-->

TRILOGI KRITIK ARAB AL-JABIRI

Posted by Unknown Jumat, 01 Februari 2013 0 komentar


TRILOGI KRITIK NALAR ARAB AL-JABIRI
(Rekonstruksi Pemikiran Filsafat Arab-Islam Kontemporer)

Oleh : AHMAD NAWAWI

A.    PROLOG
Kesan yang penulis tangkap dari eksplorasi terhadap pemikiran filsafat Islam klasik, teristimewa filsafat Islam pasca Ibn Rusyd adalah bahwa para pemikir muslim pasca Ibnu Rusyd belum dapat dapat ‘menandingi’ keberhasilan yang  telah dicapai oleh para pendahulu mereka, sebut saja misalnya Ibn Rusyd, al-Ghozali, al-Farabi, dan Ibn Sina. Lebih jauh, capaian al-Asy’ari dengan teologi al-Asy’ariyahnya atau Ibn ‘Arabi dengan tawawuf falsafinya, sejauh ini lebih banyak dipakai sebagai referensi afirmatif dari pada sebagai referensi korektif-kritis. Para pemikir Muslim kontemporer belum dapat melepaskan dirinya dari mata rantai pemikiran masa lalu, alih-alih prestasi yang melampau capaian para pemikir muslim klasik.

Mohammed Abid Al-Jabiri, salah seorang filsafat kontemporer berkebangsaan Maroko, tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya bila mengamati fenomena ini.  Menurut al-Jabiri, pemikiran Arab kontemporer masih berputar pada lingkaran ganas, tidak mencapai kemajuan apapun dalam banyak persoalan yang dihadapi selama seratus tahun yang lalu.[1] Pemikiran Arab kontemporer selain selalu mengulang-ulang dirinya juga sangat hemat melakukan kreatifitas pemikiran inovatif. Ini disebabkan adanya ketidaksadaran struktur epistemologis yang tidak memungkinkan terjadinya gerakan dari satu tahap intelek ke tahap lainnya. Oleh karenanya, pemikiran yang lebih akhir tidak akan bisa melampaui pemikiran yang sebelumnya.[2]  Berbagai gerakan yang tampak dalam pemikiran Arab adalah gerakan dalam ruang yang sama dan dalam era kebudayaan yang sama, yang tidak dapat melampaui gagasan-gagasan para pendahulu mereka. Bagi al-Jabiri, independensi merupakan keniscayaan agar Arab terbebas dari berbagai model dan pemikiran analogis. Al-Jabiri menyerukan agar intelektual Arab membebaskan diri mereka dari “otoritas referensial”, baik model “warisan” Arab-Islam maupun model kebudayaan dan pemikiran Eropa. [3] Bagi al-Jabiri, ketika melihat realitas Arab kontemporer, kritik terhadap nalar Arab adalah sebuah keniscayaan tidak terhindarkan ketika para pemikir Arab kontemporer hendak melampaui capaian para pendahulu mereka. al-Jabiri menawarkan agar para pemikir muslim kontemporer tidak hanya mencerap produk pemikiran para pemikir Islam klasik, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan menyingkap struktur epistemologi pemikiran mereka.
Pemikiran al-Jabiri gaungnya masih terdengar secara samar-samar, setidaknya di Indonesia. Sampai sekarang belum banyak tulisan yang memberikan apresiasi serius terhadap pemikiran al-Jabiri. Meski begitu, tidak berarti pemikiran al-Jabiri tidak mendapat tempat istimewa di Indonesia. Justru pemikiran al-Jabiri mendapat reputasi cukup menggembirakan bagi sebagian komunitas intelektual muslim Indonesia.
Pada konteks global, lebih jauh apresiasi terhadap pemikiran al-Jabiri dapat ditemukan pada sejumlah kecenderungan dalam pemikiran Arab kontemporer beserta tokoh-tokohnya. Antara lain adalah artikel Ibrahim M. Abu Rabi’ dalam History of Islamic Philosophy.[4] Abu Rabi’, dalam tulisannya berusaha mengeksplorasi aktivitas pemikiran filsafat Islam di dunia Arab sejak abad ke 19 H. Abu Rabi’ menghadirkan Al-Jabiri sebagai salah seorang filosof Muslim kontemporer yang menaruh perhatian terhadap wilayah epistemologi dan filsafat dalam Islam. Abu Rabi dalam bukunya Intellectual Origins of Islamic Reurgence in The Modern Arab Word juga berbicara tentang al-Jabiri.[5] Meskipun dalam paparannya mulai menyentuh wilayah kritik nalar Arab al-Jabiri, namun tidak begitu jelas, mengapa dalam kedua artikel tersebut, Abu Rabi’ tidak mengekplorasi secara mendalam tentang gagasan kritik nalar Arab al-Jabiri, alih-alih memaparkan perspektif epistemologis kritik nalar Arab al-Jabiri.
Kajian pemikiran al-Jabiri secara lebih spesifik antara lain dilakukan Armando Salvatore, dalam bukunya The Rational Authentication of Turath ini Contemporary Arab Thought: Muhammad Abid al-Jabiri and Hassan Hanafi.[6] Membaca judulnya, dapat diraba penulis buku ini berusaha mendialogkan pemikiran al-Jabiri dengan pemikiran Hassan Hanafi.[7] Salvatore juga menyinggung al-Jabiri dalam Islam and The Political Discourse of Modernity.[8] Berbeda dengan buku yang pertama, di buku kedua Sarvatore melihat al-Jabiri dari perspektif pergulatan antara Islam dan wacana pemikiran politik kontemporer.  Gagasan Kritik nalar Arab al-Jabiri juga tidak luput dari pengamatan kritis dari George Thabarisi. Thabarisi, dalam bukunya Nadzariyah al-‘Aql: naqd al-‘Aql al-‘Arabi banyak memberikan kritikan terhadap kritik nalar Arab al-Jabiri.[9] Oleh karena alasan ini, barangkali tidak berlebihan jika karya ini dikatakan sebagai “Tahafut Tahafut”-nya  Thabarisi.
Berikutnya, tulisan yang membahas kritik akal Arab al-Jabiri adalah Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiasse dalam Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik al-Jabiri.[10] Seperti terlihat dalam judul artikel, Abied Shah dan Sulaiman Mappiase berusaha menjelaskan pendekatan epistemologis trilogi kritik nalar al-Jabiri. Tanpa berpretensi menegasikan sikap kritis kedua penulisnya, tulisan Abied Shah dan Sulaiman Mappiase barangkali lebih tepat kalau ditempatkan sebagai pengantar untuk memasuki kritik nalar Arab al-Jabiri.
Tulisan berbentuk pengantar yang ditulis cukup bersemangat adalah artikel Ahmad Baso dalam Post Tradisionalisme Islam.[11] Baso mengamati bahwa tidak satu pun proyek al-Jabiri yang lebih ambisius melebihi kritik nalar Arab.[12] Baso memaparkan kontribusi al-Jabiri dalam membangun tradisi kritik nalar dalam Islam. Meski demikian, sepengamatan penulis dia belum begitu berminat melakukan eksplorasi pemikiran al-Jabiri secara lebih mendalam. Pilihan Baso dapat dipahami jika melihat kepentingan dan situasi psikologis penulisnya. Bagi Baso, mendeskripsikan konsep kritik nalar Arab al-Jabiri lebih bermanfaat dari pada melakukan eksplorasi  epistemologi dan uji relevansi kritik nalar Arab, pada saat pemikiran itu masih menjadi barang baru di Indonesia.
Di samping tulisan-tulisan tersebut, pemikiran al-Jabiri juga diintrodusir oleh sejumlah kalangan muda Nahdlatul Ulama (NU) melalui jurnal Tashwiru al-Afkar.[13] Tulisan-tulisan tersebut menjadi pengantar cukup baik untuk berkenalan dengan pemikiran al-Jabiri. Patut disayangkan, dalam tulisan-tulisan tersebut al-Jabiri cenderung terposisikan sebagai afirmator membangun arus pemikiran tertentu di Indonesia. Ulil Absar Abdala, dalam mengamati fenomena ini  mensinyalir adanya tekstualisasi model baru di kalangan anak muda NU dalam memahami para pemikir Arab kontemporer.[14] Konsekuensinya, membaca al-Jabiri dari perspektif ini tentu akan memunculkan kesan adanya jarak antara al-Jabiri sebagai sosok pemikir dengan kondisi sosio-kultural dan sosio-intelektual Maroko dengan al-Jabiri sebagai seorang idiolog suatu gerakan pemikiran tertentu, terlebih di Indonesia.

B.     PERJALANAN INTELEKTUAL AL-JABIRI
Muhammad Abid al-Jabiri adalah seorang filosof Maroko kontemporer yang dilahirkan pada tahun 1936. al-Jabiri menjalani pendidikan tingginya di Fakultas adab, Universitas Muhammad V, Rabath, hingga mencapai gelar doktoralnya dalam bidang Filsafat pada tahun  1970,[15] sampai akhirnya, al-Jabiri menjadi tenaga pengajar pada Perguruan Tinggi yang sama.
Al-Jabiri tergolong seorang penulis produktif. Hingga kini, tulisan-tulisannya yang muncul dalam bentuk buku telah mencapai  angka belasan. Karya-karya al-Jabiri yang dapat disebutkan  antara lain adalah Fikr Ibn Khaldun: al-Ashabiyyah wa al-Daulah (1971); Adwala ‘ala Musykilat al-Ta’lim (1973); Madkhal li al-Falsafah al-‘Ulum (1976); Min Ajli Ru’yah Taqaddumiyyah li Ba’dl Musykilatina al-Fikriyyah wa al-Tarbawiyyah (1977); Nahnu wa al-Turast: Qira’ah al-Mu’ashirah fi Turastina al-Falsafi (1977). Tentang tentang kritik nalar Arab, al-Jabiri menulis empat seri Naqd al-‘Aqli Al-‘Arabi. Keempat seri tersebut adalah Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi (1982); Bunyah al-‘Aqli al-Arabi: Diratsah Tahliliyah li Naqdiyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyah (1986); al-‘Aqli al-Siyasi al-‘Arabi: Muhaddidah wa Tajjaliyatuh (1990); dan Al'-‘Aqlu al-‘Akhlaqi al-‘Arabi (2001). Al-Jabiri juga menulis buku berjudul al-Aqli al-Waqi’ al-‘Arabi (oooo); dan, al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’ashir: Diratsah Tahliliyah Naqdiyah (1986).
Di samping direfleksikan  dalam bentuk buku, pemikiran-pemikiran al-Jabiri juga menyebar dalam bentuk artikel-artikel yang disampaikan di seminar-seminar, majalah, jurnal ilmiah dan koran-koran lokal.  Paling tidak, hingga kini telah ada enam buku yang memuat tulisan-tulisan lepas tersebut. Isykaliyat al-Fikri al-Arabi al-Mu’ashirt (1989); al-Turats wa al-Hadatsah: Diratsah wa al-Munaqasah (1991); Wijhah Nadzr Nahw I’adah Baina Qadlaya  al-Fikri al-‘Arabi al-Mu’ashir (1992); Mas’alah al-Tsaqafah (1994); Mas’alah al-Huwiyah (1994); al-Mutsaqafun al-‘Arab fi al-Hadlarah al-Islamiyyah (1995). Selain itu ada lagi tulisan polemik antara al-Jabiri dengan
Khitab al-‘Arabi al-Mu’ashir, Marakiz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, Beirut, cet. V, 1991,  h. 206
Hassan Hanafi yang dibukukan dengan judul Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib (1990).
Al-Jabiri juga meluncurkan satu karya filsuf Andalusia Ibn Rusyd yang berupa komentar atas Republik Plato dan Etika Aristoteles, sebuah karya penting yang naskah Arabnya telah hilang. Ia bekerjasama dengan Ahmad Sahlan menerjemahkan karya tersebut dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab, sedangkan al-Jabiri sendiri bertindak sebagai editor sekaligus memberi pengantar panjang atas karya politik Ibn Rusyd tersebut dalam artikel berjudul al-Dlaruri fi al-Siyasah: Mukhtasyar Kitab al-Siyasah li Aflatun (1998).[16]
Kalau mau mencermati, semua karya-karya al-Jabiri ditulis dalam bahasa Arab. Tidak dapat dipastikan alasan yang mendasari pilihan al-Jabiri ketika  ketika lebih intensif merefleksikan pemikiran-pemikirannya dengan bahasa Arab. Barangkali ini merupakan manifestasi konsistensi al-Jabiri wilayah yang telah bertahun-tahun digelutinya, yaitu epistemologi nalar Arab. 

C.     NALAR ARAB: ASAL USUL PEMBENTUKAN
Ketika berbicara nalar Arab, logika bawah sadar kita atau setidaknya penulis, tergiring untuk mengajukan pertanyaan eksistensi nalar Arab. Kalau nalar Arab itu benar-benar ada, hipotesa yang segera muncul adalah bahwa setiap masyarakat memiliki kerangka berpikir yang dilahirkan sebangun dengan karakteristik kebahasaan dan kultural mereka masing-masing. Orang Yunani memiliki nalar Yunani. Orang Eropa memiliki nalar Eropa. Orang Indonesia memiliki nalar Indonesia, dan begitu seterusnya. Barangkali inilah yang hendak disampaikan al-Jabiri. Persoalannya barangkali adalah bahwa al-Jabiri hanya mengakui tiga model nalar; nalar Yunani, nalar Eropa,  dan nalar Arab. Secara eksplisit al-Jabiri mengatakan bahwa dalam perjalanan sejarah umat manusia ketiga peradaban inilah yang sampai saat ini telah melahirkan peradaban pemikiran yang menjadi prototype pemikiran umat manusia.[17] Barang kali tidak berlebihan jika dikatakan, keberhasilan bangsa Arab Islam dalam merumuskan model penalaran, teistimewa pada disiplin ilmu-ilmu fiqh misalnya, adalah berbanding lurus dengan keberhasilan Yunani melahirkan penalaran model filsafat. Berpijak dari sini, al-Jabiri melihat keniscayaan menggali tradisi Arab Islam, untuk selanjutnya melakukan rekonstruksi epistemologis yang membentuk pengetahuan mereka.
Konsep-konsep intelektual dalam wacana intelektual Arab kontemporer dan modern tidak menggambarkan realitas Arab yang sesungguhnya, tetapi lebih pada “realitas pinjaman”. Persoalan menjadi lebih rumit karena konsep-konsep tersebut menurut al-Jabiri, dipinjam dari pemikiran Arab-Islam abad tengah yang memiliki muatan spesifik nyata (atau diimajinasikan)  dan adakalanya dipinjam dari pemikiran Eropa yang digunakan untuk merencanakan suatu realitas asing sebagaimana telah dicapai di Eropa (atau dalam proses pencapaian Eropa). Apakah model masa lalu itu berupa Arab Islam atau Eropa, dalam kedua kasus ini konsep-konsep intelektual wacana Arab menggunakan “realitas tiruan” yang boleh jadi bias dalam mengungkapkan suatu “realitas tidak terbatas” seperti diharapkan. Akibatnya terjadi pemutusan hubungan antara pemikiran Arab dan obyeknya. Persoalannnya menjadi lebih rumit karena “konsep pinjaman” tersebut bila dihadapkan pada realitas kekinian, tidak memiliki makna atau muatan yang sama dengan penggunaan aslinya, mengingat perbedaan kontekstual obyektif yang melatari kelahiran konsep itu.[18]
Menurut al-Jabiri, sebelum melangkah ke masa depan, bangsa Arab harus terlebih dahulu memecahkan persoalan-persoalan yang ditinggalkan masa lampau melalui kritik. Untuk melakukan kajian kritik dengan benar harus bertolak dari kesadaran ego (al-ana) yang substansial sebelum melakukan eliminasi ego yang dipertalikan dengan legasi masa lampau maupun yang berasal dari Barat.[19] Karenanya wajar apabila al-Jabiri sangat konsens mengkaji wacana filsafat modern, teristimewa prestasi filosof Arab masa lalu dan menganalisis formulasi-formulasi filosof dunia Arab saat ini yang ingin menyajikan suatu bentuk filsafat Arab kontemporer.[20] 
Kritik nalar Arab adalah salah satu kosa kata yang baru muncul dalam wacana pemikiran Arab kontemporer. Oleh karenanya penelusuran kapan kosa kata ini pertama kali muncul dalam dunia pemikiran Arab kontemporer, memang maih sulit dilakukan. Menurut Syafiq Hasyim, Al-Jabiri bukanlah orang yang pertama membicarakan hal ini, mengingat sebelumnya Zaki Najib Mahmud pada tahun 1977 juga pernah memperkenalkan terminologi yang sama melalui artikel yang dimuat oleh majalah Ruz Yusuf dengan judul al-‘Aqlu al-‘Arabi Yatadahwaru. Tulisan Najib kemudian ditanggapi Ahmad Musa Salim dengan bukunya berjudul al-‘Aqlu al-‘Arabi wa Minhaju al-Tafkir al-Islami.[21] Dengan demikian  al-Jabiri bukanlah orang pertama yang menggunakan istilah nalar Arab dalam konteks kajian studi Islam.




Bahwa al-Jabiri kemudian menggemakan istilah ini sehingga menjadi terminologi baru dalam wacana pemikiran filsafat Arab kontemporer barangkali dapat dibenarkan karena sejumlah alasan yang akan dijelaskan. Tidak mengherankan apabila term kritik nalar Arab pada dataran ini selalu diasosiasikan kepada al-Jabiri. Menurutnya, nalar Arab adalah “himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum [berpikir] yang diberikan oleh kultur Arab bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Artinya, himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum [berpikir] yang ditentukan dan dipaksakan [secara tidak sadar] sebagai episteme (al-ma’rify) oleh kultur Arab.”[22]
Mungkin ada yang bertanya, mengapa nalar Arab (al-‘Aqlu al-‘Arabi), bukan nalar Islam (al-fikru al-Islami) atau pemikiran Arab (al-Fikru al-‘Arabi) seperti yang digunakan Mohammed Arkoun. Al-Jabiri sengaja membedakan proyek kritik nalar Arab-nya dengan kritik nalar Islam model Arkoun, karena yang disebut terakhir memperluas cakupan kritik nalar Islamnya hingga ke tradisi pemikiran non-bahasa Arab. Lain halnya al-Jabiri yang cukup puas membatasi jangkauan kritiknya pada tradisi pemikiran yang menggunakan bahasa Arab dan yang lahir dalam lingkungan masyarakat Arab dalam lingkungan geografis dan kultur tertentu. Ini memang pilihan strategis baginya, setidaknya ketika dilihat dari perspektif bahasa, dimana Islam sebagai sebuah kajian Ilmiah tidak hanya dimiliki oleh orang Arab. Untuk menghindari keterjebakan terminologis, al-Jabiri hanya membatasi garapannya pada wilayah nalar yang diproduksi oleh kultur, bangsa dan bahasa Arab. 
Proyek kritik nalar Arab al-Jabiri tampaknya memang tidak diproyeksikan untuk membangun satu “teologi” atau ilmu kalam baru. Kritik al-Jabiri bukan kritik teologis, yang menaruh perhatian besar pada persoalan-persoalan ketuhanan, wahyu, ortodoksi, dan aliran-aliran kalam, akan tetapi kritik nalar al-Jabiri adalah kritik epistemologis. Yakni kritik yang ditujukan kepada kerangka dan mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam babakan-babakan sejarah tertentu. Maka konsep-konsep dan tema-tema yang digeluti al-Jabiri pun tentu akan berbeda dengan tema-tema yang di pakai Arkoun. Pada yang terakhir,  konsep-konsep seperti ortodoksi, wahyu, mitos, imajiner dan simbol, menempati posisi dominan. Sementara pada al-Jabiri, yang dominan adalah persoalan-persoalan atau tema-tema yang banyak muncul dalam lingkunganbahasa Arab. [23]
Selain itu, penggunaan istilah al-‘Aqlu al-‘Arabi di sini untuk menghindari konotasi idiologis yang mungkin terkandung dalam terminologi al-‘Fikru al-‘Arabi. Lebih lanjut al-Jabiri berargumen, terminologi al-Fikru dan idiologi adalah dua nama untuk satu hal. Apabila ia terpaksa memakai istilah al-Fikru al-‘Arabi, maka yang dimaksud di sini adalah pandangan, bukan sebuah teori atau aliran yang berkonotasi idiologis, akan tetapi lebih mengartikan al-Fikru sebagai alat yang berguna untuk menghasilkan teori. Pengertian al-Fikru sebagai alat teoritisasi inilah yang lebih dekat dengan istilah al-‘Aqlu yang digunakan al-Jabiri.[24]
Setelah mengamati batas-batas argumentasi yang mendasari pilihan al-Jabiri dengan konsep nalar Arab, berikut ini penulis bermaksud menjelaskan aspek ontologis konsep nalar Arab al-Jabiri. Menurutnya,
[…] apa yang kami maksud dengan nalar Arab adalah la raison constitue (aqlu mukawwan), yakni himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berpikir) yang diberikan oleh kultur Arab bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan. Artinya, himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berpikir) yang ditentukan dan dipaksakan [secara ridak sadar] sebagai episteme oleh kultur Arab. [25]
Konsep nalar (aql) yang dimaksudkan al-Jabiri, seperti diakuinya, dia pinjam dari Andre Lalande. Kutipan dari Lalande ini, pernah dipersoalkan salah seorang pengkritik al-Jabiri, yaitu Geogre Tharabishi, yang menilai kutipan al-Jabiri tersebut salah alamat dan keliru.[26] Menurut Tharabisi, Lalande tidak pernah menyebut satu definisi akal sebagai “himpunan aturan-aturan dan hukum-hukum (berpikir) yang diberikan oleh satu kultur tertentu bagi penganutnya sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan.” Meski demikian, terlepas dari apakah al-Jabiri mematuhi Lalande atau malah membuat kreasi sendiri tentang arti nalar tersebut, faktanya al-Jabiri telah menawarkan pengertian baru tentang nalar dalam lingkungan studi-studi Islam. Bukan hanya memperkenalkan pemikiran Arab sebagai sebuah system, tetapi juga mengaitkan nalar tersebut dengan historisitas dan ketidaksadaran.[27]
Al-Jabiri mengklasifikasi konstituen nalar Arab ke dalam tiga bentuk yaitu, nalar bayani, nalar irfani dan nalar burhani. Dalam seri pertama kritik nalar Arabnya yang berjudul  al-Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi, al-Jabiri mengosentrasikan analisanya pada proses-proses historis, baik epistemologis maupun idiologis yang memungkinkan terbentuknya ketiga nalar tersebut, termasuk interaksinya serta krisis-krisis yang menyertainya. Sementara pada seri yang kedua, Bunyah al-‘Aqli al-‘Arabi, al-Jabiri berupaya menyingkap struktur internal masing-masing ketiga ini. Pada bagian berikut, secara sepintas penulis akan menyingkap struktur internal ketiga nalar ini.

D.    TRILOGI KRITIK NALAR ARAB
a.      Metode Bayan
Sebagai sebuah aktivitas keilmuan, bayan adalah nama aphoris dari proses penampakan dan menampakkan (al-zuhr wa al-izhar) serta aktivitas memahami dan memahamkan (al-fahmu dan ifham). Sebagai sebuah lapangan keilmuan, bayan dalam kapasitasnya sebagai hasil sebuah pandangan budaya secara ontologis merupakan ilmu pengetahuan yang diadopsi oleh ilmu-ilmu Arab orisinil; ilmu bahasa dan ilmu agama. Kemudian, sebagai epistemologi, bayan adalah kumpulan prinsip dasar, ketentuan dan kekuatan yang menentukan orientasi orang yang mencari pengetahuan dalam medan kognitif bayani tanpa disadarinya dan tanpa bisa mengambil pilihan lain. [28]
Kumpulan prinsip dasar dan prosedur ini bisa kita reduksikan dalam tiga pasangan epistemologis dominan; kata/makna, prinsipium/cabang dan, substantial/accidens. Pasangan yang pertama dan kedua menentukan titik tolak pemikiran dan metodologinya, sedangkan yang ketiga membangun perspektif berpikir dan mempengaruhinya.[29]
Al-Jabiri mengamati, perspektif pemikiran ilmu-ilmu agama (ilmu Kalam dan Ushul Fiqh) tidak mampu melepaskan diri dari prinsip dasar bahasa Arab yang  merupakan warisan nalar Arab Badui yang tidak melihat adanya hubungan kausalitas antara sekadar hubungan kedekatan terpisah. Prinsip seperti ini yang mengilhami ulama Kalam dan Ushul Fiqh sehingga mereka berpandangan bahwa keterkaitan antara substansi dan bentuknya sebatas hubungan biasa, tidak mengandung sifat kemestian aksiomatis. Mereka  telah memfungsionalisasikan secara simbolis prinsip penalaran bayani tersebut dalam memahami pesan-pesan kosmologis, keilmuan dan teologis al-Qur’an dan akibatnya pesan-pesan tersebut tidak mampu keluar dari kungkungan kekuasaan nalar jahiliah dalam upaya untuk melebarkan jangkauan misi pembebasan manusia dari alam kegelapan menuju ketenteraman.

b.      Metode Irfani
Sebagai aktivitas kognitif, penalaran irfan berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-Kasyf (unveiling, decouverte) dan al-a’yan (intuisi). Irfan dalam konteks ini mengambil posisi sebagai sinkretisme dari legenda, kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan legitimasi pembenaran dari apa yang diyakini oleh pemeluknya sebagai pengertian esoteris yang tersembunyi di balik wujud eksoteris dari teks agama. Adapun dari perspektif epistemologis, irfan merupakan prinsip dasar, konsep dan prosedur yang membangun dunia berpikir gnostik dalam peradaban Arab, dengan dua porosnya. Pertama, penggalian bahasa dengan menggunakan pasangan epistemologis makna eksoteris/esoteris yang sejajar dengan padanan kata/makna dan tren penalaran bayani. Hanya saja dia melihat pasangan ini secara terbalik, artinya menjadikan makna sebagai asal dan kata sebagai cabang. Kedua, mengabdi dan menggali manfaat dari politik secara bersamaan, baik secara eksplisit maupun implisit, dengan menggunakan pasangan epistemologis kewalian/kenabian yang paralel dengan pasangan epistemologis prinsipium/cabang dan pasangan substantia/accidens dalam model penalaran bayani.
Al-Jabiri sangat kritis dalam melihat mekanisme berpikir irfani ini.
Menurut al-Jabiri, apa yang dianut dan di ajarkan dalam tradisi irfani pada tingkat elit dan terpelajar, serupa dengan yang dianut kalangan musyrik mekah pada dataran awan dan primitifnya. Lebih lanjut al-Jabiri mengatakan, karasteristik model penalaran irfani selain tidak mengakui kekuatan akal manusia juga menganut kepercayaan tentang “perantara” dengan nama yang berbeda-beda, --Akal Perama, Roh Universal, Shakikat, Nur Muhammad yang lahir melaluiemanasi, tajalli atau pancaran cahanya,-- untuk mencapai Tuhan transenden, tidak mengakui kenabian, juga tidak mengakui Tuhan transenden sebagai Pencipta. Apalagi idiologi itu didasarkan pada argumen-argumen penalaran yang cukup meyakinkan. Tidak berlebihan ketika al-Jabiri menyebut model penalaran ini sebagai al-la ma’qulat al-aqli atau al-aqlu al-mustaqil. Sebuah idiologi yang banyak menggunakan argumen akan, tetapi ujung-ujungnya tidak mengakui kemampuan akal manusia untuk mengetahui Tuhan melalui refleksi alam ini. [30] 
c.      Metode Burhani
Sebagai aktivitas kognitif, penalaran burhani adalah inferensi rasional (istidlal istintaji), yaitu penggalian premis-premis yang menghasikan konklusi yang bernilai. Sebagai lapangan kognitif. Metode burhani adalah dunia pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan tranlasi buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, teristimewa karya-karya Aristoteles. Karena penerjemahan buku-buku itu dilatari oleh kehendak politik untuk mendukung penalaran burhani melawan serbuan penalaran irfani, maka tidak heran kalau dalam praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh dominan. Tak pelak, terjadilah hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam dataran pemikiran baik teolog maupun filsafat.
Proses akulturasi tren ini ke dalam peradaban Arab menurut perspektif epistemologinya, mengikuti dua poros berikut. Pertama, dalam kaitannya dengan metodologi, yaitu dengan menggunakan pasangan epistemologis kata-kata (intelllegible atau al-ma’qulat) yang sejajar dengan pasangan pertama dalam model penalaran bayani. Kedua, berkaitan secara khusus dengan pola pandang, yaitu dengan menggunakan pasangan epistemologis principium/cabang dan pasangan substantia/accidens dalam model penalaran bayani. [31]
Kini saatnya untuk membahas interaksi subalternasi yang berlangsung antara ketiga konstituen tersebut. Dapat dikatakan bahwa dalam sejarah peradaban Arab, interarksi tersebut telah berlangsung dalam tiga fase: fase subalternasi genetis (al-tadakhul al-takwini), fase subalternasi sinkretis (al-tadakhul al-talfiqi) dan terakhir, fase rekonstruksi (i’adah ta’sisi) atau pasca alternasi. Pada fase pertama, masing-masing tren sedang mencari jati dirinya dengan membangun ke dalam dan berupaya mencari tempat pada dataran peradaban, sehingga interaksi yang berlangsung tidak menjadi ledakan konfrontasi, atau setidaknya eliminir untuk sementara. Akan tetapi, tidak berapa lama kemudian, interaksi antara model penalaran  berubah menjadi konflik terbuka. Pada abad ke 5 H, krisis internal dalam model penalaran mencuat ke permukaan. Upaya rekodifikasi yang dilakukan oleh Qadli al-Jabbar (dari aliran Mu’tazilah) dan Imam  al-Juwaini (dari al-Ay’ariyah) tidak banyak mengubah keadaan, karena krisis yang terjadi membutuhkan perbaikan fundamental. Berbeda dengan dua tren yang lain, pada awal abad ke-5 H ini terjadi asimilasi damai antara model penalaran bayani dan model penalaran irfani, khususnya di tangan al-Qusairi dengan karyanya al-Risalah. Demikian pula antara model penalaran irfani dan model penalaran burhani di tangan al-syeikh al-Ra’is Ibn Sina. Kemudian datang al-Ghazali untuk memberikan sentuhan terakhir kepada fase subalternasi sinkretis yang pengaruhnya masih berlangsung sampai sekarng.[32]
Kalau rasionalisme episteme bayani diperhadapkan dengan “irasionalisme epistema irfani”, lalu bagai mana al-Jabiri menempatkan epistem burhani di antara kedua episteme tersebut? Dalam konteks inilah terlihat keberpihakan al-Jabiri terhadap salah satu episteme, yaitu burhani. Pasalnya, dalam berbagai kesempatan, al-Jabiri senantiasa menegaskan komitmennya pada rasionalisme. Secara idiologis, di satu sisi al-Jabiri berpihak pada rasionalisme bayani yang bersumber pada pandangan dunia al-Qur’an. Sehingga dengan ini ia tidak mengakui model pandangan dunia irfani yang tidak rasional dan menganggap kandungan lahiriah al-Qur’an sebagai kebenaran yang dikandung tradisi hermetisisme. Tapi, pada sisi lain, al-Jabiri mengkritik aspek epistemologis nalar bayani yang menjadikan pemikiran atau kegiatan bernalar terpaku pada teks atau pada dasar-dasar (dikenal denan sebutan al-ushul al-arba’ah) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah. Meski pada awalnya pandangan dunianya adalah pandangan rasional model al-Qur’an, tetapi bentuk bernalar semacam ini secara gradual beralih menjadi pandangan dunia tersendiri yang khas bayani karena banyak di dasarkan pada alam pikiran bahasa Arab, dan bukan pada al-Qur’an itu sendiri. [33]
Sampai di sini, ada pertanyaan mendasar, mengapa al-Jabiri tidak langsung meneruskan dengan bentuk asimilasi yang lain, yaitu antara penalaran bayani dan burhani, sebagai konsekwensi logis dari segitiga yang sedang berlangsung? Bukankah banyak sejarahwan filsafat yang menyatakan bahwa misi utama, atau dalam bahasa al-Jabiri kontentum idiologis,-- filsafat Islam adalah akomodasi dua kutub antara filasafat dan ajaran agama? Bukankah Ibn Rusyd sendiri digelari juga sebagai “filosof akomodasi” antara filsafat dan agama kerena bukunya “fashlu al-Maqal”? Penulis hanya bisa mengatakan bahwa yang terjadi kemudian bukanlah (sekadar) asimilasi sejajar antara model penalaran bayani sekarang dan model penalaran burhani, melainkan kenyataan bahwa sekarang telah memasuki tahapan baru: fase rekonstruksi bayani di atas landasan demostrasi (I’adah Ta’sis al-bayan ‘ala al-burhan), bukan sebaliknya. Fase ini berlangsung secara fenomenal di bumi Andulusia, di tangan Ibn Hazm, dilanjutkan oleh al-Syatibi dalam bidang hukum legal dan telah mencapai kematangannya di tangan filosof Cordova, Ibn Rusyd. Kemudian dalam bidang yang lain dan di daratan yang berbeda, Ibn Khaldun di Maroko melanjutkan tradisi kritis itu dengan menggagas ilmu sosiologi-antropologi atau Umran al-Basyari.
Sayangnya tradisi ini langsung mati setelah sempat mengecam alam kedewasaan sebentar. Atau mungkin lebih tepat kalau kita katakan bahwa tradisi ini, terpaksa bermigrasi ke dunia lain (baca Italia, Eropa Kristen). Tak pelak, dunia berpikir subalternasi sinkretis model al-Ghazali-lah yang menjadi kekuatan tunggal dalam peradaban  Arab sejak abad ke-5 H. Kekuasan tersebut di topang oleh kekuatan pemikiran yang terbentuk dari tren penalaran yang saling berkelindan. Relasi aktif yang berlangsung antara pasangan-pasangan epistemologis itu bisa disebut sebagai “processed structure(al-bunyah al-muhasshalah). Di sini bisa diklasifikasikan  konstituen “processed structure”, yang mempengaruhi struktur akal Arab sejak era kodifikasi abad ke-2H, ke dalam tiga bentuk kekuatan :
1.      kekuatan kosakata (atau bahasa) dalam berbagai bentuknya dan dalam segala kedudukannya.
2.      kekuatan asal (derivating orisin, al-ashl), baik dalam kedudukannya sebagai pengetahuan (yaitu kekuatan salaf yang berwujud riwayat-riwayat dan ijma) maupun dalam kedudukannya sebagai contoh yangsudah ada (mitsal al-sabiq).
3.      kekuatan metafora (al-tajwiz), baik yang berbentuk retoris maupun gnostis. [34]
Ketiga kekuatan tersebut bekerja sama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan nalar Arab yang tidak realistis. Tidak memperhatikan kaidah-kaidah hukum kausalitas dan tidak berpangkal dari realitas faktual. Dia mengambil kehidupan dari kata-kata. Pada era ini, nalar Arab lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berinteraksi denan kata-kata, dari pada dengan konsep. Nalar Arab tidak berpikir kecuali bertolak dari derivasi, atau paling tidak mendapatkan orientasinya dari asal itu, yaitu asal yang dibawa oleh kekuatan salaf, baik dari segi kata-katanya maupun dari segi pengertiannya. Adapun dengan instrumen yang digunakan oleh akal Arab ini dalam menuntut ilmu pengetahuan, adalal proses analogi, baik secara bayani (analogi deduktif) maupun secara irfani (analogi induktif), yang keduanya tergantung pada kekuatan metafora (al-tajwiz) sebagai kaidah umum yang melandasi pola berpikir dan weltanschaung-nya. [35]
Lalu apa yang haruskita lakukan sekarang? Sebagaimana disinggung di bagian terdahulu, al-Jabiri menyatakan bahwa pemikiran Arab kontemporer menjadi “sandera” dari dua sumber energinya; legasi salaf dan realitas barat modern. Maka agar bisa bangkit, akal arab tersebut harus membebaskan diri dari ketergantungan kepada sumber energi tersebut.
Menurut al-Jabiri, perubahan struktur nalar dan menggantinya dengan struktur nalar yang lain tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya sebuah praksisi, yaknis parksis rasionalisme dalam persoalan pemikiran dan kehidupan, terutama praksis rasionalisme kritis yang ditujukan terhadap tradisi yang mewarisi segenap aoritas berpikir dalam bentuk bangunan yang tidak sadar. [36] Karenanya, kita tidak ada jalan lain menuju modernisasi kecuali berpaling ke dalam legasi pemikiran Arab klasik dengan  menggali potensi yang dimiliki sendiri. [37] Al-Jabiri secara eksplisit mengatakan bahwa pemikiran Arab klasik yang belum kadaluarsa untuk dimanfaatkan dalam proses modernisasi adalah tradisi yang berjalan dalam proyek peradaban Andulisia. [38]
Juga yang dimaksudkan oleh al-Jabiri ini bukanlah tindakan plagiat terhadap pemikiran Ibn Hazm dan Ibn Rusyd. Bukan pula mengikuti (tab’iyah) dan atau membeonya (taqlid). Yang dinginkan al-Jabiri tidak sesederhana itu. Menurutnya, yang diperlukan sekarang adalah semangat untuk melakukan praktik-praktik rasionalisme kritis yang tergambarkan dalam proyek peradaban Andulisia. Memperaktikkan rasionalisme kritis itu terhadap legasi amasa lampau yang masih membawa kekuatan-kekuatan deskruktif dalam struktur bawah sadarnya. Dalam pengertiannya yang lebih tinggi; bukan sekadar bertujuan untuk mengagungkan legasi masa lampau tersebut, atau menolaknya dengan menyeleksinya. Melainkan dengan menjadikan rasionalisme Andalusia sebagai titik tolah untuk berinteraksi dengan legasi masa lampau dalam upaya penyesuaian dengan setting yang sedann berlangsung di masa kini dan prediski masa depan. [39]
Dengan bahasa yang lebih singkat, al-Jabiri mengajak umat Islam untu berpegang kepada bagian yang paling substansial dari khazanah Averroisme, yaitu semangnat rasionalisme kritis yang memproduksi pemikiran baru, bukan sekadar mengambil bagian formalnya, yang dalam hal ini adalah produk-produk pemikirannya.
Akhirnya lagi-lagi keberpihakan al-Jabiri mencuat. Meminjam bahasa Ahmad Baso, riwayat kritik nalar Arab  al-Jabiri berakhir menjadi pengukuhan atas rasionalisme model model Maghribi atas Masyrik. (Dunia Timur Islam). [40]

E.     EPILOG
Pemikiran Arab-Islam pasca Ibn Rusyd teristimewa filsafat Arab-Islam kontemporer mengalami stagnasi dan tidak mampu melampaui capaian prestasi yang pernah diraih sebelumnya. Menurut Muhammad Abid al-Jabiri hal ini dikarenakan pemikiran Arab-Islam kontemporer sangat bergantung pada otoritas referensial, baik itu model warisan Arab-Islam abad pertengahan maupun model kebudayaan dan pemikiran Eropa. Al-Jabiri tidak hanya sebatas menganjurkan agar intelektual Arab membebaskan diri dari segala otoritas referensial tersebut, tetapi dia juga memanifestasikan gagasannya dalam wujud kritik terhadap nalar Arab (naqd al-‘Aqli al-‘Araby). Kritik nalar Arab ini diproyeksikan untuk mendiagnosa dan menganalisis sistem epistemologis kebudayaan Arab-Islam sebagai metode memahami realitas.
Melepaskan diri dari otoritas referensial  menurut al-Jabiri bukan berarti menyingkirkan tradisi, karena jalan ini tidaklah mungkin. Sebaliknya, tradisi mesti direngkuh dan dikaji secara kritis untuk dilampaui. “Warisan” harus direkonstruksi dengan menyusun kembali relasi komponen-komponennya antara satu sama lain di satu sisi, dan menyusun kembali hubungan Arab dengan “warisan” di sini lain. Mengkritisi tradisi akan memulihkan historisitas, relativitas konsep, dan kategori-kategori “warisan” dalam pemikiran Arab sehingga masa lalu dalam kesadaran Arab, tidak lagi menjadi elemen inti problematika Arab saat ini. Demikian pula al-Jabiri menjelaskan bahwa pendekatan ini bukan berarti harus mengabaikan kebudayaan dan pemikiran Eropa secara emosional, atau menyatakannya sebagai kemunduran dan pemecah belah yang mesti dihancurkan. Justru Arab harus masuk dalam dialog kritis dengan kebudayaan Eropa untuk memahami historisitas dan relativitas konsep, kategori-kategori, dan landasan-landasan kemajuan Eropa yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan rasionalitas kritis, dan ini harus ditanamkan Arab ke dalam kebudayaan dan pemikirannya sendiri.[41]
Gagasan al-Jabiri menarik dikaji, salah satunya mengingat al-Jabiri adalah orang pertama yang secara sistematis mengintrodusir pendekatan kritik nalar Arab ini. Sehingga penelitian yang menekankan pada relevansi gagasan kritik nalar Arab al-Jabiri ini merupakan suatu persoalan mendesak. Kaitannya dengan Indonesia, dapat dijelaskan bahwa problematika yang dihadapi intelektual Arab kontemporer adalah “cermin pantul” bagi para intelektual Indonesia untuk mendiagnosa problematika pemikiran di negara mereka, karena alasan kemiripan yang dimiliki keduanya. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa hal Indonesia memiliki perbedaan dengan habitat gagasan al-Jabiri.

 

Referensi

Absar Abdala, Ulil, “Membangun Kembali Islam”
Armando Salvatore, Islam and The Political Discourse of Modernity, Berkhire, UK: Ithaca Press, 1997.
Aunul Abid Syah, Muhammad, dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik Akal Arab: pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik al-Jabiri”, dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Muhammad Aunul Abied Shah, et.al., (ed.), Mizan, Bandung, 2001.
Baso, Ahmad, “Postmodernisme Sebagai Kritik Islam: Konstribusi Metodologis “Kritik Nalar” Muhammad Abed al-Jabiri, pengantar dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Ahmad Baso (peny.), LKiS, Yogyakarta, 2000.
____, “Kritik Nalar al-Jabiri: Sumber, Batas-batas dan Manifestasi”,  dalam Jurnal Teks, Vol. 1 No. 1, Maret 2002.
____,  “Problem Islam dan Politik: Perspektif “Kritik Nalar Politik Muhammad Abed al-Jabiri”, dalam Tashwirul Afkar, Edisi No. 4, 1999.
Bullota, Issa J., Trend and Issue in Contemporary Arab Thought, SUNY,  New York, 1990.
Hasyim, Syafiq, Islam Berangkat dari Nalar Arab, h. 86-94; Zuhairi Misrawi, “Dari Tradisionalisme Menuju Post-Tradisionalisme Islam; Geliat Pemikiran dari Arab”, dalam Tashwiru al-Afkar, Lakpesdam-Taf, No. 10, 2001.
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Al-Khitab al-Arabi al-Mu’sihr, Marakiz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, Beirut, cet. V, 1991.
____, Bunyah Al-‘Aqli Al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nudzum al-Ma’rifah fi al-Tasaqafah al-‘Arabiyah, Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-‘Arabi, Casbalanca, 1991.
____, Al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’ashir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah,  Dar al-Thali’a, Beirut, 1991.
____, Naqd al-‘Aqli al-‘Arabi: Takwin al-‘Akli al-‘Arabi, Marakiz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, Beirut, cet. V, 1991, h. 5
M. Abu Rabi’, Ibrahim, Intellectual Origins of Islamic Reurgence in The Modern Arab Word, SUNY, New York, 1998.
M. Abu Rabi’, Ibrahim, The Arab Word, dalam History of Islamic Philosophy, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),  vol. ii, Routraledge, London and New York, 1996.
Nur Ikhwan,  Muhammad, Islam Borjuis dan Islam Ploretar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia, Galang Press, 2002.
Salvatore, Armando, “The Rational Authentication of Turath ini Contemporary Arab Thought: Jabiri and Hasan Hanafi”, dalam  Muslim Word, no 3-4, vol. Ixxxxv, Juli-Oktober 1995.
Thabarisi, George, Nadzariyyah al-‘Aql: Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, Dar al-Saqi, London, 1996.



[1]Muhammad Abid al-Jabiri, Naqd al-‘Aqli al-‘Arabi: Takwin al-‘Akli al-‘Arabi, Marakiz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, Beirut, cet. V, 1991, h. 5
[2]Issa J. Bullota, Trend and Issue in Contemporary Arab Thought, SUNY,  New York, 1990. h. 73
[3]Issa J. Bullota, Trend and Issue, h. 68
[4]Ibrahim M. Abu Rabi’, The Arab Word, dalam History of Islamic Philosophy, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),  vol. ii, Routraledge, London and New York, 1996, h. 1082-1114.
[5]Lihat, Ibrahim M. Abu Rabi’, Intellectual Origins of Islamic Reurgence in The Modern Arab Word, SUNY, New York, 1998, h. 27-30.
[6]Armando Salvatore, “The Rational Authentication of Turath ini Contemporary Arab Thought: Muhammad Abid al-Jabiri and Hasan Hanafi”, dalam  Muslim Word, no 3-4, vol. Ixxxxv, Juli-Oktober 1995, h. 191-214.
[7]Lihat, Salvatore, The Rasional, h. 191-214
[8]Armando Salvatore, Islam and The Political Discourse of Modernity, Berkhire, UK: Ithaca Press, 1997, h. 223-230.
[9]George Thabarisi, Nadzariyyah al-‘Aql: Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, Dar al-Saqi, London, 1996.
[10]Muhammad Aunul Abid Syah dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik Akal Arab: pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik al-Jabiri”, dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Muhammad Aunul Abied Shah, et.al., (ed.), Mizan, Bandung, 2001, h. 299-328
[11]Ahmad Baso, “Postmodernisme Sebagai Kritik Islam: Konstribusi Metodologis “Kritik Nalar” Muhammad Abed al-Jabiri, pengantar dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Ahmad Baso (peny.), LKiS, Yogyakarta, 2000, h. ix-liv; lihat juga, Ahmad Baso, “Kritik Nalar al-Jabiri: Sumber, Batas-batas dan Manifestasi”,  dalam Jurnal Teks, Vol. 1 No. 1, Maret 2002, h. 72-95; Ahmad Baso, “Problem Islam dan Politik: Perspektif “Kritik Nalar Politik Muhammad Abed al-Jabiri”, dalam Tashwirul Afkar, Edisi No. 4, 1999, h. 29-39.
[12]Baso, Postmodernisme, h. xxviii
[13]Baca misalnya, Syafiq Hasyim, Islam Berangkat dari Nalar Arab, h. 86-94; Zuhairi Misrawi, “Dari Tradisionalisme Menuju Post-Tradisionalisme Islam; Geliat Pemikiran dari Arab”, dalam Tashwiru al-Afkar, Lakpesdam-Taf, No. 10, 2001, h. 47-61
[14]Ulil Absar Abdala, “Membangun Kembali Islam”, Muhammad Nur Ikhwan,  Islam Borjuis dan Islam Ploretar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia, Galang Press, 2002, h. xxv-xxvi
[15]Al-Jabiri, al-Khitab al-Arabi al-Mu’sihr, Marakiz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, Beirut, cet. V, 1991.

[16]Baso, Postmodernisme, h. xiii-xv
[17]Al-Jabiri, Naqd al-‘Aqli al-‘Arabi, h. 17-18
[18]Issa J. Bullota, Trend And Issue, h. 66-67
[19]Al-Jabiri, Khitab al-‘Arabi al-Mu’ashir, h. 206
[20]Issa, J. Bullota, Trend And Issue, h. 65
[21]Syafiq Hasyim, Islam Berangkat dari Nalar Arab, h. 87
[22]Al-Jabiri, Naqd al-‘Aqli al-‘Arabi, h. 15
[23]Baso, Postmodernisme, h. xxiv-xxx
[24]Al-Jabiri, Naqd al-‘Aqli al-‘Arabi, h. 16-17
[25]Al-Jabiri, Takwin, h. 156
[26]George Tharabisi, Nzhariyyah al-‘Aqli, h. xxxi
[27]Baso, Postmodernisme, h. xxxi
[28]Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aqli Al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nudzum al-Ma’rifah fi al-Tasaqafah al-‘Arabiyah, Al-Markaz Al-Tsaqafi Al-‘Arabi, Casbalanca, 1991, h. 556
[29]Al-Jabiri, Bunyah, h. 556
[30]Al-Jabiri, Takwin, h. 159
[31]Al-Jabiri, Bunyah, h. 557
[32]Al-Jabiri, Bunyah, h. 558
[33]Al-Jabiri, Bunyah, h. 248
[34]Al-Jabiri, Bunyah, h. 560-561
[35]Al-Jabiri, Bunyah, h. 564
[36]Al-Jabiri, Bunyah, h. 568
[37]Al-Jabiri, Bunyah, h. 568
[38]Al-Jabiri, Bunyah, h. 569
[39]Al-Jabiri, Bunyah, h. 572
[40]Baso, Postmodernisme, h. xlix-l
[41]Al-Jabiri, Al-Khitab al-‘Arabi al-Mu’ashir: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah,  Dar al-Thali’a, Beirut, 1991
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: TRILOGI KRITIK ARAB AL-JABIRI
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/trilogi-kritik-nalar-arab-al-jabiri_31.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar yang tidak sesuai dengan syarat di bawah ini akan dihapus, Demi kenyamanan kita bersama :

1. Menggunakan bahasa tidak beretika (Sara, Pornografi, Menyinggung)
2. Komentar menautkan link secara langsung
3. Komentar tidak berkaitan dengan artikel
4. Komentar Scam (Promosi Link)

Original design by Bamz | Copyright of Coretan Mahasiswa Kampung.

Pengikut

Recent Comment