebarkan press release dan informasi lewat internet pada 20 Januari 1993. Pada tahun 1996 rangkaian pemilihan politik semua kandidat presidensial, kandidat parlemen Amerika, lebih dari 1.500 orang dari beragam tingkat, dan banyak kelompok terlibat dengan “kehadiran” online.[11]
Sejarah politik dunia juga tentu akan mencatat kontribusi online terhadap keberhasilan Obama menjadi Presiden Amerika Serikat. Barack Obama membentuk tim khusus kampanye dunia maya yang dinamai triple O alias Obama’s Online Operation . Tim ini melakukan gerilya ke beberapa situs jaringan sosial seperti Facebook, MySpace, Twitter, dan My.BarackObama.com bahkan ke jejaring sosial yang sifatnya spesifik untuk komunitas Asia, Hispanik, Afro-Amerika, yaitu AsianAve, Migente, dan Blackplanet. Hingga Bulan Juli 2008, kampanye online Obama mampu mengumpulkan lebih dari 200 Juta Dollar Amerika atau sekitar 1,9 Triliun. Selain bentuk donasi yang diperoleh Obama dari Online juga berbentuk dukungan yang penting untuk mendongkrak popularitasnya.
Lee Han Shih menulis bahwa Facebook  memfasilitasi Obama untuk menggerakan massa pendukungnya. Seperti yang dilakukan salah satu pendukung Obama, Faroukh Olu Aregbe pada tahun 2007. Pemimpin pelajar kulit hitam di University Of Missouri ini membentuk group yang dinamakan “One Million Strong For Obama” melalui Facebook. Aregbe mengundang teman-temannya untuk bergabung dengan grup tersebut. Teman-teman Agrebe juga mengajak teman-teman lainnya untuk bergabung di grup tersebut hingga anggotanya terus bertambah. Dalam satu jam, Agrebe berhasil mengumpulkan 100 anggota. Dalam lima hari jumlahnya bertambah hingga sepuluh ribu orang. Sedangkan dalam sebulan pertama jumlah anggotanya mendekati 300.000 orang dari seluruh Amerika Serikat. Grup “One Million Strong For Obama” merupakan kelompok kunci atau utama dalam kampanye Obama. Pidato-pidato Obama yang inspiratif diunggah ke dunia maya sehingga Obama dalam waktu sekejap populer di seluruh dunia. [12]
Di Mesir Wael Ghonim memulai gerakan oposisi di Facebook pada Juni 2010. Pada 6 Juni 2011, seorang blogger Mesir bernama Khaled Said tewas mengenaskan karena dianiaya polisi Mesir. Penyebabnya, Khaled mengunduh rekaman video yang memperlihatkan polisi tengah bagi-bagi mariyuana hasil penyitaan di lapangan. Kematian Khaled memicu kohesivitas para user internet lainnya. Saat itu, Ghonim membuat akun Facebook 'My Name is Khaled Said'. Kemudian Ghonim yang memiliki nama maya ElShaheed membuat akun Facebook baru bernama 'We are All Khaled Said'. Ghonim mengunggah foto-foto Khalid Said dan dalam sekejap Facebook itu memiliki 450 ribu anggota. Di Facebook 'We are All Khaled Said' itu pula Ghonim merencanakan aksi demonstrasi pada 25 Januari 2011. Apa yang digalang Ghonim dan Facebookers lainnya memompa semangat para kaum muda berdemonstrasi di jalanan.
Jika revolusi di Cekoslovakia yang menumbangkan rezim Gust-v-Hus-k tahun 1989 dikenal sebagai Revolusi Beludru, revolusi di Ukraina tahun 2004 yang melengserkan Leonid Danylovych Kuchma disebut sebagai Revolusi Oranye, maka revolusi di Mesir merujuk pada perkataan Wael Ghonim menyebut gerakannya sebagai Revolusi 2.0.  David D Kirkpatrick dan David E Sanger di The New York Times (13/2/2011) mengelaborasi peran sharing informasi di antara para aktivis demonstran Tunisia dan mesir melalui Facebook. Mulai dari berbagai strategi menghadapi dan bertahan dari serangan petugas keamanan di saat demonstrasi, hingga teknik menghindari aksi mata-mata pemerintah.
Kedua, Indonesia juga terpengaruh oleh  dinamisasi penggunaan internet yang terjadi di Asia. Jika pada tahun 2000 pengguna internet di Asia hanya kurang lebih 114.304.000 pengguna maka pada tahun 2011 jumlah pengguna menjadi 932.393.209 dari jumlah populasi 3.879.740.877. Penetrasi internet terhadap populasi di kawasan Asia pada tahun 2011 adalah 24 persen. Di Cina, Jepang, dan Korea Selatan internet berperan dalam proses demokrasi. Di Cina, internet menjadi kendaraan politik pemerintah Cina, dimana 80 persen departemennya harus memiliki website sebagai bagian dari “Government Online Project”. Sementara partai-partai politik di Jepang mengeksploitasi internet sebagai sarana baru untuk berkomunikasi dimana pada pemilu legislatif tahun 1995, 40 dari 242 politikus membuat website kampanye. Sedangkan di Korea, internet berperan dalam pemilu tahun 2002 dimana pendukung kandidat presiden Roh Moo-Hyun yang tergabung dalam kelompok “Rohsamo” menggunakan internet untuk menyebarkan dan berdiskusi mengenai informasi politik. Semakin maraknya penggunaan internet di Asia serta semakin intensifnya internet dipakai dalam politik memiliki dampak terhadap Indonesia.

Gambar 2
10 Negara Pengguna Internet Terbanyak di Asia 2011[13]


Dari gambar di atas sangat jelas, bahwa China berada di posisi tertinggi jumlah pengguna internetnya dengan 477 juta pengguna, lalu disusul India 100 juta pengguna, Jepang 99,2 juta pengguna, Indonesia 39,6 juta pengguna, Korea Utara 39,4 juta, Filipina 29,7 juta pengguna, Vietnam 27,9 juta, Pakistan 20,4 juta pengguna, Thailand 18,3 juta pengguna dan Malaysia 16,9 juta pengguna.
Ketiga, pertumbuhan internet yang cepat di Indonesia. Menurut versi www.internetworldstat.com jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2011 adalah 39,6 juta pengguna. Meksipun jumlah menurut Kementrian Komunikasi dan Informatika sudah berada dikisaran 45 juta di tahun 2011. Sementara Lembaga riset Business Monitor International memprediksi pengguna internet di Indonesia akan mencapai 153 juta pada 2014 mendatang. Lonjakan pesat dalam tiga tahun ke depan itu sangat beralasan jika melihat tren industri teknologi informasi, telekomunikasi, dan internet belakangan ini yang berkembang pesat di semua segmen, baik dari sisi teknologi perangkat maupun konten seperti YouTube, Video Streaming, e-banking, m-banking, video on demand, music on demand, dan lainnya.Seiring dengan melonjaknya pengguna internet dan mobile, Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara yang paling 'terhubung' di dunia dengan 41 juta pengguna Facebook, 4,8 juta pengguna Twitter, keempat terbesar di dunia, dan salah satu yang terbesar dalam penggunaan blog. Tercatat hingga Oktober 2010 sudah ada 3,2 juta blogger yang memposting lebih dari 4,1 juta blog.
Internet sebagai medium baru yang telah dirasakan di Barat sejak 1980-an dan di Asia termasuk Indonesia pada tahun 1990-an. Saat Indonesia di bawah Rezim Soeharto, negara dikelola secara hegemonik dengan menonjolkan karakternya sebagai bureaucratic politiy.[14] Era media baru juga menyentuh kehidupan demokrasi di Indonesia. Ketika Internet mulai booming di era 1990-an, Internet menjadi sarana alternatif dalam kaitannya mengatasi disrupsi penyampaian pesan akibat adanya kekangan ketat pada masa Rezim Soeharto. Kita bisa melihat betapa majalah Tempo yang dibredel pada 1994 akibat laporan kritisnya tentang pembelian kapal perang eks-Jerman, ternyata masih bisa menyiasati untuk tetap hadir ke pembaca secara online lewat Tempo Interaktif.  Bahkan lewat internet ini, Tempo Interaktif turut berandil secara konsisten dan kritis melaporkan  “ketidakberesan” pemerintah yang sedikit banyak berkontribusi pula pada kejatuhan Soeharto pada 1998.
Pada 1994, sebuah discussion mailist  “Indonesia-L”, atau lebih dikenal dengan nama Apakabar, yang dimoderatori oleh John MacDougall dari Maryland, AS, disebut oleh kalangan aktivis dan LSM sebagai sarana efektif bagi diseminasi informasi dan sumber berita yang luput dari sensor (Sen & Hill, 2007). Bahkan pada 1996, terutama saat terjadi indisen kerusuhan imbas dari penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli, mailist Apakabar menjadi salah satu garda terdepan yang menampilkan detail kronologi kejadian. Segala laporan peristiwa, termasuk kerusuhan menjelang kejatuhan Soeharto juga banyak ditampilkan di mailist yang saat itu memiliki anggota menembus 13.000 orang yang kebanyakan adalah orang Indonesia yang tinggal di Tanah Air[15]

C. Internet dan Politik
Penggunaan internet untuk kegiatan politik kini semakin marak. Hal ini terkait dengan beberapa faktor.
Pertama, sistem politik berjalan kian demokratis. Kondisi yang diperoleh pasca gerakan reformasi ini memungkinkan tumbuh kembangnya kebebasan pers, kebabasan berkumpul dan menyatakan pandangan baik lisan maupu  tulisan. Kebebasan itu pula yang telah menyebabkan setiap orang dapat mengakses dan menggunakan internet guna mengartikulasikan ide, gagasan, pemikiran, ajakan, protes, himbauan bahkan juga tekanan kepada kekuasaan. Fenomena ini, dengan sendirinya memunculkan ruang publik baru (new public sphere) dalam proses penguatan demokrasi di dunia cyber.
Tidak berlebihan jika kita menyebut fenomena komunitas virtual di web jejaring sosial seperti Facebook ini sebagai bentuk kontemporer dari ruang publik (public sphere). Konsep ruang publik pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas (1962), filsuf kritis generasi kedua dari aliran Frankfurt berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai ruang publik, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah sosial yang memiliki dampak luas pada khalayak. Penekanannya pada pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya.[16]
Internet termasuk komunitas virtual di dalamnya, dapat menjadi perantara terbentuknya struktur masyarakat emansipatif dan bebas dari dominasi. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Jika Habermas mengangkat prototype obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salon (Prancis) dan tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik, maka sekarang ini komunitas virtual dapat kita katakan sebagai ruang publik.
Melihat kenyataan tersebut, jelas era pembicaraan ruang publik dalam arti face-to-face sudah bergeser. Oleh karena hal tersebut, Mark Poster menulis Cyberdemocracy : Internet and the Public Sphere (dalam David Porter) mengatakan, apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen dimana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, telah terabaikan dalam arena publik elektronik. Komunitas virtual seperti terdapat di electronic cafes, bulettin board, milist, blog, forum interaktif web personal, web jejaring sosial telah menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Media massa baik cetak maupun elektronika karena alasan-alasan regulasi pasar, represi pemilik modal dan intervensi kepentingan politik negara kerap tak mampu lagi memerankan diri sebagai ruang publik secara optimal. Oleh karenanya, komunitas virtual harus tetap mampu menggerakan publik untuk senantiasa menyuarakan keadilan dan kebenaran tanpa dominasi. Sebuah wujud ekspresi dari kesadaran substantif.[17]
Kedua, kian majunya ICT (Information and Communication Technology) dan media massa. Era konvergensi media memudahkan bangsa Indonesia untuk mengakses informasi. Melalui berbagai layanan penyedia atau mesin pencari informasi (search engine) misalnya, sangatlah mudah bagi kita memperoleh informasi mengenai lingkungan kita. Media cetak, televisi dan radio di Indonesia, kini rata-rata telah mengintegrasikan diri ke dalam sistem online. Hal ini kian memudahkan penyebaran informasi di masyarakat termasuk informasi politik.
Selain situs jaringan sosial, yang menonjol sekarang ini juga adalah trend penggunaan weblog interaktif yang biasanya berbentuk Bulletin Electronic Systems. Weblog ini memungkinkan para partisipan mengirimkan pesan dan mendiskusikan sebuah topik dengan intensif, sehingga biasanya memunculkan diskursus. Salah satu weblog yang aktif saat ini misalnya adalah Weblog Kompasiana (www.kompasiana.com). Berbagai topik sosial politik hangat diperbincangan diantara para partisipan dari berbagai kalangan, mulai dari jurnalis, politisi, mahasiswa, aktivis LSM, akademisi, pensiunan jendaral dll.
Situs jejaring sosial (social network site) maupun weblog interaktif, kini sama-sama menunjukkan perannya yang menguat untuk menjadi ruang publik (public sphere) bagi komunitas virtual. Misalnya saat terjadi konflik KPK vs Polri dan skandal Bank Century, muncul perbincangan, tekanan, protes dan akhirnya ajakan menjadi gerakan aktual di kehidupan nyata. Di Facebook muncul akun (account) Gerakan Satu Juta Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan  Bibit Samad Riyanto” yang anggotanya melebihi sejuta pengguna.  Setelah itu, muncul juga “Gerakan Dua Juta Facebookers Dukung Penuntasan Kasus Bank Century”. Dukungan atas gerakan-gerakan tersebut, meluas dan dalam waktu singkat bisa menyatukan banyak orang dalam satu komunitas simbolik di dunia maya. Inilah potret kemunculan ruang publik (public sphere) kontemporer yang telah mengakomodasi ekspresi serta partisipasi politik individu warga negara secara leluasa. Diskusi-diskusi politik yang sangat intensif juga bisa kita temuka di grup Facebook Forum Indonesia Sejahtrera (FIS) yang memiliki akun http://www.facebook.com/groups/info.fis/.
Komunitas jejaring sosial di dunia maya ini pun telah memberi tekanan pada tindakan sewenang-wenang atas Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang. Kita mungkin masih ingat kasus yang menimpa Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional. Saat itu, muncul dukungan bagi Prita  lebih dari 19.000 Facebookers, melampaui target awal pembuatnya yakni 7.500 simpatisan. Hasilnya, muncul empati meluas pada sosok Prita, hingga dia memiliki kekuatan luar biasa untuk berhadap-hadapan dengan korporasi yang telah menjeratnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Begitu pun gerakan “Koin untuk Prita” sukses melampaui angka 204 Juta sebagaimana diminta oleh RS Omni. 
Ada empat argumentasi mengapa bahasan new public sphere (ruang publik baru) di komunitas virtual ini menarik. Pertama, komunitas virtual akhir-akhir ini menunjukkan identitasnya sebagai komunitas pengontrol sekaligus juga kelompok penekan.  Muncul fenomena kesadaran kelompok dari public attentive (publik berperhatian) yang kian adaptif dengan kemajuan ICT (Information and Communication Technology) terutama terkait dengan dunia virtual. Dengan meningkatnya jumlah public attentive atau komunitas yang sudah berperhatian terhadap berbagai isu politik yang berkembang, maka kian hari komunitas virtual ini kian memiliki kekuatan signifikan. Interaksi mereka di dunia maya, tak dapat diintervensi oleh negara (state) maupun didominasi oleh pasar (market).
Kedua, komunitas virtual itu tak terbatasi (borderless) oleh keterpisahan tempat, waktu, ideologi, status sosial ekonomi maupun pendidikan. Saat seseorang melakukan interplay dengan anggota lain di komunitas, maka hubungannya jauh lebih fleksibel karena bisa berhubungan kapan saja dan dari mana saja. Tak ada lagi zona proksemik seperti pernah digagas Edward Hall (dalam West dan Turner) [18], yang membagi antara jarak intim (0-18 inci/46 cm), jarak personal (46 cm-1,2 m), jarak sosial (1,2 m -3,6 m) jarak publik (melampaui 3,7 m). Dengan adanya situs jejaring sosial dan weblog interaktif , nampak bahwa komunikasi tak lagi berjarak fisik seperti itu. Setiap anggota komunitas bisa mengekspresikan berbagai hal secara lebih bebas, fleksibel dan bisa sangat personal. Sehingga ekspresi emosi masing-masing indvidu lebih terakomodasi dibanding hanya membaca hasil reportase jurnalis media massa tradisional.
Ketiga, memungkinkan terbentuknya kesadaran kelompok bersama (shared group conciousness). Setiap orang dapat berinteraksi, bertukar isu, menciptakan tema-tema fantasi dan visi retoris yang dapat membentuk kesadaran kelompok terbagi. Misalnya saja, tema skandal Bank Century, konflik cicak vs buaya dalam proses kriminalisasi KPK, penolakan RPM Konten, dll., dengan sekejap menjadi tema-tema yang membangkitkan kesadaran publik. Pada saat media massa memublikasikan tema-tema kesadaran itu, biasanya keterhubungan individu masih bersifat artifisial. Hal itu, akan diperteguh dan lebih personal pada saat dia terhubung dengan komunitas virtualnya.
Keempat, dinamika komunitas jejaring sosial itu unik karena memiliki karakteristik yang cair, kebebasan individu yang sangat besar dan sangat mungkin digunakan oleh siapa saja untuk kepentingan apa saja. Ekspresi di internet termasuk di situs jejaring sosial dan weblog interaktif sangat beragam. Dari sudut topik perbincangan, ada komunitas yang sangat intens mendiskusikan topik-topik serius tetapi juga banyak yang hanya berbagi hal-hal  sepele dan dangkal. Dari segi identitas penggunanya pun beragam, mulai dari yang terang-terangan dengan jati diri mereka (real user) hingga yang bersembunyi di balik akun-akun palsu atau kloningan. Aktivitas mereka di dunia maya juga membentuk tipologi-tipologi tertentu, ada yang publisist, disseminator, propagandist, hacktivist dll. Keragaman itu tentu sangat menarik untuk diteliti guna menjadi sebuah studi kasus yang unik mengenai eksistensi komunitas-komunitas virtual.

Tabel 2
Tipologi Pengguna Internat untuk Kepentingan Politik

DISEMINATOR
PUBLISIST
PROPAGANDIS
HACTIVIST

Isu harian, isu strategis dan isu Jangka panjang
Isu Personal/lembaga
Isu Strategis
Isu sensitif
Sharing and Connecting
Eksistensi diri
Delegitimasi atau legitimasi
Perlawanan Terhadap rezim kekuasaan politik dan ekonomi
Diseminasi dan Literasi (pemikiran, ideologi, sikap dll)
Mengkonstruksi Citra
Membuat partisipasi aktif atau pasif
Meretas atau membobol informasi rahasia

Internet modern ini bisa menjadi salah satu saluran pokok dalam komunikasi politik. Denton dan Woodward, mendefinisikan komunikasi politik sebagai diskusi yang murni membicarakan tentang pengalokasian sumberdaya-sumberdaya (resources), kewenangan resmi seseorang yang diberi kekuasaan (untuk membuat peraturan, keputusan legislatif dan eksekutif) dan sangsi-sangsi resmi (dari apa yang negara berikan berbentuk reward atau hukuman). [19] Dengan demikian, dalam perspektif Denton dan Woodward, komunikasi politik dipahami dalam karakteristik tujuan (intentions) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik (the political environment). Tentu saja, komunikasi politik bukanlah sebuah proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang memerlukan pembahasan mendalam baik dari aspek teoritik maupun paktik.
Jika Danton dan Woodward mensifati komunikasi politik dengan istilah The intentionality of political communication, maka Brian McNair menyebut komunikasi politik sebagai purposeful communication about politics. Hal ini meliputi :
  1. Segala bentuk komunikasi yang dilakukan oleh para politisi dan aktor-aktor politik lainnya untuk mencapai tujuan-tujuan khusus.
  2. Komunikasi yang ditunjukkan kepada aktor-aktor politik oleh orang-orang yang bukan politisi misalnya para pemilih (voters) dan kolumnis-kolumnis di media massa
  3. Komunikasi tentang aktor-aktor politik dan aktivitas mereka yang dipublikasikan dan menjadi isi laporan berita, editorial, dan bentuk diskusi politik lainnya di media massa.[20]
Pemanfaat internet dalam politik komunikasi politik menjadi penting terutama dalam konteks artikulasi, agregasi kepentingan politik baik dari kelompok masyarakat biasa, kelompok berperhatian (attentive public) maupun kelompok elit.
Sebagai contoh dari tipologi-tipologi penggunaan internat untuk kepentingan politik di atas dapat kita temukan dinamikanya pada contoh berikut

Tabel 3
Contoh Kasus Penggunaan Internet

TIPOLOGI
CONTOH
AKTIVITAS
HASIL
Diseminator
Cicak vs Buaya
Dukung Bibit-Chandra
Dukungan untuk KPK
Publisist
Laman FB Para Politisi
Marketing Politik
Popularitas/elektabilitas
Propagandist
Whail Ghonim
'We are All Khaled Said'
Revolusi 2.0 di Mesir
Hactivist
Julian Assange dan Wikileaks
Membobol kawat diplomatik AS
Publikasi Informasi Rahasia


D. Tantangan
Dari sejumlah hal positif terkait dengan keberadaan internet tersebut, dalam praktiknya muncul sejumlah tantangan terutama dalam implementasi internet sebagai ruang publik baru yang efektif.
Pertama, menyangkut aksesibilitas internet. Harus diakui akses terhadap intenet ini masih belum merata di segala level sosial masyarakat Indonesia karena hanya terkonsentrasi pada golongan tertentu. Bagaimana mungkin mengharapkan partisipasi aktif publik melalui media baru ini jika akses mereka terhadao teknologi baru ini terhambat. Padahal bagi publik yang sudah terkoneksi internet saja masih belum tentu menggunakan medium itu dalam kaitan partisipasi aktif proses demokrasi.
Kedua, masih lemahnya diskursus online. Tanpa adanya tradisi diskursus online ini, seperti diingatkan Hurwitz (2003), maka usaha-usaha untuk mengorganisasi aksi politis secara online hanya akan sia-sia dan menyebabkan konstituen makin terfragmentasi hingga gagal mengkonsolidasi  opini publik.[21] diskusi di internat kerap bersifat common sense sehingga harus disikapi secara hati-hati dan diverifikasi secara ilmiah. Sering kita melihat di banyak diskusi politik di internet apakah di jejaring sosial atau di weblog interaktif, diskusi tidak jelas arahnya, asal dan tidak berorientasi pada penguatan diskursus.
Ketiga, belum tentu diakui secara formal. Banyak sekali diskusi politik di intenet, tetapi tidak banyak yang muncul ke permukaan sebagai representasi suara masyarakat. Situs jejaring sosial maupun weblog interaktif memang bukan institusi media yang terlembagakan, sifatnya cair dan cenderung mempribadi. Oleh karenanya kerap tidak didengar sebagai suara rakyat. Pengakuan atas suara para netizen itu akan menguat seiring adanya proses konvergensi simbolik dengan menyuarakan suara berasama-sama dan intensif menginisiasi gerakan-gerakan yang tidak hanya melalui komunitas virtual, melainkan juga bersinergi dengan media mainstream atau kelompok-kelompok penekan (pressure group) di masyarakat.
Keempat, tidak terdapat batasan dan standar baku dalam proses interaksi yang berlangsung di dunia maya. Sangat mungkin sesorang menyebut identitas dirinya dengan identitas palsu dan melakukan serangan-serangan kepada pihak lain menggunakan data-data yang sulit diverifikasi. Di dunia online, tidak bisa menggunakan paradigma skeptis. Artinya kalau kita memandang semua orang akan berbohong dan mencurigai setiap orang, maka tentu interaksi tidak akan bisa berjalan. Di dunia online, berbeda dengan di konvensional media karena informasi bisa jalan terlebih dulu dan data akan terverifikasi dengan sendirinya. Oleh karenanya penting mengedukasi para netizen mengenai tanggungjawab atas apa yang dibuat dan didistribusikan kepada para netizen lainnya.
Kelima, interaksi di internet juga kerap miskin solusi. Maksudnya banyak hal dibahas, tetapi sangat sedikit yang menawarkan solusi. Jika pun ada tawaran solusi lebih banyak sekedar tulisan dan bisa jadi tidak diperhatikan oleh pihak lain. Jika tidak ada kanal-kanal khusus dan membentuk sebuah komunitas yang intensif berdiskusi serta melakukan pertemuan-pertemuan “kopi darat”, apa yang didiskusikan di internet juga kerapkali hanya sebatas ‘bubble politics”. Kesimpulan tidak bisa diambil berdasarkan suatu kesepakatan di antara para netizen, kecuali memang diikuti dengan perjumpaan-perjumpaan di antara mereka yang memiliki perhatian pada isu-isu tertentu.

F. Penutup
 Pembahasan tentang internet memang akan terus menjadi kajian yang menarik dan dinamis. Sangat mungkin muncul beragam dinamika baru baik menyangkut teknologi komunikasi yang ditemukan, maupun isu-isu yang memanfaatkan internet sebagai basis aktualisasinya. Tentu, makalah ini tidak bisa membahas semua hal menyangkut dinamika komunikasi politik di new media. Oleh karena itu, semoga tulisan ini menjadi salah satu stimulan dan menjadi bahan diskusi untuk terus dikembangkan oleh berbagai pihak. Terimakasih. (**)












Daftar Pustaka
Dominic, Joseph R. 2009. The Dynamics of Mass Communication. 10th edition. New York: McGraw Hill
Denton, R.E. & Woodward, G.C. 1990. Political Communication in America, New York : Praeger
Heryanto, Gun Gun. 2011. Dinamika Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Lasswell Visitama
Hurwitz, Rogers. 2003. “Who needs Politics? Who Needs People? The Ironies of Democracy in Cyberspace” dalam Democracy and New Media.  Ed. Henry Jenkes dan David Thorburn. 2003. MIT Press-Cambridge
Habermas, Jurgen.1993. The Structural Transformation of The Public Sphere An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger. Cambridge Massachusetts : MIT Press
Hill, David T and Krishna Sen. 2007. Media, Culture and Politics in Indonesia. South Melbourne: Oxford University Press
McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, London: Routledge
Nur Hidayat, Dedy. dkk.(ed.).2000. Pers dalam Revolusi Mei. Jakarta : PT. Gramedia.
Pavlik, Johan V. 1996. New Media Technology, 2nd edition. Columbia: Columbia University
Porter, Porter. 1997. Internet Culture. London: Routledge
Tedesco, John C. 2004. “Changing The Channel: Use of the Internet for Communicating about Politics”. In Lee Kaid, Lynda (ed.). Handbook of Political Communication Research. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers
Wood, Andrew F.& Smith, Matthew J. 2005. Online Communication. 2nd Edition. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers. p.41
West, Richard and Turner, Lynn H.2008.  Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika


Sumber Online:

http://www. internetworldstat.com/stats3.htm
htttp://www.arts.monash.edu.au













[1] Disampaikan dalam Seminar Regional di STAIN Palangkaraya, Kamis 14 Juni 2012
[2] Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Tetap Komunikasi Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Email: gun_heryanto@yahoo.com Twitter: @goenheryanto
[3] Wood, Andrew F.& Smith, Matthew J. 2005. Online Communication. 2nd Edition. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers. p.41
[4] Pavlik, Johan V. 1996. New Media Technology, 2nd edition. Columbia: Columbia University. p.137

[5] Dominic, Joseph R. 2009. The Dynamics of Mass Communication. 10th edition. New York: McGraw Hill
[6] Ward, Ian dan Cahill, James. Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication, The University of Quensland., htttp://www.arts.monash.edu.au diakses pada 10 Juni 2014.
[7] Heryanto, Gun Gun. 2011. Dinamika Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Lasswell Visitama. hlm. 275-276.
[8] Tedesco, John C. 2004. “Changing The Channel: Use of the Internet for Communicating about Politics”. In Lee Kaid, Lynda (ed.). Handbook of Political Communication Research. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers. p. 510

[9] http://www. internetworldstat.com/stats3.htm, diakses pada 10 Januari 2012 pukul 13.30 WIB
[10] http://www. internetworldstat.com/stats3.htm diakses pada 10 Januari 2012 pukul 14.00 WIB
[11] Tedesco, John C. 2004. “Changing The Channel: Use of the Internet for Communicating about Politics”. In Lee Kaid, Lynda (ed.). Handbook of Political Communication Research. London : Lawrence Erlbaum Associates Publishers. p. 513

[12] Lee Han Shih. Obama, China’s youth find allies in Social Network. Melalui http://www.asia-inc.com  diakses pada 26 Februari 2009, pkl. 15.00 WIB
[13] http://www.internetworldstats.com/stats3.htm diakses pada 10 Januari 2012 pukul 14..30 WIB
[14] Bureaucratic polity merupakan istilah yang digunakan Karl D Jakson dalam menganalisis pola hubungan kekuasaan dan komunikasi rezim Orde Baru. Secara koseptual bureaucratic Polity dapat dibedakan dari jenis rezim lainnya  dari segi keterpisahan antara elite birokrasi negara dan masyarakat di luar struktur birokrasi, dan dari aspek kapasitas para elite politik eselon tertinggi untuk mengisolir pengambilan keputusan –khususnya keputusan di tingkat nasional-dari pengaruh kekuatan-kekuatan sosial politik di masyarakat. Dalam pengambilan keputusan, partisipasi masyarakat kurang dilibatkan secara berkelanjutan. Yang menonjol justru mobilisasi pelaksanaan kebijakan dari atas berdasarkan kewenangan tradisional dan hubungan patron clients. Nur Hidayat, Dedy. dkk.(ed.).2000. Pers dalam Revolusi Mei. Jakarta : PT. Gramedia.

[15] Hill, David T and Krishna Sen. 2007. Media, Culture and Politics in Indonesia. South Melbourne: Oxford University Press
[16] Habermas, Jurgen.1993. The Structural Transformation of The Public Sphere An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger. Cambridge Massachusetts : MIT Press

[17] Porter, Porter. 1997. Internet Culture. London: Routledge. p. 201-108
[18] West, Richard and Turner, Lynn H.2008.  Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Hlm.155-157.


[19] Denton, R.E. & Woodward, G.C. 1990. Political Communication in America, New York : Praeger. P.
[20] McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, London: Routledge, p. 4
[21] Hurwitz, Rogers. 2003. “Who needs Politics? Who Needs People? The Ironies of Democracy in Cyberspace” dalam Democracy and New Media.  Ed. Henry Jenkes dan David Thorburn. 2003. MIT Press-Cambridge.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Dinamika Komunikasi Politik
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/dinamika-komunikasi-politik-di-era-new.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang tidak sesuai dengan syarat di bawah ini akan dihapus, Demi kenyamanan kita bersama :

1. Menggunakan bahasa tidak beretika (Sara, Pornografi, Menyinggung)
2. Komentar menautkan link secara langsung
3. Komentar tidak berkaitan dengan artikel
4. Komentar Scam (Promosi Link)

Original design by Bamz | Copyright of Coretan Mahasiswa Kampung.

Pengikut

Recent Comment