-->

SUMBER HUKUM ISLAM

Posted by Unknown Jumat, 01 Februari 2013 0 komentar


ISTIHSAN, MASHALIH MURSALAH DAN URF
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN
Sumber hukum ialah sumber pengambilan di dalam menetapkan sesuatu hukum syara, sama ada ia berasaskan sumber yang disepakati oleh ulama mujtahid ataupun sumber yang tidak disepakati oleh mereka. Sumber hukum dalam perundangan Islam secara umumnya dapat dibagikan kepada dua bagian yaitu Dalil Qat’I dan Dalil Zanni. Dalil Qat’i ialah dalil-dalil yang disepakati oleh ulama. Dalil tersebut terbagi kepada beberapa bagian yaitu, Al-Quran, Al-Sunnah, Ijmak,dan Al-Qiyas. Dalil Zanni ialah dalil-dalil yang tidak disepakati oleh sebilangan ulama. Contohnya seperti Istihsan, Masalih Mursalah, dan Uruf.(Abdul Latif Muda 1997:62)

1.      ISTIHSAN
Istihsan merupakan salah satu daripada sumber hukum perundangan Islam tetapi hanya tergolong dalam sumber hukum yang tidak disepakati. Oleh sebab itu, ulama berselisih pendapat tentang kehujahan Istihsan ini, karena terdapat ulama yang menerima dan juga menolak Istihsan. Antara ulama yang menerima kehujahan Istihsan ialah ulama Hanafiah, Imam Malik dan sebahagian ulama Hanbali. Selain itu, ulama yang menolak kehujahan Istihsan ialah Imam Syafi’i dan ulama Syafi’i serta sebagian ulama Hanbali. (Abdul Latif Muda 1997:117)
Ulama yang menerima Istihsan berpendapat bahwa Istihsan adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan awam. Manakala pula, menurut sebagian ulama yang menolak kehujahan Istihsan, jika Istihsan dibenarkan, maka dapat membuka jalan ke arah penggunaan akal fikiran tanpa sekatan yang mana ia tercegah kepada kesilapan dalam menetapkan hukum. Hal ini karena hukum akan dibuat berdasarkan nafsu dan fikiran, sedangkan yang berhak membuat hukum adalah Allah s.w.t. (Amir Husin Mohd Nor 2002:36)

a.      Pengertian Istihsan
Istihsan dari segi bahasa ialah menganggap sesuatu itu baik atau sesuatu yang disukai oleh seseorang serta cenderung ke arahnya sekalipun dipandang buruk (tidak disukai) oleh orang lain. Istihsan dari segi istilah pula dapat di bagi kepada beberapa pandangan.(Hassan Ahmad 1998:300)
Menurut Mazhab Hanafi terdapat dua pengertian iaitu :
1.      Qiyas yang tersembunyi illahnya karena halusnya atau jauhnya dari ingatan hati lagi berlaku didalam keadaan menentang Qiyas yang jelas illahnya kerana bersegeranya kepada ingatan hati pada peringkat permulaan.
2.      Dikecualikan masalah sempurna daripada konsep menyeluruh atau kaedah
umum kerana ada dalil khusus yang mengkehendaki pengecualian itu sama
ada dalil khusus itu terdiri daripada nas atau keadaan yang memaksa (darurat)
atau uruf atau kepentingan (maslahat) atau lainnya. (Hassan Ahmad 1998:299)
Menurut Mazhab Maliki Istihsan ialah : Mengutamakan tinggal sesuatu dalil dan membolehkan menyalahinya kerana ada dalil lain menentang sebahagian daripada kehendaknya.(Hassan Ahmad 1998:302) Menurut Mazhab Hanafi : Berpaling didalam menghukum sesuatu masalah daripada masalah-masalah yang sebanding dengannya kerana ada dalil yang khusus terdiri dari Al-Quran atau Sunnah.(Hassan Ahmad 1998:303). Menurut Mazhab Syafi’i :Sesuatu perkara yang difikirkan baik oleh mujtahid. (Hassan Ahmad 1998:303)
Secara rumusannya Istihsan adalah beralih daripada hukum yang diistinbatkan melalui Qiyas jaliy kepada hukum yang dikeluarkan melalui Qiyas khafiy atau pengecualian satu-satu masalah juz’iyyah daripada kaidah yang berbentuk kulliy karena terdapat dalil lain yang lebih disenangi oleh seseorang mujtahid untuk berbuat demikian.
b.      Pembagian Istishan dan Contohnya
1)      Istihsan dengan Nash
Istihsan dengan nash bermaksud perkara pada setiap masalah yang menunjukkan hukum yang bertentangan dan berbeza dengan kaedah yang ditetapkan yang mempunyai nash daripada Allah SWT.(Abdul Latif Muda,1997) Dengan kata lain, istihsan ialah suatu nash khusus yang khusus daripada Allah SWT tentang juzuk tertentu hingga hukumnya bertentangan atau berbeda daripada hukum asal walaupun pada masalah yang sama yang sabit dan ianya menjadi kaedah umum.(Nota kuliah,2009). Contohnya Puasa tidak batal apabila makan secara tidak sengaja disebabkan lupa. Menurut kaedah umum dan al-Qiyas, puasa seseorang batal kerana ia tidak menahan diri daripada memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan. Namun hukum itu dikecualikan daripada kaedah umum berdasarkan hadis Baginda saw :

من اكل او شرب ناسيا فلا يفطر فانما هو رزق رزقا الله
Terjemahan:
Barang siapa yang terlupa sedangkan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempunakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberi makan dan minum kepadanya.( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan At-Tarmizi dan Abu Daud dan Ibnu Majah)
Contoh lain adalah jual beli salam. Rasulullah saw melarang jual beli yang tidak ada di tempat ketika akad (Abdul Wahhab Khalaf, 1984). Dalil nasnya
من اسلف منكم فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم
(Nota Kuliah, 2009)
2)      Istihsan dengan Ijmak
Istihsan dengan ijmak ialah suatu peralihan daripada hukum pada satu-satu masalah yang telah menjadi kaedah umum kepada hukum yang diistinbat melalui ijmak. Ia terhasil setelah ulama’ mujtahid berfatwa tentang sesuatu masalah yang berlawanan dengan kaedah umum mengenai masalah yang serupa dengannya.(Abdul Latif Muda, 1984) Dalam keadaan lain, para mujtahid berdiam diri dan tidak mengingkarkan apa yang dilakukan oleh masyarakat, yang mana ia bertentangan dengan kaedah umum yang ditetapkan. Sebagai contoh, tidak sah jual salam jika diqiyaskan kepada akad jual beli, kerana benda yang diakadkan belim wujud ketika akad. Oleh kerana jual salam adalah baik dan perlu dalam masyarakat , maka ulama’ mengira baik dan harus. Contoh lain adalah bayaran menggunakan bilik air dan al-istisna’.( Nota kuliah, 2009)
3)      Istihsan Berdasarkan Uruf
Hal tersebut berlaku pada masalah yang menjadi amalan dan kebiasaan masyarakat dan ia bertentangan dengan kaedah umum. Contohnya, menurut fiqh mazhab Hanafi, antara prinsip umum harta wakaf hendaklah berkekalan. Berdasarkan prinsip ini, maka tidak harus mewakafkan harta yang mudah dipindahkan kerana ia menunjukkan tidak berkekalan. Sebaliknya, Imam Muhammad bin Hassan dari mazhab Hanafi mengharuskan wakaf sama ada harta yang mudah dipindahkan kerana ia menjadi kebiasaan atau adat masyarakat mewakafkannya seperti buku-buku.Ia dibolehkan atas dasar istihsan yang menyalahi prinsip umum dan pegangan Imam Abu Hanafiah sendiri.(Abd. Latif Muda&Rosmawati Ali@Mat Zin 1997:123)
4)      Istihsan Berdasarkan Maslahah
Antara contoh penggunaan istihsan ini ialah mengikut prinsip umum,tidak harus diberikan zakat kepada Bani Hasyim.Tetapi sebaliknya Abu Hanifah mengharuskan memberi zakat kepada mereka dizaman beliau berdasarkan istihsan.Iaitu untuk menjaga kepentingan mereka daripada diabaikan. (Abd. Latif Muda,Rosmawati Ali@Mat Zin 1997:124)
5)      Istihsan Berdasarkan Darurat
Antara contoh permasalahan: Membersihkan perigi bernajis. Mengikut kaidah umum atau al-Qiyas, perigi tersebut tidak akan bersih walaupun ditimba sebagian atau semua air dalamnya. Hal tersebut karena menimba sebagian air di dalamnya tidak memberi kesan atau tidak menyebabkan bak air yang ada itu bersih. Begitu juga jika ditimba semua air pun tidak akan membersihkan air yang baru keluar dari mata air dalam perigi tersebut.Justeru itu,air dalam perigi tersebut diharamkan bersih atau tidak akan bersih walaupun ditimba semua air bernajis. Sebab itu diharuskan mengambil air dari perigi tersebut karena darurat dan diperlukan. (Abd. Latif Muda,Rosmawati Ali @ Mat Zin 1997:123)
6)      Istihsan Berdasarkan Qiyas al-Khafiyy
Keadaan ini berlaku terhadap masalah yang mana bercamtum di antara dua qiyas.Di mana salah satu jelas illahnya dan satu lagi tidak jelas illahnya.Istihsan jenis ini ialah dengan mengeluarkan hukum berasaskan qiyas yang tidak nyata.(Abd. Latif Muda,Rosmawati Ali @Mat Zin 1997:123)
2.      MASHALIH MURSALAH
Pada hakikatnya, al-mashalih artinya adalah mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk (yang tidak baik). Apakah yang dimaksud dengan “yang baik” tersebut? Para ulama menyebutkan, bahwa “yang baik” itu kriterianya adalah sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum, maka itulah kebaikan yang dimaksud tersebut, tak peduli jika menurut logika kita itu tidak baik. Ketika Allah mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan maka diperintah dan adalah keburukan sehingga dilarang. Sehingga kita tak mempunyai hak untuk mengatakan, bahwa babi itu baik, walaupun mungkin secara logika ada yang mengatakan bahwa babi itu lebih enak dibandingkan dengan daging yang lainnya. Ketika Allah melarangnya, maka itulah keburukan.
Mashalih itu ada tiga jenis, yaitu:
a.      Al-mashalih al-mu’tabarah, yaitu kemaslahatan (kebaikan-kebaikan) yang memang secara tekstual ditentukan oleh Allah ataupun Rasul-Nya. Dalam kasus ini, para ulama tidak berbeda pendapat, semuanya sepakat bahwa kebaikan yang sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya tersebut memang harus kita pegangi.
b.      Al-mashalih al-mulghah, yaitu kebaikan-kebaikan yang memang tidak pernah dianggap, bahkan jelas-jelas dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan keburukan. Walaupun hal tersebut baik menurut logika kita, tetapi ketika Allah mengatakan bahwa hal tersebut harus dijauhi, maka sudah jelas bahwa hal tersebut memang harus dijauhi. Para ulama juga tidak berbeda pendapat pada jenis yang kedua ini. Jenis ini memang harus dijauhi, tidak peduli apakah itu cocok (sesuai) dengan otak kita atau tidak.
c.       Mashalih yang tidak diketahui, apakah Allah menganggap hal itu sebagai kebaikan atau Allah menganggapnya sebagai keburukan, tidak ada petunjuk mengenai hal tersebut. Jenis yang ketiga ini di dalam kajian ushul fiqh dinamakan al-mashalih al-mursalah, yaitu kebaikan yang Allah dan Rasul-Nya tidak memberikan rambu-rambu apakah hal tersebut baik ataukah buruk, tidak ada kejelasan dalam hal ini. Di sini terjadi benturan-benturan pemikiran yang begitu tajam. Di sinilah para ulama berbeda pendapat, apakah jenis yang seperti ini kita serahkan kepada otak, ataupun jenis ini perlu dukungan yang lainnya.
Dalam kasus ini, hampir-hampir antara Al-Istihsan dan Al-Mashalih ini sangat erat kaitannya, sehingga kasus seperti yang terjadi pada Sayyidina Umar tersebut ketika ada orang yang mengatakan “anti thaaliqun tsalaatsan”, maka Sayyidina Umar menentukan jatuh tiga thalaqnya. Ini merupakan suatu perlawanan yang terkesan ekstrim dari seorang Umar ibn Khattab. Ketika ditanya mengapa beliau berani mengubah ketentuan Rasulullah, maka dijawab oleh Sayyidina Umar: “Bahwa dulu ketika Rasulullah menjadi pemimpin, rakyatnya adalah orang-orang sepertiku. Sedangkan sekarang pada masa kekhalifahanku, rakyatnya adalah kalian yang jauh lebih buruk dari orang-orang sepertiku pada masa itu. Pada masa itu (masa hidupnya Rasulullah), kami akan berpikir berkali-kali untuk mengucapkan thalaq. Tetapi pada masa kekhalifahanku ini, kalian begitu mudahnya untuk mengucapkan thalaq, walaupun hanya karena persoalan yang sepele. Sekarang, biar kalian tidak lagi terlalu mudah untuk mengucapkan thalaq, maka akan kujatuhkan thalaq tiga sekaligus jika kalian mengucapkan menthalaq tiga. Ini adalah untuk kebaikan kalian semuanya, sehingga kalian tidak gampang menjatuhkan thalaq.”
Dalam hal ini, Sayyidina Umar tidak sembarangan, karena ia mempunyai pegangan, yaitu bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar tersebut adalah mashalih, karena berangkat dari kebaikan-kebaikan untuk kebaikan-kebaikan. Hal ini takkan dijumpai di dalam teks-teks Alquran, Hadis, Ijma’, ataupun Qiyas. Sehingga dalam kasus ini, hukum Islam akan stagnan jika tidak menggunakan sumber hukum seperti mashalih. Dari sini dapatlah kita pahami, bahwasanya sumber hukum Islam yang digunakan oleh para ulama, bahkan di zaman Rasulullah, di antaranya adalah mashalih.
Maqashid tersebut dianggap sebagai barometer untuk menentukan apakah suatu masalah itu termasuk maslahat (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), yang itu harus ditinjau dari maqashid atau maqshad atau tujuan dari ketentuan yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Para ulama kemudian menyimpulkan bahwasanya maqashid itu ada lima:
a.      Maqashid hifzhud-din, yaitu tujuannya adalah menjaga agama. Salah satu contohnya adalah dianjurkannya kita berjihad ketika jihad itu memang diperlukan untuk menjaga agama. Sebab kalau tidak, umat Islam mungkin akan dibantai sehingga akan habis. Kalau pemeluk agama Islam habis, maka agama Islam juga akan habis. Namun kadang kita mengartikan “jihad” itu seenaknya saja, padahal jihad adalah suatu ketentuan yang sangat sakral dan sangat mulia.
b.      Maqashid hifzhun-nafsi, yaitu menjaga diri. Tujuan syari’ (tujuan Allah) menentukan suatu ketentuan hukum adalah untuk menjaga diri. Misalkan mengenai ketentuan qishash. Qishash adalah membunuh seseorang yang memang sudah layak untuk dibunuh. Ketika ada seseorang yang membunuh tanpa adanya kejelasan, sehingga perbuatannya tersebut merupakan perbuatan yang sangat salah, maka hukum terhadap orang yang membunuh tersebut adalah qishash. Ditentukan dan dianjurkannya qishash ini pada prinsipnya adalah menjaga diri. Mengapakah qishash itu dianggap menjaga diri, sedangkan qishash itu sendiri merupakan membunuh?
Allah menyatakan, bahwasanya qishash itu adalah “hayaatun ya ulil albab” (qishash itu adalah kehidupan bagi kalian). Mungkin jika suatu saat kita sedang berada di Saudi Arabia, maka akan begitu terasa bahwa qishash merupakan suatu kehidupan. Biasanya pada hari Jum’at setelah imam mengucapkan salam, maka tiba-tiba ada pengumuman, maka itu pasti akan diadakannya hukum qishash, atau paling tidak potong tangan ataupun rajam. Diumumkan juga kepada seluruh umat Islam yang ada ketika itu dianjurkan untuk melihat pelaksanaan hukum qishash tersebut. Ketika melihat pelaksanan hukum qishash tersebut, mungkin akan begitu terasa di hati kita, mudah-mudahan kita diberi perlindungan oleh Allah agar tidak membunuh orang, karena hukumnya sangat berat. Inilah dampak psikis dari hukum qishash yang kita lihat itu. Sehingga orang yang melihat pelaksanaan hukuman tersebut, maka akan tertahan untuk melakukan tindak pidana. Inilah yang dikehendaki oleh Allah, bahwa qishash itu sebetulnya merupakan kehidupan bagi umat manusia.
c.       Maqashid hifzhul-aqli, menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih. Karena itu, disyariatkanlah ketentuan hukuman (had) bagi orang yang mabuk (baik itu karena minuman keras ataupun narkoba). Sehingga, tujuan dari mengapa orang yang mabuk ataupun menenggak narkoba itu dihukum adalah agar tidak melakukan hal tersebut, sehingga otak ini tetap jernih.
d.      Maqashid hifzhun-nasab, yaitu menjaga keturunan. Menjaga keturunan yang dimaksud di antaranya menjaga nasab dalam bentuk perintah dan menjaga nasab dalam bentuk larangan. Menjaga nasab dalam bentuk perintah salah satunya adalah menikah. Jadi, menikah itu adalah ketentuan dan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti juga ketentuan dalam perintah-perintah yang lainnya. Sehingga kalau ada orang yang mengatakan bahwa nikah itu hanya untuk meredam nafsu seksual, maka berarti orang tersebut tidak paham pada syariat, karena sesungguhnya nikah merupakan perintah Allah untuk menjaga keturunan, dalam hal ini tentunya keturunan yang terhormat. Dalam bentuk larangan yaitu ketentuan dilarangnya melakukan perzinahan dan dianjurkannya menghukum orang-orang yang berzinah.
e.       Maqashid hifzhun-maal, menjaga harta. Ada yang berbentuk anjuran, yaitu seperti perintah untuk bekerja mencari nafkah yang halal, yang hal ini sama dengan ibadah yang diperintahkan seperti dalam bentuk salat. Tujuan dari diperintahkannya bekerja adalah untuk menjaga harta. Selain itu, ada juga dalam bentuk larangan, yaitu larangan bahkan dihukumnya orang-orang yang mencuri dengan cara dipotong tangannya.
Inilah lima maqashid, yang kemudian disempurnakan lagi oleh para ulama menjadi enam, yaitu maqashid hifzhul-’irb, yaitu tujuan menjaga kehormatan. Sehingga dalam hal ini, misalkan dilarang dan dihukumnya orang-orang yang melakukan qadhab dan li-an. Qadhab adalah menuduh orang lain berzina. Seseorang yang menuduh orang lain berzina yang itu tanpa adanya empat orang saksi, maka orang tersebut (orang yang menuduh) harus dihukum. Sehingga seseorang tidak seenaknya saja menuduh orang lain berzina. Kalau tuduhan tersebut kepada istrinya, maka dinamakan li-an.
Jika menuduh orang lain berzina yang kemudian tidak bisa membuktikan dengan empat orang saksi, maka orang yang menuduh tersebut akan dijatuhi hukuman cambuk. Mengapa seperti ini? Karena kehormatan orang Islam itu terjaga, tidak seenaknya saja menuduh orang lain melakukan perbuatan yang tidak terhormat. Bagi seorang suami yang menuduh istrinya melakukan perbuatan zina, maka si suami yang menuduh tersebut harus bisa membuktikan dengan bersumpah empat kali sebagi ganti dari empat orang saksi.
Kalau bersumpah atas nama Allah, maka taruhannya adalah surga dan neraka. Kalau bersumpah tidak dengan nama Allah, misalkan “demi langit dan bumi”, maka orang tersebut kafir. Jadi, konsekuensi bersumpah itu sangat berat. Sehingga orang yang dimintai sumpahnya itu sebetulnya jauh lebih berat daripada menghadirkan saksi. Dari hal ini dapatlah kita lihat, bahwa begitu kerasnya syariat menjaga kehormatan orang Islam. Persoalan ini begitu pentingnya kita ketahui. Mengenai Alquran dan Hadis mungkin sudah sering kita dengar, tetapi hukum-hukum yang seperti ini mungkin jarang ataupun tak pernah kita dengar. Dan ini adalah ketentuan yang secara nyata terjadi pada para ulama.
Dengan mengetahui ini, mudah-mudahan akan membuka pikiran kita, sehingga kita tidak lagi seperti “katak dalam tempurung”, yang sedikit-sedikit kita mengatakan “hanya Alquran dan Hadis”. Memang tak dapat dipungkiri bahwa Alquran dan Hadis adalah sumber hukum Islam, tetapi bukan hanya Alquran dan Hadis, karena nyatanya para ulama tidak hanya bersumberkan kepada Alquran dan Hadis, melainkan ada sumber-sumber hukum Islam yang lainnya yang juga digunakan.
3.      URF
Dalam ushul fiqih terdapat sebuah kaidah asasi al-‘adat muhakkamat (=adat dapat dihukumkan) atau al-‘adat syari’at muhakkamat (=adat merupakan syariat yang dihukumkan). Kaidah tersebut kurang lebih bermakana bahwa adat (tradisi) merupakan variabel sosial yang mempunyai otoritas hukum (hukum Islam). Adat bisa mempengaruhi materi hukum , secara proporsional. Hukum Islam tidak memposisikan adat sebagai faktor eksternal non-implikatif, namun sebaliknya, memberikan ruang akomodasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum Islam bersifat fleksibel.
Dalam bahasa Arab, al-‘adat sering pula dipadankan dengan al-‘urf. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma’ruf – yang sering disebut dalam Al-Qur’an – diderivasikan. Oleh karena itu, makna asli al-ma’ruf ialah segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan). Kepantasan ini merupakan hasil penilaian hati nurani. Mengenai hati nurani, Rasulullah pernah memberikan tuntunan agar manusia bertanya kepada hati nuraninya ketika dihadapkan pada suatu persoalan (mengenai baik dan tidak baik). Beliau juga pernah menyatakan bahwa keburukan atau dosa ialah sesuatu yang membuat hati nurani menjadi gundah (tidak sreg).
Dalam perkembangannya, al-‘urf kemudian secara general digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, tentu saja al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu.
Amr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.
Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain. Sebagai sebuah contoh, apabila Al-Qur’an menyatakan “wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (=Dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi).
Karakter hukum Islam yang akomodatif terhadap adat (tradisi) amat bersesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama universal (untuk seluruh dunia). “Wajah” Islam pada berbagai masyarakat dunia tidaklah harus sama (monolitik). Namun, keberagaman tersebut tetaplah dilingkupi oleh wihdat al-manhaj (kesatuan manhaj) yaitu al-manhaj al-Nabawiy al-Muhammadiy.
Berangkat dari kesadaran “Bhinneka Tunggal Ika” inilah, Islam tidaklah harus disamakan dengan Arab. Islam merupakan sebuah manhaj yang bersifat universal, yang tidak bisa dibatasi oleh ke-Arab-an semata (Namun perlu diingat bahwa Arab [terutama bahasa Arab] dalam beberapa hal memang mempunyai posisi strategis dalam Islam).
Namun, harus disadari pula bahwa Islam diturunkan kepada Muhammad saw, seorang Arab, ditengah-tengah bangsa Arab. Implikasinya, Nabi tidak akan bisa lepas dari konteks/lingkungan Arab. Hal ini nantinya juga akan berpengaruh pada pewahyuan, baik Al-Qur’an maupun Al-Sunnah (sebagaimana dikatakan oleh para ushuliyyun dan mutakallimun bahwa perkataan [yang bukan Al-Qur’an] dan perbuatan Nabi merupakan “wahyu” karena Nabi senantiasa mendapat penjagaan dan ilham dari Allah). Sebagai contoh, Al-Qur’an mau tidak mau mesti diturunkan dalam bahasa Arab agar bisa dipahami oleh komunitas dimana Al-Qur’an diturunkan. Demikian juga perkataan Nabi, mesti dinyatakan dalam bahasa Arab. Demikian pula penyebutan nama-nama benda dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, tidaklah akan keluar dari perbendaharaan yang bisa dipahami oleh masyarakat Arab saat itu. Kalaupun ada istilah yang tidak dimengerti, maka para sahabat mesti langsung menanyakannya kepada Nabi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap bentuk-bentuk tasyri’ yang melibatkan nama-nama benda, haruslah dilakukan secara esensial, lepas dari kungkungan bahasa, tempat, dan zaman.
Sebuah contoh, tatkala Nabi memberitakan bahwa habbat al-sauda’ (jintan hitam) merupakan suatu obat yang mujarab bagi penyakit tertentu, maka itu tidak berarti bahwa tidak ada obat lain yang juga bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Adalah sangat mungkin akan ada berpuluh-puluh obat yang bisa berfungsi seperti habbat al-sauda’. Esensi dari berita Nabi tentang habbat al-sauda’ adalah zat yang dikandung oleh habbat al-sauda’, yang bisa menyembuhkan penyakit tertentu, dan zat tersebut bisa juga terdapat pada benda lain. Atau barangkali esensinya lebih luas dari itu, yakni perintah Nabi agar umatnya giat melakukan riset di bidang farmasi untuk menemukan berbagai benda di alam ini, yang berkhasiat untuk mengobati penyakit. Namun pola pemahaman esensial ini tidak boleh sampai kepada interpretasi bahwa, misalnya, habbat al-sauda’ tidak lagi efektif untuk obat, karena Nabi sudah jelas-jelas mengatakan efektivitasnya. Jadi, interpretasi boleh meluas (berangkat dari teks) namun tidak boleh membatalkan teks itu sendiri (karena justeru teks itulah titik tolak interpretasi).
Demikian pula tradisi (sunnah) Nabi secara umum, haruslah dipahami secara esensial. Hal ini tidak lain karena Islam merupakan agama universal dan berlaku selamanya. Dengan pemahaman esensial, syariat akan dapat diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, sampai ke relung-relungnya yang terkecil sekalipun. Pemahaman esensial juga akan menjadi “mimpi buruk (nightmare)” bagi orang-orang yang hendak melakukan hilat (intrik, manipulasi) terhadap syariat, dengan bertameng pada teks.
Adaptasi syariat terhadap adat juga bisa diamati pada materi wahyu. Imam Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menerangkan bahwa akibat ke-ummi-an bangsa Arab maka wahyu (yang berarti juga syariat) pun bersifat ummi. Maksudnya, wahyu turun dengan tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat berpikir bangsa Arab saat itu. Wahyu tidak dituntut untuk dipahami secara njelimet melebihi kemampuan berpikir bangsa Arab saat itu. Meskipun begitu, justeru generasi saat itulah yang merupakan generasi terbaik dalam pemahamannya terhadap wahyu.
Bagaimana Islam Menyikapi Adat?
Sebuah diktum yang amat terkenal menerangkan tentang salah satu prinsip Islam: Muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah (=Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Artinya, kedatangan Islam tidaklah untuk memberangus adat yang baik yang berlaku pada suatu masyarakat. Islam memandang adat yang baik sebagai suatu bentuk kreasi manusia dalam konteks lingkungannya (fisik dan nonfisik). Karena itu, Islam bersifat acceptable pada berbagai bentuk masyarakat yang ada di dunia ini kapanpun juga. Atas dasar ini, Islam memang pantas menjadi agama universal dan berlaku selamanya.
Dalam perkembangan adat (akibat interaksi antar adat yang berbeda), Islam mengajarkan untuk menjaga adat lama yang baik, sebagai suatu orisinalitas yang akan mewarnai kehidupan. Apabila terdapat suatu adat baru (yang baik) maka hendaknya sebisa mungkin diterima untuk didampingkan dengan adat yang lama (yang juga baik), sehingga akan memperkaya khazanah budaya masyarakat tersebut. Namun apabila adat baru (yang baik) itu mesti menggantikan sesuatu yang lama, maka yang baru tersebut baru boleh diterima apabila telah diyakini lebih baik daripada yang lama. Dengan sikap sedemikian, manusia akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
PENUTUP
Apabila dikaji dan diteliti pengertian yang diberikan oleh ulamak Hanafi dan Imam Malik, penggunaan Istihsan menurut pendapat mereka bukanlah berdasarkan akal dan nafsu semata akan tetapi masig berdasarkan dalil-dalil syara’ juga.
Apabila diteliti pengertian istihsan menurut Imam Syafi’i pula adalah berlainan dengan pengertian yang diberikan oleh ulama Hanafi dan Imam Malik. Dimana Imam Syafi’i menggambarkan penggunaan istihsan dengan berpandukan akal semata-mata, tanpa dalil syara’, oleh sebab itulah beliau menolak berhujah dengannya.
Disini dapat dirumuskan bahwa perselisihan di antara ulama mujtahid dan imam mazhab tersebut mengenai kehujahan istihsan, Mashalih Mursalah dan Urf merupakan perselisihan dari segi lafaz dan pemahaman saja. Hal ini terjadi disebabkan tidak sama pengertian yang diberikan. Sebenarnya antara mereka tiada perselisihan, karena tujuan mereka adalah satu yaitu membawa kebaikan untuk masyarakat, agama dan membawa kebenaran serta berhati-hati dan teliti dalam mengeluarkan hukum.

















DAFTAR PUSTAKA

Abd.Latif Muda, Rosmawati Ali@Mat Zin.1997. Pengantar Usul Fiqh. Kuala Lumpur: Pustaka: Salam Sdn Bhd.
Abdul Wahhab Khallaf.1984.Sumber-sumber hukum islam.Bandung Risalah.
Amir Husin Mohd Nor. 2002.Falsafah Perundangan Islam.Mahzum Book Services.
Hj Hassan bin Hj Ahmad.1998.Usul Fiqh.Hamid Bhd.
Mohd Nasran Mohamad, Anwar Fakhri Omar, Mohd Zamri Muda,Mohammad Zaini Yahaya.2001. Metodologi Fiqh.Bangli: Universiti Kebangsaan, Nota Kuliah. 2009.
Abdul Karim Zaidan.2006.الوجيز في اصول الفقه.Labenon:Resalah Public.

 
Transkriptor: Hanafi Mohan. dari Pengajian Tarikh Tasyri yang disampaikan oleh Dr. H.M. Masyhoeri M. Naim, M.A. pada tanggal 5 Februari 2009 di Masjid Agung Sunda Kelapa Jakarta.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: SUMBER HUKUM ISLAM
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/istihsan-mashalih-mursalah-dan-urf.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang tidak sesuai dengan syarat di bawah ini akan dihapus, Demi kenyamanan kita bersama :

1. Menggunakan bahasa tidak beretika (Sara, Pornografi, Menyinggung)
2. Komentar menautkan link secara langsung
3. Komentar tidak berkaitan dengan artikel
4. Komentar Scam (Promosi Link)

Original design by Bamz | Copyright of Coretan Mahasiswa Kampung.

Pengikut

Recent Comment