DASAR-DASAR ILMU
Kamis, 31 Januari 2013
0
komentar
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya manusia diciptakan di dunia ini adalah
untuk berpikir, berpikir di sini dalam artian berpikir secara mendalam untuk
mencari kebenaran yang bersifat hakiki. Di dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan
bahwa di dalam penciptaan bumi ini adalah untuk orang yang berpikir,
sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 190:
žcÎ) ’Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í‘$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy ’Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ
Artinya: “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.
Kandungan ayat di atas memerintahkan kepada semua
manusia secara keseluruhan untuk berpikir. Jadi manusia diciptakan di dunia ini
bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk memikirkan penciptaan alam semesta
ini. Ayat ini memerintahkan manusia berpikir agar menambah wawasan dan
pengetahuan.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan mengatakan bahwa
manusia yang dianggap pertama menggunakan akalnya secara serius adalah Thales,
ketika ia membuat sebuah pertanyaan “Apakah sebenarnya bahan alam semesta
ini”, kemudian ia menjawab sendiri pertanyaannya dengan mengatakan bahwa
bahan alam semesta ini adalah air. Oleh karenanya ia dikatakan sebagai Bapak
Filsafat. Dari pertanyaan yang dimunculkan oleh Thales tersebut, maka muncul
pemikiran-pemikiran lain yang lebih luas dan rumit pemecahan masalahnya,
sehingga pengetahuan yang mereka miliki juga berkembang.
Ilmu pengetahuan itu ada karena buah pikir manusia.
Berpikir adalah sebagai pembeda yang
memisahkan antara manusia dengan hewan. Manusia pada dasarnya sama dengan
hewan, namun yang membedakan manusia dengan hewan adalah dari pengetahuan yang
dimilikinya, oleh karenanya dalam filsafat manusia dikatakan sebagai حيوان
الناطق(hewan yang berpikir).
Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena
pengetahuan yang dimilikinya. Dalam upaya mencari dan memperluas pemahamannya
tentang pengetahuan, timbul beberapa pertanyaan seperti, apa yang telah dan
ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia
lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang
diketahui itu benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana
kebenaran itu diaplikasikan?
Sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya
sederhana sekali karena pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika
manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat
dan dibedah dengan pisau ilmu, maka akan ada aturan yang harus diperhatiakan
dalam mengkajinya melalui dimensi-dimensi kajian ilmu, yaitu dimensi ontologi,
dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan
pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang
ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat
dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis ingin
menguraikan dan memberikan pemahaman tentang ke tiga dimensi kajian filsafat
tersebut dalam sebuah makalah dengan judul: “DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU:
ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI”.
Harapan penulis, makalah yang sederhana ini dapat
menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar pengembangan ilmu
pengetahuan. Dan mudahan makalah ini dapat memberikan kontribusi dan khazanah
ilmu pengetahuan terhadap mahasiswa yang ingin memahami tentang dimensi kajian
filsafat teresbut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka makalah ini disusun dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan
dimensi Ontologi?
2.
Apa yang dimaksud dengan
dimensi Epistemologi?
3.
Apa yang dimaksud dengan
dimensi Aksiologi?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini ialah untuk mengetahui
dan memahami:
1.
Dimensi Ontologi.
2.
Dimensi Epistemologi.
3.
Dimensi Aksiologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dimensi Ontologi
Ontologi
merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di
bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan
bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali
orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan, yaitu kenyataan yang berupa
materi (kebenaran) dan kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).[1]
Pembahasan
tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan mungkin ada,
yang boleh juga mencakup pengatahuan dan nilai (yang dicari ialah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai). Hakikat ialah kenyataan yang sebenarnya bukan
keadaan yang bersifat sementara atau keadaan yang menipu.[2]
Pembahasan
tentang ontologi sebagai dasar suatu ilmu ialah berusaha untuk menjawab “apa”,
yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan
ilmu mengenai esensi benda. Secara etimologi, kata ontologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu On = Ada, dan Logos = Ilmu pengetahuan, jadi
ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang segala yang ada.[3]
Sedangkan pengertian ontologi secara terminologi sebagaiman yang dikemukakan
oleh A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan,
ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental
dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang
berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada;
dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai
prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir
ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.[4]
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf
Goclenius pada tahun 1636 M, untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang
bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi
metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus.
Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.[5]
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.[5]
Di dalam pemahaman ontologi dapat ditemukan beberapa
pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:[6]
1.
Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari
seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa
rohani. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
a.
Materialisme
Aliran ini menganggap hakikat benda adalah materi,
benda itu sendiri.
Rohani, jiwa, spirit dan sejenisnya itu muncul karena adanya benda. Bagi paham
ini, rohani, roh, Tuhan, spirit itu bukan hakikat, akan tetapi mereka muncul
dari adanya benda. Jadi bendalah yang menyebabkan mereka ada.[7]
Ada
beberapa alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa
yang merupakan hakikat adalah:[8]
1)
Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat
diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
2)
Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar
ruang yang abstrak.
3)
Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada
badan.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa hakikat benda adalah benda itu sendiri, bukan rohani.
Rohani, jiwa, Tuhan ada itu karena adanya benda. Dalam sejarahnya manusia
memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari
situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah
benda.
b.
Idealisme
Aliran ini berpendapat sebaliknya, hakikat benda
adalah rohani, spirit atau sejenisnya. Aliran ini juga sering disebut dengan
spiritualisme. Alasan mereka ialah sebagai berikut:[9]
1)
Nilai roh lebih tinggi dari
pada badan.
2)
Manusia lebih dapat
memahami dirinya dari pada dunia luarnya.
3)
Materi ialah kumpulan
energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
2.
Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara
dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut
aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul
bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi.[10]
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari
dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat
ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat
itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling
jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh
paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat
modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani)
dan dunia ruang (kebendaan).[11]
3.
Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of
Philosophy and Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa
kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles
yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4
unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.[12]
Tokoh modern aliran ini adalah William James
(1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan
filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan,
tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang
berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.[13]
4.
Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing
atau tidak ada. Sdebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif
positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M).
Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa
“Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala perintah dan larangannya
sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih
bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa
nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya
itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi semua nilai.[14]
5.
Agnostisisme
Agnostisisme adalah paham yang mengatakan bahwa
manusia tidak mungkin mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun
hakikat rohani. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu, air, api dan
sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan
tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya
maupun oleh pikirannya.[15]
Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang
mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang
berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal
adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat
kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren
Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang
terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan,
manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku
individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu
yang lain.[16]
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan
terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani.
Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan
kemampuannya mengetahui hakikat bahkan menyerah sama sekali.[17]
B.
Dimensi Epistemologi
Epistemologi juga disebut dengan teori pengetahuan (theory
of knowledge). Secara etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani
episteme = pengetahuan dan logos = teori.[18]
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal,
indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di
antaranya adalah:[19]
1.
Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan
pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang
lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada
pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka
akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam
dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam
lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa
diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut
sintetik.
2.
Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa
data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan
logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis
teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau
ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan
jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari
teori tersebut.
3.
Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857)
yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri
yang beragama Katolik. Positivisme berasalah dari kata “positif” yang memiliki
arti sama dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta.[20]
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui,
yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar
yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang
diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan
demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada
bidang gejala-gejala saja.
4.
Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan
akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun
akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu kemampuan akal yang disebut dengan
intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan
cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5.
Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode
tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh
Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti
tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga
analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
pandangan.
C.
Dimensi Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios
(Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah
“Teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang
nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.[21]
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama,
etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai
untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek
formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah
laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.[22]
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat
tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi
subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia
menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti
perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.[23]
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya
pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan
pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar
secara realitas benar-benar ada.[24]
Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus
bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan
eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur
kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju pada
kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai
objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan
nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat istiadat.[25]
Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu
pengetahuan bisa berdampak positif dan negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi
dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat mengenai kenetralan ilmu.
Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran
kepatutannya.[26]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara
mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak
landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal sebagai
berikut:
1.
Dimensi ontologi, yaitu
ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali dikemukakan oleh
tokoh filsafat Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah
air. Kemudian dalam perkembangannya, muncul paham-paham tentang ontologi meliputi
monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme.
2.
Dimensi epistemologi, yaitu
cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan
syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu
terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif,
dan dialektis.
3.
Dimensi aksiologi, yaitu
teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan
untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk
meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan
pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang
diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang
sangat penting untuk dipahami dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu
pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu sama lain sebagai
titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.
B.
Saran
Selayaknya
pencetus karya adalah mengharapkan karya tersebut dapat menjadi manfaat bagi
orang lain dan dirinya sendiri, seperti itu pula harapan yang ada ketika
penyusunan makalah sederhana ini. Adapun bentuk kekurangan dan kesalahan tentu
tidak akan terlepas karena merupakan sisi kemanusiaan yang mendasar dari
kejiwaan manusia, sehingga dengan bersikap bijak adalah mengharapkan motivasi
yang membangun dalam bentuk kritik dan saran.
Pada
akhirnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga dengan kesempatan dan
perhatian yang diberikan, setidaknya permohonan maaf atas segala kesalahan dan
kelalaian dalam makalah ini atau di dalam proses pembuatan makalah sederhana
ini, baik dari paragraf, kalimat, kata, atau sikap selama proses pembuatan
makalah ini. Selanjutnya tidak etis rasanya jika tidak sama-sama mendoakan,
semoga segala bentuk pekerjaan yang disertai dengan ketulusan niat membuahkan
keridhaan dari Allah yang Maha Rahman.
[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004, h. 131.
[2]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak
Thales sampai Capra, Cet. 9, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, h. 28.
[4]http://suksespend.blogspot.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html
(Online 16 Oktober 2011).
[5]Amsal Bakhtiar, Filsafat..., h. 134-135.
[12]http:/suksespend.blogspot.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html
(Online 16 Oktober 2011).
[18] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Cet.
VII, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 16.
[26] Ibid., h. 169.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: DASAR-DASAR ILMU
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/dasar-dasar-ilmu.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5