MUSTAFA KEMAL ATATURK
Jumat, 01 Februari 2013
0
komentar
MUSTAFA KEMAL
ATATURK
DAN GERAKAN
PEMBAHARUAN DI TURKI
Oleh :
Ahmad Nawawi
I.
PENDAHULUAN

wilayah yang sangat luas, membentang
sejak Asia Kecil, Asia Tengah, Timur
Tengah, Mesir, Afrika
Utara, sampai Eropa Timur.
Kejatuhan
serta keruntuhan imperium Turki Usmani merupakan peristiwa yang kompleks bagi
sebuah transformasi masyarakat Islam dari model kerajaan menuju ke negara
modern. Munculnya
kekuatan politk baru di daratan Eropa secara general dapat dianggap faktor
penyebab yang mempercepat keruntuhan dinasti ini.[3] Karena
itu, pada permulaan abad ketujuh
belas, bangsa Turki mulai memperdebatkan cara terbaik bagi program restorasi
integritas politik serta efektivitas kekuatan militer yang dimiliki. Kekalahan
demi kekalahan yang dialami – menurut Harun Nasution – mendorong Raja
dan para pemuka dinasti Usmani mengakui
progresifitas Eropa. Bangsa Eropa yang
selama itu dipandang rendah serta terkebelakang, mulai mendapat perhatian dan
sikap hormat.[4] Pada abad
kedelapan belas, dilakukan upaya untuk
meniru institusi Barat. Sebuah sekolah teknik militer misalnya, dengan dipimpin orang Perancis
mulai didirikan. Institut pelatihan lainnya, terutama untuk angkatan darat dan
laut, dijalankan oleh instruktur Eropa. Bahasa Perancis dan Italia dipelajari.
Khazanah literatur Eropa banyak ditranslitrasikan ke dalam bahasa Turki.[5] Percetakan
didirikan untuk menerbitkan terjemahan dari karya-karya Eropa.
Sultan Salim III (1789-1807) akhirnya memperkenalkan
program pembaharuan yang pertama, usaha ini dikenal dengan istilah Nizam-i Jedid. Meskipun akibat proses
pembaharuan tersebut Sultan Salim III terguling (1807),[6] namun Sultan
Mahmud II (1808-1839)[7] kemudian secara
signifikan konsisten meneruskan program reformasi di Turki. Reformasi Sultan
Mahmud II mertakan jalan ke arah Tanzimat.[8] Corak penting
dari gerakan reformasi yang berimplikasi pada proses sekulerisasi dan
westernisasi di Turki ini akhirnya mempresentasikan gerakan Tanzimat pada bibit-bibit nasionalisme
bangsa Turki di kemudian hari. Semenjak tahun 1860, kalangan intelektual yang
merupakan produk dari Tanzimat tersebut
mulai mengemukakan opini-opini melalui gerakan Usmani Muda[9] (Yeni Usmanlilar-Young Ottoman), golongan
intelegensia Kerajaan Usmani yang banyak menentang kekuasaan absolut Sultan.
Mereka bersatu untuk menentang despotisme sultan Hamid yang berbasiskan interpretasi
baru atas Faham Ottomanisme. Kelompok ini tidak lagi diikat oleh kesatuan
agama, melainkan terdiri dari ide multi-negara. Hartmann misalnya, mengatakan
bahwa gerakan Turki Muda berusaha untuk memperkenalkan pemikiran universalitas
tentang negara Usmani.[10] Mereka
berkeyakinan bahwa kerajaan Turki hanya dapat dipertahankan eksistensinya jika
mau mengadopsi peradaban-peradaban Barat.
Ekses dan dampak nyata dari idiologi nasionalisme adalah
runtuhnya sistem kekhalifahan Turki Usmani, yang dibangun di atas pemikiran
politik politik keagamaan yang bersifat otokrasi monarkis serta supra nasional.
Dan salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan tersebut – meskipun
bukanlah satu-satunya intelektual yang melahirkan idiologi nasionalisme Turki – [11] adalah Mustafa
Kemal.[12]
Pada konteks ini, setidaknya ada dua alasan penting
mengapa Mustafa Kemal dijadikan tokoh sentral dalam diskursus gerakan
pembaharuan di Turki. Pertama,
Mustafa Kemal adalah tokoh penting yang menyelamatkan bangsa serta kerajaan
Turki Usmani dari kehancuran total karena invasi dan penjajahan Eropa. Dia
pencipta Turki Modern, yang atas jasa-jasanya diberi gelar sang Ataturk (Bapak
Turki). Kedua, proses transformasi
juga reformasi yang dilakukan Mustafa Kemal merupakan bottom line perjalanan bangsa
Turki dari kekuasaan otokrasi monarki (kekhalifahan) menuju sistem konstitusi
Republik. Pembaharuan – negara dan westernisasi – yang
dilakukannya menjadi kontroversi besar dalam perspektif sejarah perdaban umat
Islam.
II.
SKETSA BIOGRAFI MUSTAFA KEMAL ATATURK
Mustafa Kemal Pasya, yang kemudian hari dikenal dengan
Mustafa Kemal Ataturk, merupakan pendiri dan presiden pertama Republik Turki.
Ia dilahirkan di Salonika pada tahun 1881 dari keluarga modern. Kakeknya adalah
seorang guru sekolah dasar di Salonika, dan bapaknya Ali Riza Efendi, merupakan
pegawai pabean yang setelah pensiun menjadi seorang pedagang kayu.[13]
Pada tahun 1893, atas dorongan ibunya Zubaida Hanim, ia
masuk sekolah rusdiye, sekolah setempat. Di sekolah ini ia kemudian diberikan
tambahan nama oleh gurunya menjadi
Mustafa kemal. Namun, beberapa hari sekolah Mustafa Kemal Ataturk merasa
tidak cocok. Ia kemudian dipindahkan ayahnya – yang meninggal
dunia saat Mustafa Kemal Ataturk berusia
7 tahun – ke sekolah
rakyat Shemsi Efendi, yang menggunakan metode modern di dalam pendidikannya.
Tahun 1895, Mustafa Kemal Ataturk, memasuki masuk ke
Akademi Militer di kota Manastir, dan pada
tanggal 13 Maret 1899 ia masuk perguruan tinggi perang di Istanbul
sebagai seorang kadet pasukan infantri, yang
kemudian lulus pada bulan Januari 1905 dengan pangkat Kapten Staf.[14] Semasa mengenyam
pendidikan, bersama teman-temannya Mustafa Kemal Ataturk banyak membaca
tulisan-tulisan Nanik Kemal[15] dan beberapa
karya tokoh Turki Muda. Perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran tersebut
membuat Mustafa Kemal Ataturk bersikap kritis. Ia menaruh perhatian
besar pada perkembangan politik saat itu. Bersama anggota kelompok kadet lain,
ia menerbitkan surat kabar yang ditulis dengan tangan untuk disebarkan di
antara mereka sebagai gerakan oposisi.[16]
Aktivitas-aktivitas ini membuat Mustafa Kemal Ataturk akhirnya ditahan, dan ia
harus meringkuk di penjara beberapa bulan.
Setelah dibebaskan, Mustafa Kemal Ataturk memulai
karirnya di bidang kemiliteran. Ia ditugaskan bergabung dengan pasukan Kelima
di Damaskus untuk menumpas pemberontakan
kaum Druzz. Selama empat bulan di Damaskus (Siria), ia mendirikan organisasi politik rahasia
dengan nama Hurriyet Cemiyeti. Ia
melakukan perjalanan ke Jaffa, Beirut serta Yerusalem, dan kemudian berhasil
mendirikan cabang-cabang organisasi rahasianya di kota-kota tersebut.[17]
Pada tahun 1907, Mustafa Kemal Ataturk dipromosikan ke
pangkat Mayor dan ditugaskan pada pasukan Ketiga di Macedonia. Di tengah karir
militernya ia tetap melakukan kegiatan politik. Saat masa tugas tersebut, ia
menjalin kontaks (meskipun tidak terlalu dekat), dengan kelompok CUP. Atas
permintaan sendiri Mustafa Kemal Ataturk akhirnya ditempatkan di selonika. Di
kota ini ia mendirikan organisasi yang diberi nama “Union and Progress” (Persatuan dan
Kemajuan). Ia berada di Selonika pada waktu revolusi Turki Muda[18] tahun 1908
meletus.[19]
Sewaktu kembali ke istambul, ketika perang Balkan yang
pertama selesai, Mustafa Kemal Ataturk mengambil peran di pasukan Ketiga belas
dengan pangkat Komandan. Mereka berhasil mempertahankan Gallipoli dari serangan
Inggris tahun 1915. Setelah kemenangan tersebut karir militernya menanjak
dengan cepat.[20] Di tahun 1916,
tanggal 27 Pebruari, ia diangkat menjadi
komandan wilayah Diyarbakr dengan pangkat Jenderal. Kemenangan singkat (7-8
Agustus 1916) ketika menghadapi Rusia memungkinkan Mustafa Kemal Ataturk
mencaplok Bitlis dan Mus ke dalam wilayah Turki. Hal ini membuat namanya
semakin disegani dan dikenal luas. Namun, meski namanya serta pengalamannya di
bidang militer semakin besar, Mustafa Kemal Ataturk tidak dapat berkiprah
banyak di Istambul. Karena sultan yang tinggal di pusat kekuasaan (Istambul)
tidak menyukai para kelompok nasionalis. Menyadari kondisi ini, Mustafa Kemal
Ataturk menyingkir ke Anatolia untuk memulai karir politik kembali. Di
Anatolia, ia giat melakukan upaya cita-citanya, yaitu mewujudkan sebuah
pembaharuan bagi bangsa Turki untuk menjadi sebuah negara Turki modern. Dengan
berkiprah di Association for the Defence
of the Right of Eastern Anatolia, sebuah pergerakan bagi perjuangan hak-hak
masyarakat Anatolia Timur yang didirikan di Erzurum 3 Maret 1919, asosiasi ini
akhirnya menjadi alat perjuangan politik Mustafa Kemal Ataturk di masa depan.[21] Dan di tanggal 6
Desember 1922, Mustafa Kemal Ataturk menciptakan instrumen politik baru dengan
mendirikan Partai rakyat. Ia mengundang seluruh komponen anak bangsa untuk
berkomunikasi secara langsung dan terbuka,
yang menyebabkan Grand National
Assembly membubarkan diri untuk kemudian mempersiapkan dilaksanakannya
sebuah pemilu.
Tanggal 11 Agustus 1923 merupakan hari bersejarah, sebab
anggota Assembly baru hasil pemilu
yang terdiri dari 286 anggota perwakilan memilih akhirnya Mustafa Kemal Ataturk
menjadi Presiden Republik Turki pertama dengan Fethi sebagai Perdana
Menterinya. Bersama negara baru tersebut, Turki tidak lagi berdiri atas dasar
dinasti, kerajaan, maupun agama. Lewat ibu kota baru Ankara, Turki dikokohkan
berdasarkan nation (bangsa).
Mustafa Kemal Ataturk
selama perjuangan politiknya hidup membujang. Sampai akhirnya ia
memenagkan perang kemerdekaan, ia lalu mengawini Latifa Hanim,
puteri Usakizade Muammer, seorang pedagang kaya dari Izmir. Sayang sekali
perkawinan tersebut tidak berumur panjang dan berakhir dengan perceraian
disebabkan Mustafa Kemal terlalu sibuk dengan kewajiban-kewajibannya sebagai
kepala negara Turki yang baru didirikan. Tugas-tugas berat sebagai pembaharu
(reformer) ini, lalu mempercepat kematiannya. Setelah sakit
agak lama, pada tanggal 10 November 1938, ia meninggal di Istambul pada usia 57
tahun.[22]
III.
GERAKAN PEMBAHARUAN:
Westernisasi, Sekularisasi dan Nasionalisme
Dalam
perspektif sejarah kerena keterlibatan Turki dengan memihak pada Jerman dalam
Perang dunia I, setelah selesai perang dengan kekalahan di pihak Jerman dan
Turki, para kabinet Turki Muda kemudian mengundurkan diri.[23] Perdana Mentri
baru Ahmed Izzet Pasya malakukan rekonsiliasi damai dengan pihak sekutu
yang menang. Mereka
mulai masuk serta
menduduki bagian-bagian tertentu dari kota Istambul. Ketika itu, Yunani
yang ingin merebut kembali daerah mereka yang direbut Turki pada masa dinasti
Turki Usmani, mendaratkan pasukan di Izmir pada
tanggal 15 mei 1919 bersama kapal perang Inggris, Perancis dan Amerika.
Tanah yang semenjak ratusan tahun telah dipandang sebagai tanai air oleh bangsa
Turki hendak dijajah. Hal itu
kemudian menimbulkan gelora dan semangat nasionalisme bangsa Turki untuk
mempertahankannya.
Pada situasi seperti Mustafa inilah Kemal Ataturk muncul
sebagai pemimpin baru Turki untuk kemudian menjadi penyangga Kerajaan Turki
Usmani dari kehancuran total, serta menyelamatkan bangsa Turki dari
kolonialisasi Eropa. Karena
jasa-jasanya, ia diberi gelar Ataturk (Bapak Turki).[24] Dengan berjuang
bersama teman-teman dari golongan nasionalis, Mustafa Kemal Ataturk berhasil
menghadapi sekutu dan mendapat pengakuan sebagai penguasa defacto dan dejure di
Turki. Lewat Perjanjian Lausanue, yang ditandatangani tanggal 23 Juli 1923,
Mustafa Kemal Ataturk mendapatkan legitimasi dunia internasional.
Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, bagi Mustafa
Kemal Ataturk, perjuangan untuk mencapai kemajuan peradaban bagi bangsa Turki
dimulai. Bangsa Turki harus memodernisasikan diri untuk dapat mengejar semua
ketertinggalannya di segala bidang dari
bangsa Barat. Modernisasi
menurutnya adalah westernisasi
(pem-Barat-an) secara total.[25] Stigma ini
menurut Mukti Ali merupakan pendekatan
radikal terhadap masalah modernisasi yang pernah dilakukakan oleh negara muslim
manapun kecuali Turki.[26] Peradaban
bagi Mustafa Kemal Ataturk berarti peradaban
seperti Barat dengan
segala sesuatunya. Bahkan Ahmed Agouglu salah seorang seorang pengikut
Mustafa Kemal Ataturk menyatakan, Barat dengan peradabannya dapat
mengalahkan peradaban-peradaban lain, bukan hanya karena kemajuan IPTEK-nya saja, tetapi
karena aspek keseluruhan peradabannya. Baik unsur yang
baik maupun unsur yang negatif.[27]
Pada konteks ini, tema sentral dari pandangan Mustafa
Kemal Ataturk tentang pem-Barat-an (westernisasi) adalah bahwa Turki harus
menjadi sekuler seperti bangsa Barat dalam segala tingkah laku. Segala
sesuatu yang tidak sejalandengan idiologi ini harus ditinggalkan. Dan sejak
awal, ia menolak ide-ide sintetis-konvergensi antara peradaban Barat dengan
Timur. Turki harus menerima
peradaban Barat in toto. Tujuan akhir
yang ingin dicapai adalah: “.... untuk berbaris bersama-sama dengan peradaban
Barat, bahkan berupaya agar bisa mencuri satu langkah mendahului peradaban
Barat tersebut.”[28]
Lewat paradigma ini Mustafa Kemal Ataturk melakukan
reformasi kultural secara paksa dan radikal. Ia berupaya untuk memutuskan
mata-rantai bangsa Turki dengan dinamika masa lalu. Westernisme,
sekularisme dan nasionalime merupakan dasar pembaharuannya.
Pembaharuan pertama, diarahkan pada konstitusi negara,
di sini diadakan sekularisasi. Bagi Mustafa Kemal, pemerintah harus dipisahkan dari agama. Kedaulatan
berada di tangan rakyat.[29] Dalam sidang
Majlis Nasional Agung tahun 1922, dalam sejarah, Mustafa Kemal memisahkan
antara jabatan khalifah dan jabatan sultan. Jabatan sultan kemudian dihapuskan
untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan, yang berlaku bagi jabatan khalifah
hanyalah sebagai pemangku otoritas spiritual an
sich.
Distingsi otoritas kekuasaan negara ini kemudian mempresentasikan
tajam polemik tentang seperti apa
akhirnya bentuk negara, yang secara
struktural organisme pemegang kekuasaannya sudah dipisah. Terhadap
kontroversi bentuk negara, antara kelompok Islam yang ingin mempertahankan
sistem kekhalifahan (monarki) dengan kelompok nasionalis yang menghendaki
Republik, akhirnya dimenangkan golongan nasionalisme. Pada bulan Oktober 1923
Majelis Nasional Agung mengambil keputusan bahwa Turki adalah negara
Republik bukan lagi
sebagai Monarki. Namun sebagai
kompromi win-win solutions, Islam
diputuskan menjadi agama negara.
Pada tataran ini, Turki – menurut Harun
Nasution – belumlah menjadi negara sekuler Sesungguhnya di
masyarakat masih lekat asumsi bahwa jabatan khalifah yang dipegang ‘Abd. Majid, masih
sebagai Kepala Negara. Akhirnya terhadap kerancuan persepsi
ini lewat legitimasi Majelis Nasional Agung di bulan Pebruari 1924, Mustafa
Kemal kemudian menghapuskan jabatan khalifah ‘Abd. Majid, ia
dan beserta keluarganya diperintahkan untuk meninggalkan Turki.[30] Seterusnya di
tahun 1928, artikel 2 dari konstitusi 1921 dihilangkan, yaitu negara tidak ada
lagi hubungannya dengan agama. Sembilan tahun kemudian di tahun 1937, dengan
konstitusinya, barulah Turki resmi menjadi negara sekuler.[31]
Dalam proses menjadi negara sekuler, Mustafa Kemal,
menghilangkan institusi-institusi keagamaan. Di tahun 1924, kementrian syari’at dan Biro
Syaikh Al-Islam dihapuskan. Mahkamah sya’riat dibuang. Hukum soal perkawinan digantikan dengan
hukum Swiss. Perkawinan bukan lagi dilakukan berdasarkan syari’at. Selanjutnya
untuk hukum-hukum yang lain seperti pidana, dagang, adat, syariat dan
lain-lainnya digantikan oleh hukum Barat. Pendidikan agama ditiadakan di
sekolah-sekolah, tulisan Arab ditukar dengan Latin.
Untuk menjadikan Turki sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari peradaban Barat, westernisasi dan sekularisasi dilakukan bukan
hanya dalam bidang institusi dan sistem perse,
Mustafa Kemal juga mulai melakukan reformasi-reformasi sosial, kebudayaan serta
adat Istiadat. Pada Septetember 1925, ia melarang orang memakai pakaian agama
bagi yang tidak memegang jabatan agama. Semua pegawai sipil diwajibkan memakai
pakaian ala Barat. Pemakaian terbus tahun 1925
dilarang, diganti dengan topi Barat,
rakyat harus memakai
pakaian model Barat. Dalam
pidato-pidatonya Mustafa Kemal kerap mengecam wanita-wanita Turki yang memakai
cadar, meskipun pemakaian cadar tersebut
tidak dilarang Undang-Undang negara.[32] Hari libur
diganti dari hari Jum’at ke hari
Minggu. Khutbah Jum’at harus diberikan
dengan bahasa Turki. Al-Qur’an perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki supaya dapat dipahami. Dan tahun 1931, azan
dan bacaan-bacaan shalat haruslah dipakai dalam bahasa Turki sebagai bahasa
yang lebih komunikatif. Sedangkan di tahun 1935 dikeluarkan undang-undang yang
mewajibkan rakyat Turki harus mempunyai nama belakang.
IV.
PENUTUP: Catatan Akhir
Menurut
Mukti Ali, untuk memacu kebangkitkan umat Islam di Indonesia, Bung Karno dalam
pidatonya dan tulisan-tulisan seringkali menunjuk Mustafa Kemal Ataturk di
Turki sebagai panutan. Sementara – lain di sisi
– M. Natsir, lewat opini-opininya, banyak mengajukan
kritik tajam terhadap Republik Turki dengan sekularisasinya.[33] Pada konteks
ini, yang menarik untuk dipertanyakan
adalah; Apa sebenarnya yang telah terjadi di Republik Turki? Mengapa dan
bagaimana Mustafa Kemal
Ataturk dapat mendirikan negara nasional sekuler di atas reruntuhan imperium
Usamani (Ottoman Empire)
yang sebelumnya sudah
berkuasa selama lebih
dari enam abad
lamanya? Seperti apa bentuk
sekularisasinya? Dan bagaimana
eksistensi Islam setelah
adanya westernisasi dan sekularisasi Mustafa Kemal Ataturk?
Secara empiris, sesungguhnya proses pem-Barat-an
(westernisasi) yang terjadi di Turki merupakan produk dari gerakan revolusioner
yang ditimbulkan oleh banyak faktor. Hal ini di mulai sejak kemunduran
Imperium Usmani yang tampak dalam berbagai bentuknya. Gerakan-gerakan tersebut
kemudian mendapatkan momentum setelah revolusi Perancis, yang terus berkembang
dengan kuat sepanjang abad XIX. Revolusi Turki Muda tahun 1908,
tumbuhnya nasionalisme di Turki sampai pembentukan kepada sebuah negara
Republik, merupakan implikasi-implikasi langsung dari gerakan tersebut. Dan
keberhasilan Mustafa Kemal Ataturk, ketika melakukan pembaharuan-pembaharuan
ala Baratnya di Turki, disebabkan oleh dasar-dasar pondasi, yang sebenarnya
telah direkonstruksi para pendahulunya.
Tujuan yang dipegang para reformer Turki, dari abad-abad
XVIII dan XIX, adalah mencari semacam modus
vivendi untuk Imperium Osmaniyah dengan meminjam ide-ide dan teknik Barat.
Bersama tumbuhnya elit-elit yang mengenyam pendidikan Barat dan suksesnya
gerakan untuk mendirikan monarki konstitusional, Turki Muda memimpin suatu “persemakmuran
Osmaniyah” yang kuat (Ottoman Common Wealth). Namun, mereka
kemudian dikecewakan oleh tendensi separatis Millet Osmaniyah yang memperoleh kemerdekaan nasional mereka
sendiri. Dengan timbulnya nasionalisme Turki serta terjadinya Perang
Kemerdekaan Turki (1919), imperium Osmaniyah akhirnya dibubarkan.
Terhadap gerakan pembaharuan yang terjadi di Kerajaan
Turki Usmani, secara hierarkis Harun Nasution mengklasifikasikan ke dalam tiga
kelompok. Pertama, golongan pro-Barat
yang ingin mengadopsi peradaban Barat
sebagai dasar bagi pembaharuan.[34] Kedua, golongan Islam, yang berpijak pada romantisme sejarah dan menginginkan
Islam sebagai dasar.[35] Sedang ketiga, golongan Nasionalis, yang muncul
belakangan, yang melihat bahwa bukan perdaban Barat atau Islam yang harus dijadikan dasar, tetapi
nasionalisme Turki.[36]
Pada level di atas, menarik untuk dicermati di manakah
sebenarnya posisi pembaharuan Mustafa Kemal Ataturk? Ternyata secara
eksistensial, ia berada pada wilayah konvergensi sintetis
antara ide-ide nasionalisme serta
sikap pro Barat. Dalam gerakan pembaharuannya – berdasarkan
analisis Harun Nasution – menurut hemat
saya, sebagai “pengagum” peradaban Barat,
Mustafa Kemal bukan
menentang apalagi membenci Islam. Baginya, Islam adalah agama
rasional, dan haruslah diinterpretasikan secara transformatif sesuai dengan
dinamika zaman. Sekularisasi yang terjadi tidaklah sampai menghapus agama.
Sekularisasinya hanya berpusat pada pembatasan otoritas kaum
ulama dalam soal-soal
negara dan politik. Oleh
karena itu pendirian partai politik yang berbasis agama dilarang.
Institusi-institusi negara, sosial, ekonomi, hukum, politik, serta pendidikan,
haruslah terbebas dari unsur kekuasaan syari’at.[37] Namun, pada
tataran ini, negara tetaplah menjamin
kebebasan baragama. Sekularisme tidaklah menghilangkan agama Islam dari
masyarakat Turki, dan Mustafa Kemal memang tidak bermaksud seperti itu. Apa yang dilakukannya tidaklah
murni sekularisasi total. Memang syari’at dihapus pemakaiannya, bahkan pendidikan agama
dikeluarkan dari kurikulum sekolah, tetapi Republik Turki Mustafa Kemal masih
mengurus soal agama seperti, adanya Departemen Urusan Agama, sekolah-sekolah
pemerintah untuk Imam dan Khatib, juga terdapat Fakultas Ilahiyyat Universitas Istambul dari Perguruan
Tinggi Negara.
Adapun tentang semangat nasionalisme yang selalu
dipropagandakan Mustafa Kemal sebenarnya itu merupakan ide nasionalisme Turki
yang terbatas daerah geografinya, bukan nasionalisme yang luas. Hal ini bisa
dilacak pada Piagam Nasional tahun 1920, yang antara lain, menyatakan bahwa
Turki melepaskan tuntutan teritorial terhadap daerah yang terletak di bawah
kekuasaan Imperium Osmaniyah, kecuali daerah-daerah yang di dalamnya terdapat
mayoritas Turki.
Politik Kemalis yang memutuskan jaringan relasional
antara bangsa Turki dengan sejarah masa lalu, sebagai entry point bagi memasuki
kebudayaan Barat (westernisasi), akibat-akibat reformasi tersebut seperti
menghapuskan kekhalifahan Islam, selalu menjadi wacana kontroversial
sampai saat ini.
Pluralisme pandangan, baik yang positif
maupun negatif, atas hasil
yang telah dicapai menimbulkan
berbagai reaksi. Meskipun Mustafa Kemal
dihormati sebagai pahlawan penyelamat
bangsa, di Turki sendiri seringkali muncul ekspresi-ekspresi kekecewaan
terhadap sikap politiknya terhadap agama dan negara.
R E F E R E N S I
Akhmad, Akhbar S., Discovering
Islam: Making Sense Muslim History and Society, New Delhi: Vistar Publication, 1990.
Ali, A. Mukti, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, 1994.
Baydar, Mustafa, Ataturkle Konusmalar , Istanbul, 1960.
Berkes, N., The
Development of Secularism in Turkey,
Montreal, Mc Gill University
Press, 1964.
Feroze, Rasyid, Islam
and Secularism in Post-Kemalist Turkey, Islamic Reseach Institute, Pakistan: Islamabad,
1976.
Hassan,
Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Lewis,
Bernard, The Emergence of Modern Turkey,
London, 1960.
Mughni, Syafiq A., Sejarah Kebudayaan Islam di Turki,
Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999, Cet. I.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1991, Cet. VIII.
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Usmani, Jakarta: Kalam
Mulia, 1988.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: P.T. RajaGrafindo
Persada, 2000, Cet. XI.
* Merupakan
Makalah Revisi untuk Tugas Akhir
Mata Kuliah Aliran
Modern dalam Islam di bawah
bimbingan Bapak Prof. Dr. M. Yunan Yusuf.
@ Mahasiswa
Program Pascasarjana UIN Jakarta Tahun 2001/2002 untuk bidang konsentrasi Studi Pemikiran Islam.
[1]Munculnya dinasti Turki Usmani ini terjadi pada saat
dunia Islam mengalami pragmentasi kekuasaan pada periode kedua dari
pemerintahan Abbasiyah. Kerajaan ini didirikan oleh suku bangsa pengembara yang
berasal dari wilayah Asia Tengah. Pendiri dinastinya adalah bangsa Turki dari
kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan wilayah utara negeri Cina.
Perpindahan mereka ke wilayah Turkistan, Persia dan kemudian Irak terjadi
selama hampir tiga abad. Dan masuk Islam antara abad ke sembilan dan ke
sepuluh. Baca Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. XI, hal.
129. Pada abad ke 13 M, ketika serangan bangsa Mongol datang, orang-orang Turki
migrasi ke daerah Barat ke wilayah dataran tinggi Asia Kecil yang dikuasai oleh
dinasti Saljuk untuk mencari tempat pengungsian. Di bawah pimpinan Ortoghrul
mereka mengabdikan diri kepada Sultan ‘Ala ad-Din II, Sultan Saljuk
Rum yang pemerintahannya berpusat
di Konya Anatolia (Asia Kecil), serta
pada saat itu sedang terlibat konfrontasi dengan Byzantium bangsa Romawi Timur.
Baca Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hal. 324-325. Berkat
bantuan dan intervensi orang-orang Turki, pasukan Saljuk akhirnya dapat
memenangkan pertempuran, sehingga atas kontribusi ini, Ortoghrul diberi Sultan
‘Ala ad-Din II hadiah sebuah wilayah yang berbatasan dengan Byzantium. Dan
bersama wilayah ini, – dengan memilih Syuhud sebagai ibu kota – Ortoghrul
kemudian lebih jauh melakukan ekspansi-ekspansi kekuasaan ke wilayah Byzantium
untuk memperluas daerah kekuasaan. Lihat Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Usmani, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1988), hal. 2-3.
Dalam sejarah, penamaan kerajaan ini menjadi Turki Usmani
sebenarnya merupakan sebuah penisbahan kepada Usman, nama putra Ortoghrul
sendiri yang melanjutkan estafet kepemimpinan ayahnya setelah Ortoghrul
meninggal dunia tahun 1289 M. Menurut Akhbar S. Akhmad, putra Ortoghrul yang
bernama Usman yang berkuasa antara tahun 1299 M-1326 M inilah yang dianggap
sebagai pendiri sesungguhnya dinasti Turki Usmani. Baca
Akhbar S. Akhmad, Discovering Islam:
Making Sense Muslim History and Society, (New Delhi: Vistar Publication,
1990).
[2]Menurut sejarah bangsa Turki berasal dari sebuah
rumpun yang dikenal
dengan Ural Altaic, yang disebut
juga rumpun bangsa berkulit kuning. Mereka hidup di kaki pegunungan Altaic,
bagian barat dari padang rumput Mongolia dengan pola hidup nomaden.
Penggolongan suku bangsa yang menurunkan bangsa Turki ini masih tidak jelas,
sehingga para ahli sejarah banyak yang berbeda pendapat apakah nenek moyang
bangsa ini berasal dari suku Hiung-nu, bangsa Mongol, ataukah campuran dari
keduannya. Beberapa ahli menggolongkan bangsa ini ke dalam rumpun bangsa
berkulit kuning yang kemungkinan besar mempunyai hubungan erat dengan bangsa
asli yang mendiami benua Amerika yang berkulit merah (Indian). Pertalian dengan
bangsa berkulit merah tersebut, menurut sebagian para ahli, lebih erat dari
bangsa yang berdiam di Cina, bangsa Samoye, bangsa Hongaria, atau bangsa
Mongol. Sementara, para ahli yang lain berdasarkan sumber-sumber sejarah yang
berasal dari Cina, menyebutkan bahwa bangsa Turki sering disebut juga dengan
bangsa Hun. Lihat Syafiq A. Mughni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Turki, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, hal.
3-6.
[3]Di abad ke 17 kerajaan ini mengalami kekalahan-kekalahan
dalam peperangan dengan negara-negara Eropa. Tentara yang besar yang dikirim
untuk menguasai Wina akhirnya dipukul mundur tahun 1683 M. Perjanjian Carlowitz
yang ditanda-tangani di tahun 1699 M., membuat kerajaan Usmani terpaksa
menyerahkan Hongaria kepada Austria, daerah Podolia kepada Polandia dan Azov
kepada Rusia. Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),
Cet. VIII, hal. 15.
[4]Ibid.
[5]Akhbar S. Akhmad, Discovering Islam, Op.Cit., hal.
105-110.
[6]Para Ulama memegang peranan negatif dalam modernisasi itu
dengan melawan program-progaram reformasi Sultan Salim III, dan mereka
mengadakan kerjasama dengan korps Jenissari. Mereka menekankan bahwa
modernisasi yang dilakukan akan berjalan apabila reformasi itu sesuai dengan
prinsip-prinsip syari’ah. Para ulama dan korps Jenissari merupakan halangan
utama bagi pelaksanaan reformasi pem-Barat-an tersebut. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Op.Cit., hal. 37.
[7]Mahmud II seringkali
samakan dengan Peter yang Agung di dalam berbagai sepak terjangnya. Ia
lahir di Saray Juli 1785. Ia adalah putra Sultan Abd. Al-Hamid yang memperoleh
pendidikan istana di bidang studi Islam klasik, hukum, sastra dan sejarah.
Ketika ia naik tahta, Sultan Mahmud memusatkan perhatiannya pada
restrukturisasi internal. Ia merekonstruksi kembali kekuatan militer Turki dan
melakukan proses konsolidasi potensi-potensi lokal. Ibid., hal. 122-123. Menurut Harun Nasution, perubahan penting yang
dilakukan Sultan Hamid II adalah reformasi dalam bidang pendidikan. Kurikulum
sekolah yang semula tradisonal dan materi pendidikan agama an sich mulai ditambahkan materi dari pendidikan umum. Di
samping itu ia lalu mendirikan Mekteb-i
Ma’arif (Sekolah Pengetahuan Umum) dan Mekteb-i
Ulum-u Edibiye (Sekolah Sastra). Di kedua sekolah tersebut diajarkan bahasa Perancis, geografi,
ilmu ukur, sejarah politik dan lainnya. Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, Op.Cit., hal. 94-95.
[8]Tanzimat atau dalam bahasa Turki dikenal dengan Tanzimat-i Khairiye adalah gerakan
pembahruan yang diperkenalkan ke dalam sisetem birokrasi dan pemerintahan Turki
Usmani semenjak Sultan ‘Abd. Majid (1839-1861), putera Sultan Mahmud II, dan Sultan
‘Abd. al-Aziz (1861-18676). Kata
tersebut mengandung arti mengatur, menyusun dan memperbaiki. Pada periode ini
banyak diterbitkan beberapa peraturan yang bertujuan untuk memperlancar proses
pembaharuan. Pembaharuan itu dimulai dengan diumumkannya deklarasi Ghulkhane, Khatt-i Syerif Ghulkhane, pada tanggal 3
November 1839/26 Sya’ban 1255. Tanzimat
ini ditindaklanjuti oleh Khatt-i Humayun
yang diumumkan sendiri pada 18 Pebruari 1856. Kata Tanzimat sendiri secara resmi telah tercantum dalam dukomen
kerajaan pada pemerintahan Sultan Mahmud II, dan periode Tanzimat berakhir pada awal pemerintahan Sultan Abd. Hamid II,
1880. Syafiq A. Mughni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Turki, Op.Cit.,
hal. 125-126.
[9]Usmani Muda pada mulanya merupakan perkumpulan rahasia
yang didirikan tahun 1865 dengan tujuan untuk merobah pemerintahan absolut
Kerajan Usmani menjadi pemerintahan konstitusional. Setelah rahasia terbuka,
pemuka-pemuka mereka lari ke Eropa di tahun 1867 dan di sanalah gerakan mereka
kemudian memperoleh nama Usmani Muda. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit.,
hal. 105.
[10]Syafiq A. Mughni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Turki, Op.Cit., hal. 141.
[11]Di antara pemikir Turki yang meletakkan dasar semangat
nasionalisme adalah Yusuf Akcura (1876-1933), dan Zia Golkalp (1875-1924).
[12]Mustafa Kemal sendiri mendapatkan inspirasi
dari para tokoh Usmani Muda dan Turki Muda yang
merupakan produk dari kebijaksanaan reorganisasi yang dicanangkan oleh
sultan Mahmud II.
[13]Rasyid Feroze, Islam
and Secularism in Post-Kemalist Turkey, (Islamic Reseach Institute,
Pakistan: Islamabad,1976), p. 72; Juga Mustafa Baydar, Ataturkle Konusmalar , (Istanbul,
1960), pp. 30-31; Baca juga A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern, (Jakarta: Djambatan, 1994), hal. 72; Atau Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Op.Cit., hal. 145.
[14]Mustafa Baydar,
Ataturkle Konusmalar , Op.Cit., pp.
31-33.
[15]Nanik Kemal (1840-1888) adalah pemikir terkemuka dari
Usmani Muda. Ia berasal dari keluarga golongan kaya, karena itu orang tua Nanik
Kemal dapat menyediakan pendidikan khusus di rumah. Sebagai Zia Pasya, Nanik
Kemal tidak menerima begitu saja ide-ide dari Barat. Ia mencoba menyesuaikan
dengan ajaran-ajaran Islam. Jiwa Islaminya inilah yang kemudian membuat ia
mengkritisi Tanzimat dengan keras.
Dalam proses pembaharuan itu – menurut Nanik Kemal – ajaran-ajaran Islam sudah
mulai ditinggalkan. Sebagai model pembaharuan, baginya terlalu banyak dipakai
institusi-institusi Barat yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Timur. Sebab-sebab kemunduran Kerajaan Turki Usmani, menurutnya, terletak pada
keadaan ekonomi dan politik yang tidak beres. Dan jalan utama untuk mengatasi
ketidak-beresan tersebut adalah melakukan perubahan sistem absolut pemerintahan menjadi pemerintahan konstitusional. Rakyat sebagai warga negara mempunyai hak-hak
politik yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Sistem pemerintahan
konstitusional tidaklah bid’ah dalam
Islam, karena ia sesuai dengan prinsip al-maslahah
al-‘ammah. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit., hal. 106.
[16]A. Mukti Ali, Islam
dan Sekularisme di Turki Modern, Op.Cit,
hal. 73.
[18]Turki Muda adalah para opisisi dari berbagai kelompok
kalangan seperti kalangan militer yang menjelma dalam bentuk komite-komite
rahasia, atau kalangan perguruan tinggi,
yang mengambil bentuk menjadi perkumpulan rahasia. Ide perjuangan Turki Muda
antara lain dipresentasikan oleh tiga pemimpin, yaitu Ahmed Riza (1859-1931),
Mehmed Murad (1853-19120, dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948). Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit., hal. 118-119.
[19]Mustafa Baydar,
Ataturkle Konusmalar , Op.Cit., pp. 34-36.
[20]Syafiq A. Mughni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Turki, Op.Cit., hal. 146.
[21]Syafiq A. Mughni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Turki, Op.Cit.,
hal. 147.
[22]Kematiannya meniggalkan saudara perempuan Makbule Hanim
dan seorang anak pungut Sabihe.
Jenazahnya disimpan di Musium Etnografi Ankara Turki, hingga tahun 1953 kemudian
dipindahkan ke Musoliumnya.
[23]Tokoh-tokoh
seperti Talat Pasya, Enver Pasya,
dan Jamal Pasya lalu melarikan diri ke Eropa.
[24]Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, Op.Cit., hal. 142.
Tentang penambahan gelar Ataturk (Bapak Turki) ini ada versi berbeda, yaitu
dengan adanya Undang-Undang yang disahkan 28 Juni 1934 yang mengharuskan semua
orang Turki mempunyai nama keluarga, maka Mustafa Kemal kemudian menambah nama
Ataturk dibelakang namanya sebagai nama marga. A. Mukti Ali, Islam dan Sekularisme di Turki Modern,
Op.Cit, hal. 90.
[25]Rasyid
Feroze, Islam and Secularism in Post-Kemalist Turkey, Op.Cit., p. 14.
[27]Lihat
N. Berkes, The Development of Secularisme
in Turkey, (Montreal, Mc Gill University Press, 1964), hal. 465.
[28]Rasyid
Feroze, Islam and Secularism in Post-Kemalist Turkey, Op.Cit., p. 5.
[29]Dalam sidang Majlis Nasional Agung tahun 1920, ide ini
diterima majlis. Setahun kemudian lalu disusun konstitusi baru, dan fasal 1
menjelaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan bukan lagi
milik sultan. Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, Op.Cit., hal. 149.
[30]Khalifah ‘Abd. Majid beserta keluarganya meninggalkan
Turki dan pergi ke Swiss.
[31]Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, Op.Cit., hal. 150-151.
[32]Bernard
Lewis, The Emergence of Modern Turkey,
(London, 1960),
h. 264-266.
[33]Baca A. Mukti Ali dalam Pendahuluan, Islam
dan Sekularisme di Turki Modern, Op.Cit,
hal.VI.
[34]Pemimpin terkemuka dari golongan Barat adalah Tewfik
Fikret (1867-1951) dan Dr. Abdullah Jewdat (1869-1932).
[35]Golongan Islam, sebagai lawan terkeras dari golongan
barat terdiri atas beberapa kelompok, yang paling besar adalah kelompok Sirat-i Mustakim (nama majalah yang
kemudian berganti menjadi Sebel-ur Resad)).
Salah satu pemukanya ialah Mehmed Akif (1870-1936). Baginya kemajuan apa yang dicapai Jepang adalah satu
contoh bahwa untuk menjadi maju dan berkembang tidaklah harus meninggalkan
sendi agama dan adat-istiadat sendiri dengan tanpa harus meniru serta berkiblat ke Barat .
[36]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit., hal. 126.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: MUSTAFA KEMAL ATATURK
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/mustafa-kemal-ataturk-dan-gerakan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5